Reformasi Kebijakan Pendidikan Luar Biasa
Bahan ini cocok untuk Informasi / Pendidikan Umum. Nama & E-mail (Penulis): Drs. Nurkolis, MM Saya Masyarakat di Jakarta Tanggal: 01/05/2002 Judul Artikel: Reformasi Kebijakan Pendidikan Luar Biasa Topik: Reformasi Pendidikan Artikel: 1. Pendahuluan Namun dalam kenyataan prosentase anak cacat yang mendapatkan layanan pendidikan jumlahnya amat sedikit. Hal ini dikarenakan masih adanya hambatan pada pola pikir masyarakat kita yang mengabaikan potensi anak cacat. Pada umumnya masyarakat memandang kecacatan (disability) sebagai penghalang (handicap) untuk berbuat sesuatu. Telah banyak bukti bahwa orang cacat mampu melakukan sesuatu dengan berhasil. Pada hakikatnya kecacatan seseorang bukanlah merupakan penghalang untuk melakukan sesuatu. Banyak orang yang tidak memiliki tangan namun bisa menghasilkan lukisan dengan baik, ada orang yang tidak bisa berjalan namun menjadi ahli fisika ternama seperti Stephen Hopkins. Ada orang yang tidak bisa bicara dengan baik namun berhasil menjadi model seperti Katrin. 2. Pengertian Reformasi Reformasi berarti perubahan dengan melihat keperluan masa depan, menekankan kembali pada bentuk asal, berbuat lebih baik dengan menghentikan penyimpangan-penyimpangan dan praktik yang salah atau memperkenalkan prosedur yang lebih baik, suatu perombakan menyeluruh dari suatu sistem kehidupan dalam aspek politik, ekonomi, hukum, sosial dan tentu saja termasuk bidang pendidikan. Reformasi juga berarti memperbaiki, membetulkan, menyempurnakan dengan membuat sesuatu yang salah menjadi benar. Oleh karena itu reformasi berimplikasi pada merubah sesuatu untuk menghilangkan yang tidak sempurna menjadi lebih sempurna seperti melalui perubahan kebijakan institusional. Dengan demikian dapat dikemukakan beberapa karakteristik reformasi dalam suatu bidang tertentu yaitu adanya keadaan yang tidak memuaskan pada masa yang lalu, keinginan untuk memperbaikinya pada masa yang akan datang, adanya perubahan besar-besaran, adanya orang yang melakukan, adanya pemikiran atau ide-ide baru, adanya sistem dalam suatu institusi tertentu baik dalam skala kecil seperti sekolah maupun skala besar seperti negara sekalipun. 3. Reformasi Kebijakan Pendidikan Reformasi pendidikan diibaratkan sebagai pohon yang terdiri dari empat bagian yaitu akar, batang, cabang dan daunnya. Akar reformasi yang merupakan landasan filosofis yang tak lain bersumber dari cara hidup (way of life) masyarakatnya. Sebagai akarnya reformasi pendidikan adalah masalah sentralisasi-desentralisasi, masalah pemerataan-mutu dan siklus politik pemerintahan setempat. Sebagai batangnya adalah berupa mandat dari pemerintah dan standar-standarnya tentang struktur dan tujuannya. Dalam hal ini isu-isu yang muncul adalah masalah akuntabilitas dan prestasi sebagai prioritas utama. Cabang-cabang reformasi pendidikan adalah manajemen lokal (on-site management), pemberdayaan guru, perhatian pada daerah setempat. Sedangkan daun-daun reformasi pendidikan adalah keterlibatan orang tua peserta didik dan keterlibatan masyarakat untuk menentukan misi sekolah yang dapat diterima dan bernilai bagi masyarakat setempat. Terdapat tiga kondisi untuk terjadinya reformasi pendidikan yaitu adanya perubahan struktur organisasi, adanya mekanisme monitoring dari hasil yang diharapkan secara mudah yang biasa disebut akuntabilitas dan terciptanya kekuatan untuk terjadinya reformasi. Sementara itu kebijakan adalah suatu ucapan atau tulisan yang memberikan petunjuk umum tentang penetapan ruang lingkup yang memberi batas dan arah umum kepada para manajer untuk bergerak. Kebijakan juga berarti suatu keputusan yang luas untuk menjadi patokan dasar bagi pelaksanaan manajemen. Kebijakan adalah keputusan yang dipikirkan secara matang dan hati-hati oleh pengambil keputusan puncak dan bukan kegiatan-kegiatan yang berulang dan rutin yang terprogram atau terkait dengan aturan-aturan keputusan. Dengan demikian reformasi kebijakan pendidikan adalah upaya perbaikan dalam tataran konsep pendidikan, perundang-undangan, peraturan dan pelaksanaan pendidikan serta menghilangkan praktik-praktik pendidikan di masa lalu yang tidak sesuai atau kurang baik sehingga segala aspek pendidikan di masa mendatang menjadi lebih baik. 4. Pendidikan Luar Biasa PLB adalah pendidikan yang khusus diselenggarakan bagi peserta didik yang menyandang kelainan fisik, mental, perilaku atau gabungan diantaranya. PLB bertujuan membantu peserta didik yang menyandang kelainan fisik, mental atau keduanya agar mampu mengembangkan sikap, pengetahuan dan keterampilan sebagai pribadi maupun anggota masyarakat dalam mengadakan hubungan timbal balik dengan lingkungan sosial, budaya dan alam sekitar serta dapat mengembangkan kemampuan dalam dunia kerja atau mengikuti pendidikan lanjutan. Selanjutnya dijelaskan tentang tujuan PLB secara dirinci yaitu: (1) mengembangkan kehidupan anak didik dan siswa sebagai pribadi sekurang-kurangnya mencakup upaya untuk memperkuat keimanan dan ketaqwaan, membiasakan berperilaku yang baik, memberikan pengetahuan dan keterampilan dasar, memelihara kesehatan jasmani dan rohani, memberikan kemampuan untuk belajar dan mengembangkan kepribadian yang mantap dan mandiri, (2) mengembangkan kehidupan anak didik dan siswa sebagai anggota masyarakat yang sekurang-kurangnya mencakup upaya untuk memperkuat kesadaran hidup beragama dalam masyarakat, menumbuhkan rasa tanggung jawab dalam lingkungan hidup, memberikan pengetahuan dan keterampilan dasar untuk berperan serta dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, (3) mempersiapkan siswa untuk dapat memiliki keterampilan sebagai bekal untuk memasuki dunia kerja dan (4) mempersiapkan anak didik dan siswa untuk mengikuti pendidikan lanjutan dalam menguasai isi kurikulum yang disyaratkan. Jenis kelainan peserta didik berdasarkan PP RI No. 27 tahun 1991 tentang PLB disebutkan yaitu terdiri atas kelainan fisik yang meliputi tuna netra, tuna rungu, tuna daksa. Kelainan mental yang meliputi tuna grahita ringan, tuna grahita sedang, kelainan perilaku yaitu tuna laras atau gabungan diataranya. Mereka yang menderika kelainan tersebut dididik dalam satuan pendidikan yang berbentuk TK Luar Biasa, SD Luar Biasa, SLTP Luar Biasa, SM Luar Biasa atau bentuk lain yang ditetapkan oleh Menteri Pendidikan. Dalam penjelasan PP tersebut di atas juga dirinci maksud dari berbagai tuna tersebut. Tuna netra adalah kerusakan atau cacat mata yang mengakibatkan seseorang tidak dapat melihat atau buta. Tuna rungu adalah kerusakan atau cacat pendengaran yang mengakibatkan seseorang tak dapat mendengar atau tuli atau pekak. Tuna daksa adalah cacat tubuh. Tuna grahita adalah keterbatasan mental dan termasuk di sini adalah keterbelakangan mental ringan dan keterbalekangan mental sedang. Tuna laras adalah gangguan atau hambatan atau kelainan tingkah laku sehingga kurang dapat menyesuaikan diri dengan baik terhadap lingkungan keluarga, sekolah dan masyarakat. Isi kurikulum PLB sedapat mungkin disesuaikan dengan isi kurikulum sekolah pada umumnya dengan memperhatikan keterbatasan kemampuan belajar para siswa yang bersangkutan pada jenjang pendidikan tertentu. Kurikulum PLB dapat dilihat pada lampiran 1. Dalam Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI No. 0491/U/1992 tentang Pendidikan Luar Biasa diatur penyelenggaraan PLB yaitu dapat diselenggarakan melalui pendidikan terpadu, kelas khusus, guru kunjungan dan atau bentuk pelayanan pendidikan lainnya. Pendidikan terpadu merupakan pendidikan bagi anak berkelainan yang diselenggarakan bersama-sama anak normal di jalur pendidikan sekolah. Kelas khusus merupakan kelompok belajar pada SD, SLTP dan Sekolah Menengah bagi siswa berkelainan dalam rangka memperoleh pelayanan pendidikan khusus hingga tamat. Guru kunjungan merupakan guru pada TKLB, SDLB, SLTPLB dan SMLB yang diberi tugas mengajar pada kelompok belajar bagi anak berkelainan yang tidak dapat terjangkau oleh satuan PLB dalam rangka wajib belajar. 5. Kondisi Terkini PLB di Indonesia 5. Resource Center. 6. Pusat Pelayanan Pendidikan bagi Siswa Penderita Narkoba 7. Sheltered Workshop 8. Pendidikan Keterampilan bagi Lulusan SLTPLB dan SMLB a. Proses pendidikan dan latihan : 9. Program Percepatan Belajar (akselerasi) 10. Pemberian Beasiswa a. meringankan beban orang tua siswa Berdasarkan statistik persekolahan PLB 1999/2000 menunjukkan bahwa hanya sebanyak 37.460 anak cacat saja yang telah mendapat pelayanan pendidikan negeri dan swasta. Sementara itu anak-anak berbakat belum mendapatkan perhatian secara khusus. Jumlah itu menyebar pada TKPLB 7.009 siswa SDPLB 23.669 siswa, SLTPPLB 5.157 siswa, SMPLB 1.625 siswa. Semuanya tertampung di dalam 868 sekolah dengan rincian PLB Negeri sebanyak 36 sekolah atau 4,15 % yang menampung sebanyak 3.081 siswa atau 8,22 % dan PLB swasta sebanyak 832 sekolah atau 95,85 % yang menampung 34.379 siswa atau 91,78 %. Penyebaran ini dapat dilihat pada grafik di lampiran 2. 6. Reformasi Kebijakan PLB Bila kita cermati pelaksanan PLB maka tampak adanya tiga kekurangan utama dalam penyelengaraan PLB. Pertama, prosentase penderita cacat yang mendapatkan layanan pendidikan kecil sekali yaitu 0,2 % pada tahun 2000 seperti terlihat pada grafik terlampir. Sementara itu anak berbakat belum mendapatkan perhatian secara serius walau sudah ada beberapa sekolah yang menyediakan layanan khusus. Kedua, perhatian pemerintah pada penderita cacat masih amat rendah yang hanya menyediakan 4 % dari total sekolah dan menampung 8 % dari penderita cacat yang bersekolah. Ketiga, layanan PLB mayoritas terdapat di lima kota besar di Jawa yang berarti penderita cacat di kota-kota kecil dan terpencil masih banyak terabaikan. Kondisi ini tidak bisa kita biarkan terus berlanjut bila tidak ingin muncul ancaman baru berupa krisis sumber daya manusia. Meminjam istilah PBB disebut krisis tak tampak (silent crisis) yang tidak hanya berpengaruh terhadap para penyandang cacat dan keluarganya saja tetapi juga akan berpengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi dan sosial pada masyarakat luas. Perlu diingat kembali bahwa manusia adalah sebagai salah satu faktor produksi yang amat penting dalam sistem ekonomi. Untuk itulah perlu adanya perhatian yang serius terhadap orang-orang cacat dan berbakat tersebut melalui pendidikan luar biasa. Untuk melaksanakan reformasi PLB perlu diketahui pula isu-isu dalam penyelenggaraan PLB yang berkembang saat ini adalah sebagai berikut ini: Dari berbagai fakta dan isu yang berkembang pada pendidikan PLB tersebut di atas harus dijadikan dasar aksi reformasi kebijakan PLB di Indonesia. Maka reformasi kebijakan PLB di Indonesia dapat ditempuh melalui upaya berikut ini: 7. Kesimpulan |
TUNA GRAHITA PEMBIAYAAN
Sumber : beritadetail.php.htm (16 December 2007)
Pemerintah belum berbuat banyak, pendidikan khusus yang diberikan membutuhkan biaya lebih besar. Sedangkan hanya mengandalkan bantuan orang tua sangat tidak mencukupi sehingga pengurus mengumpulkan donatur untuk kelangsungan pendidikan yang diselenggarakan. Data di seluruh Indonesia 62 persen sekolah luar biasa (SLB) dikelola swasta, sedang di DKI Jakarta 96 persen dikelola swasta. Hal itu berarti seluruh pembiayaannya menjadi tangungjawab masyarakat.
Perluasan Akses Sekolah Inklusif Dilihat dari Perspektif Ekonomi
13 April, 2009
Anak-anak yang terancam putus sekolah dan anak-anak yang putus sekolah adalah mereka yang memperoleh prioritas dalam pembiayaan pembangunan pendidikan. Mereka adalah anak-anak dari keluarga miskin, anak-anak yang tinggal didaerah terpencil, anak-anak yang tinggal di daerah perbatasan dengan Negara lain, anak-anak yang berasal dari suku-suku terasing, anak-anak yang tinggal di daerah konflik, anak-anak yang tinggal di daerah bencana, anak jalanan dan anak yang bekerja, anak yang mempunyai kebutuhan khusus dan lain-lain. Mereka semua adalah anak-anak yang bagaimanapun kondisi latar belakang sosial, budaya, dan ekonomi termarginalkan adalah sumber daya - sumber daya yang memiliki nilai potensial yang tinggi dalam mengembangkan bangsa dan negara ke arah kemajuan.
Pemihakan pemerintah terhadap mereka dilakukan dengan menghilangkan hambatan biaya (cost barrier) bagi orang tua peserta didik dalam rangka meningkatkan jumlah peserta didik SD dan SMP, sehingga Wajib Belajar Pendidikan Dasar Sembilan Tahun dapat diselesaikan. Hambatan tersebut menurut Bambang Sudibyo (2006: 87) yaitu: ”biaya operasional satuan pendidikan, biaya pribadi, dan biaya investasi”. Dengan semakin kecilnya hambatan biaya, diharapkan seluruh anak usia sekolah 7 tahun sampai 15 tahun dapat mengikuti pendidikan paling tidak sampai dengan pendidikan dasar sembilan tahun.
Pemerintah telah menghilangkan hambatan biaya dalam rangka meningkatkan jumlah peserta didik SD dan SMP, namun demikian pelayanan pendidikan melalui keberadaan sekolah inklusif merupakan bentuk penyelenggaraan pendidikan yang relatif lebih murah. Tidak saja bagi pemerintah, juga bagi orang tua peserta didik. Sehingga tidak ada istilah bagi orang tua yang memiliki anak usia sekolah SD dan SMP yang tidak memperoleh pendidikan, sebab tidak saja hambatan biaya yang ditanggulangi pemerintah, tetapi peserta didik dapat bersekolah di sekolah yang terdekat dengan lokasi tempat tinggalnya.
Pendidikan memberikan manfaat teradap individu dan masyarakat berupa nilai intrinsik dan ekstrinsik, moneter dan non-moneter. Manfaat non-moneter dapat berupa konsumsi dan investasi. Elchanan Cohn (1979: 27) menyebutkan nilai intrinsik dari pendidikan adalah moral, agama, dan juga material. Sedangkan nilai ekstrinsik adalah nilai-nilai ekonomis baik untuk individu ataupun masyarakat. Menurut Schultz yang dikutip Elchanan Cohn (1979: 168) nilai-nilai ekstrinsik dapat dikategorikan sebagai konsumtif dan investasi. Aspek konsumtif berhubungan dengan kesenangan, kegembiraan, dan manfaat-manfaat yang diterima oleh siswa, keluarganya, dan masyarakat keseluruhan. Misalnya, kegiatan-kegiatan seperti musik, olah raga, seni dan kerajinan bisa membantu kesenangan siswa di sekolah. Keluarga merasa diringankan tugasnya ketika anak-anak berada di sekolah, manfaat yang besarpun dirasakan oleh guru dan orang lain (Wisbrod, 1962, 116-118). Masyarakat juga memperoleh manfaat konsumtif dengan berkurangnya tingkat kejahatan.
Lebih lanjut Elchanan Cohn (1979) juga mengakui, bahwa pendidikan merupakan fakor yang dominan dalam menentukan keberhasilan seseorang pada bidang ekonomi dan sosial. Pendidikan juga dapat meningkatkan prestise sosial seseorang dalam masyarakat. Pendidikan bukan saja bermanfaat bagi individu tetapi juga dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Manfaat lain dari pendidikan terhadap individu adalah dapat meningkatkan produktivitas kerja dan sumber pendapatannya. Produktivitas individu yang tinggi secara kuantitas dan kualitas akan dapat memproduksi barang dan jasa dengan sangat efisien dalam penggunaan sumber daya yang langka tetapi memuaskan. Meningkatnya pendapatan dan tersedianya barang dan jasa dengan harga yang terjangkau akan memacu pertumbuhan ekonomi dan kemakmuran masyarakat.
Dengan demikian pemberian kesempatan pendidikan melalui sekolah inklusif bagi peserta didik yang sering termarginalkan karena kondisi latar belakanya, merupakan suatu investasi bangsa dalam memacu pertumbuhan ekonomi di Indonesia. Sekolah inklusif yang relatif lebih murah akan menghasilkan output pendidikan yang berkualitas dengan keahlian yang sesuai kemampuan dan kebutuhan peserta didik. Sebagaimana diungkapkan Elchanan Cohn (1979), bahwa outcome pendidikan dapat berbentuk:
1. Kemampuan dasar, yaitu keberhasilan siswa dalam mencapai kemampuan membaca, memulis, dan berhitung.
2. Kemampuan kejuruan, yang dapat digunakan untuk bekal hidup di masyarakat (life skiil).
3. Kreativitas, merupakan ukuran untuk menilai keberhasilan sekolah dengan bertambahnya kreativitas anak (manfaat investasi).
4. Sikap, sebagai salah satu fungsi sekolah adalah pembentukan sikap yang baik. Sikap ini meliputi untuk sendiri, teman, keluarga, komunitas tertentu, masyarakat sekolah, dan dunia dimana anak hidup.
5. Output lain, seperti pengurangan angka drop-out SMP.
Output pendidikan yang berkualitas dengan keahlian yang sesuai kemampuan dan kebutuhan peserta didik merupakan modal dasar pembangunan bangsa Indonesia, dalam meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Sebagaimana diketahui, bahwa pertumbuhan ekonomi bagi negara berkembang melalui investasi pendidikan masih relatif rendah. Namun demikian, bukan berarti pertumbuhan ekonomi di negara Indonesia tidak mengalami peningkatan seiring dengan tingginya tingkat pendidikan masyarakat. Walaupun hal tersebut masih jauh dibandingkan pertumbuhan ekonomi negara maju. Sebagaimana diungkapkan oleh Elchanan Cohn (1979) bahwa, ”… pengeluaran untuk pendidikan dihitung ke dalam pengeluaran konsumsi (bukan tabungan). Karena investasi modal fisik dianggap sebagai tabungan, tambahan pendidikan dapat membuat kontribusi bersih bagi pertumbuhan bila IRR pendidikan lebih rendah dari pada modal material lainnya”.
Sumber: ineupuspita.wordpress
Mendirikan Sekolah Tuna Grahita Karena Rasa Prihatin
Sabtu, 18/04/2009 10:28 WIB
padangmedia.com - PAYAKUMBUH- Berawal dari keprihatinannya terhadap anak-anak yang mengalami cacat mental, Sayflinda Spd mendirikan Yayasan Setia Ayah Bunda Tuna Grahita tahun 1989.
Meski dengan dana yang minim, ia yang juga menjabat sebagai Kepala Sekolah, tidak pernah meminta bantuan kepada pemerintah. Semua biaya ia keluarkan dari dana pribadi dan bantuan donatur yang beersimpati.
“Peletakan batu pertama bangunan ini dilakukan pada 19 Juli 1989. Tahun itu juga gedung tersebut bisa dimanfaatkan dan mulai menerima siswa khusus yang menderita Tuna Grahita,” jelas Syaflinda kepada padangmedia.com, kemarin.
Meski bisa dimanfaatkan, katanya, pada tahun awal itu juga mengalami kendala. Pasalnya, masih banyak masyarakat beranggapan anak yang menderita Tuna Grahita tidak perlu sekolah dan tidak ada sekolahnya.
“Kita tidak menyerah. Kami dari yayasan langsung mendata anak Tuna Grahita yang berada khususnya di Payakumbuh dan kemudian mengajak kepada orang tuanya supaya mau anaknya itu disekolahkan,” tambahnya.
Diam-diam, ia bersama pengurus yayasan menyelidiki ke kelruahan-kelurahan apakah di sana ada anak-anak yang menderiata Tuna Grahita. Mereka memberanikan diri untuk mengajak orang tua agar mau menyekolahkan anaknya.
Sampai tahun 1998 Yayasan Setia Ayah Bunda terus berjalan dengan baik, walaupun secara pelan-pelan dan tidak ada sedikitpun dibantu oleh pemerintah.
“Awalnya sekolah itu hanya menerima siswa untuk Sekolah Dasar, dan beberapa tahun kemudian juga dibuka untuk SLTPnya”, tutur Syaflinda.
Berkat kegigihan dan keyakinannya, sejak tahun 1998 sampai sekrang yayasan sudah mulai mendapat perhatian dari pemerintah. Buktinya sudah sering mendapatkan bantuan untuk pembangunan gedung, penambahan fasilitas sekolah, dan juga bantuan untuk honor guru. “Sekarang sekolah kami juga sudah mendapatkan bantuan dana BOS,” jelasnya..
Semenjak didirikan yayasan ini baru berhasil menamatkan 15 siswa SD dan 9 siswa SMP yang sesuai jalur akademik. Dan yang menamatkan tidak sesuai jalur kademik juga sudah banyak.
Dalam memberikan pembalajaran kepada siswa, Syaflinda menerapkan sistim pembiasaan. Bukan dengan modal intelektual anak. Dan leih mengarahkan siswa kepada belajar keterampilan. “Sebab kalau dia bisa berketerampilan, kan bisa sebagai modal baginya untuk masa depan. Berbagai keterampilan juga diajarkan, seperti memotong rambut, ,mengaduk semen, dan juga mencetak batu batako,” katanya.
Target ke depan, sebutnya, akan menambah yayasan ini dengan mendirikan sekolah untuk Tuna Grahita pada tingkat SMA atau SMLB. Mudah-mudah bisa terwujud ya Bu? (Alif)
Anak Cacat Juga Punya Hak Menikmati Dunia
Laporan:
SEMUA orang tua pasti berharap dapat melahirkan dengan selamat dan mendapatkan anak yang sehat jasmani dan rohani. Namun, terkadang Tuhan berkendak lain, yang lahir adalah anak kurang sehat, tidak sempurna atau memiliki kecacatan fisik maupun psikis.
Anak Cacat Juga Punya Hak Menikmati Dunia SEMUA orang tua pasti berharap dapat melahirkan dengan selamat dan mendapatkan anak yang sehat jasmani dan rohani. Namun, terkadang Tuhan berkendak lain, yang lahir adalah anak kurang sehat, tidak sempurna atau memiliki kecacatan fisik maupun psikis. Meskipun anak terlahir tidak normal, tetapi dia juga manusia yang memiliki hak untuk menikmati dunia ini. Dalam kondisi itu, peran orangtua, keluarga, dan warga masyarakat lainnya dituntut untuk memahami serta memberi dukungan agar si anak dengan kebutuhan khusus itu tidak menjadi beban orang lain. Seperti dilakukan oleh Panti Asuhan (PA) Bina Siwi yang berada jauh dari pusat perkotaan. Tepatnya di Komplek Balaidesa Sendangsari, Pajagan, Bantul, DI Yogyakarta. Sejak tahun 1989, panti yang bernaung dalam Yayasan Ngudi Raharjo ini telah merintis terbentuknya sekolah luar biasa (SLB), dan baru tahun 1995 mendapat izin operasional. Bangunan yang cukup sederhana itu dapat menampung anak-anak kurang beruntung. Sebanyak 43 anak asuhnya, hanya delapan anak yang tidak menginap di panti. Yang menyedihkan lagi anak-anak tersebut hampir semuanya dari keluarga tidak mampu. Berkat ketulusan, keikhlasan, serta kegigihan para guru pembimbing yang tak pernah pudar, sebagian besar anak-anak dengan katagori cacat B (tuna wicara dan tuna rungu) dan C (tuna grahita) bisa tertolong, minimal dia siap untuk menjadi manusia yang berguna. Sejumlah prestasi juga diraih anak-anak Panti Asuhan dan SLB Bina Siwi dari berbagai lomba antar-anak-anak cacat. Sebetulnya bukan piala dan penghargaan saja ukuran keberhasilan itu, tetapi sejauh mana anak-anak kami bisa mandiri dan diterima di tengah masyarakat, kata seorang Pengurus Yayasan Ngudi Raharjo yang juga menjadi guru pembimbing, Jumilah kepada Pelita, didampingi pengurus lainnya, Margiyanti dan Sugiman. Biaya sekolah sukarela Untuk mewujudkan impian itu bukanlah hal yang mudah, seperti biasa kita dengar selalu terbentur masalah dana. Bagaimana bisa sebuah kegiatan tanpa didukung biaya.Kami tidak pernah mematok biaya sekolah, jadi tergantung kemampuan orang tua dan sukarela, kata Margiyanti. Biasanya anak-anak yang pulang ke rumahnya pada hari Sabtu, kembali ke panti dengan membawa bekal seperti tempe, kelapa, dan sayuran-sayuran. Kemarin juga ada yang bawa daun so (daun melinjo). Setiap Sabtu memang kami mengizinkan anak-anak pulang ke rumah untuk berinteraksi dengan keluarga, ujar Margiyanti. Makanan mentah yang dibawa akan dimasak dan dimakan bersama anak-anak lainnya. Untuk biaya operasional yang tinggi, diakuinya pihaknya juga mendapat bantuan dari Departemen Sosial tetapi belum mencukupi untuk biaya hidup. Untuk itu pihaknya selalu mencari cara untuk mendapatkan dana. Penghematan juga dilakukan dengan cara memelihara ikan lele untuk memenuhi gizi anak-anak, memanam sayuran seperti pare dan lainnya juga untuk menu sayur yang bervariasi. Begitu pula dalam melatih kemandirian anak, agar memiliki keahlian sebagai bekal hidup kelak. Bagi anak yang hanya mengalami bisu dan tuli tidak terlalu sulit untuk mengarahkannya, tetapi bagi anak tuna grahita atau memiliki intelegensi rendah sangat sulit diarahkan. Anak-anak tuna grahita umumnya punya karakter dan emosional yang berbeda, sehingga cara penanganan dan pendampingannya juga berbeda. Ada juga yang menyandang ketiganya, ya tuli bisu, IQ-nya rendah lagi, itu sangat kasihan, paparnya. Membuat emping Tapi ternyata anak-anak yang sudah mampu mengendalikan emosinya, bisa diajari membuat emping. Awalnya, pihak yayasan membeli biji melinjo lalu diolah menjadi emping. Tetapi karena tidak bisa memasarkan maka sekarang pihaknya hanya mengerjakan membuat emping, sedangkan biji melinjo disediakan oleh pengusaha emping. Satu kilo emping kami mendapat upah Rp1.500, ungkap Margiyanti. Selain mendapatkan uang yang dapat dinikmati oleh anak-anak, juga memberi bekal agar anak-anak cacat pun dapat berguna di masyarakat dan tidak menjadi beban keluarga. Lihat saja, mereka senang melakukan itu, ujar Jumilah kepada Pelita sambil berkeliling melihat kondisi panti. Di bagian belakang panti, selain digunakan untuk membuat emping, juga tampak beberapa kolam berdinding tembok yang dimanfaatkan untuk memelihara ikan lele. Di sampingnya tampak pohon pare yang tumbuh subur dan segerombol pohon bayam pun ada di sana. Di sebelahnya lagi, terpajang alat bubut yang sudah menghasilkan rupiah. Seorang tuna grahita Yudianta yang tergolong C-ringan, diminta untuk memperagakan cara membuat hiasan dari kayu. Dengan cekatan Yudianta memasang kabel listrik dan menyalakan mesin bubut lalu memperagakan membuat bagian dari hiasan patung. Ini caranya begini, ujar Yudianta menjelaskan dan tampak dari wajahnya ada kepercayaan diri yang muncul dari dalam dirinya. Menurut Jumilah, selain Yudianta ada satu anak lagi dari tuna grahita golongan B juga mampu membuat berbagai hiasan kayu seperti mangkuk tempat sirih. Memang belum semua bisa dikerjakan oleh kedua anak tuna grahita ini. Pengrajin patung, hanya memberi order misalnya tongkatnya saja, atau bagian-bagian yang mudah dikerjakan. Memang masih terbatas, tetapi mangkuk buatan Ngatijan dapat pujian karena bisa sangat simetris,jelas Jumilah. Bahkan Ngatijan yang berada di panti sejak 1989 pun tidak mau pulang ke rumah, kini dia menjadi salah satu karyawan di PA Bina Siwi. Banyak anak-anak yang betah di sini, tetapi kami selalu mengupayakan agar tetap berinteraksi dengan keluarga, katanya. Di sisi lain, pihaknya bukan mudah merayu para orangtua agar menyekolahkan anaknya di Bina Siwi. Banyak orang tua yang takut biayanya mahal dan berbagai alasan misalnya transportasi, sebab tidak semua orang tua tega menitipkan anaknya di panti. Perjuangan para pembimbing Bina Siwi sering terkendala oleh kurangnya sarana dan prasarana. Sebetulnya kami butuh mobil untuk menjemput anak-anak dengan kebutuhan khusus yang belum mau tinggal di sini (di panti itu, karena kalau pakai sepeda motor satu-satu waktunya lama dan kadang ada yang anaknya masih loncat-locat, kata Sugiman, seorang pembimbing di sana. Mungkin karena letaknya jauh, panti asuhan ini hampir luput dari bantuan-bantuan pihak swasta. Kami juga mau jika ada pihak swasta yang membantu untuk keperluan kesehatan pribadi seperti alat mandi dan cuci, ya, pokoknya apa saja yang penting berguna buat anak-anak kami, kata Sugiman yang diamini Jumilah dan Margiyanti.(dewi purnamasari)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar