Jumat, 22 Mei 2009

WC Sekolah Ihh... Jorok!!

Fungsi dan keberadaannya sangat vital, tetapi pengaturannya masih jauh dari kesempurnaan. Begitu kurang lebih gambaran pengelolaan water closet (WC) sekolah di Kota Bandung, maupun secara luas di daerah Jawa Barat.

Di beberapa sekolah masih terlihat bangunan WC yang kecil, kotor, dan tidak terawat. Padahal ekses negatif dari kondisi WC yang kurang baik, jelas akan dialami penghuni sekolah itu sendiri, terutama para siswa. Lebih parah lagi, ada juga sekolah yang tidak memiliki WC.

Selama ini, pembangunan WC di sekolah, tidak ada standar, mulai dari anggaran, ukuran, hingga design WC. Biasanya, pembangunan itu, merupakan inisiatif sekolah. Aturan yang ada, terkait masalah WC, baru sebatas keharusan adanya standarnya dihitung berdasarkan rasio jumlah siswa masing-masing sekolah.

Seperti yang dikatakan Pembantu Kepala Sekolah Urusan Sarana Prasarana Sekolah Menengah Pertama (SMP) 34 Bandung Aceng Hidayat, pemerintah mensyaratkan perbandingan jumlah WC dengan jumlah siswa adalah 1:50.

"Artinya, sekolah yang memiliki 50 siswa, wajib mengadakan satu WC. WC sekolah juga diminta harus bersih. Namun, tak ada penjelasan, penegasan, dan sanksi hitam di atas putih. Pokoknya WC harus bersih," kata Aceng.

Sementara untuk kondisi di sejumlah sekolah lain, seperti di SMPN 24 Bandung dan SDN Gentra Masekdas II Bandung, bisa dikatakan WC bersih dan sehat, belum sepenuhnya tercapai.

Kumuh, sampah menumpuk, ventilasi udara yang kurang, bercak tanah bawaan sepatu, hingga bau pesing masih menjadi gambaran umumnya. Belum lagi, ketersediaan air menjadi persoalan tersendiri.

Di SMPN 34 Bandung, kuantitas WC telah sesuai dengan rasio jumlah siswanya, bahkan melebihi. Dengan jumlah 919 siswa, sekolah tersebut memiliki 20 WC siswa dan empat WC untuk 73 karyawan.

Menggantungkan pemeliharaan kepada tiga pesuruh yang dibayar Rp 20.000,00 per hari, WC tersebut dikontrol setiap sebelum dan sesudah jam pelajaran usai, serta menjelang istirahat. Setiap tahun, untuk pemeliharaan seperti penggantian keran dan perlengkapan WC (pembersih lantai dan pewangi), sekolah tersebut menganggarkan Rp 6 juta.

Namun, fasilitas WC sekolah tersebut hingga sekarang masih terganggu oleh ketidaklancaran air. "Kalau sini pakainya dari PDAM (perusahaan daerah air minum). Pernah dua hari air tidak mengalir, jadi pakai air sisa kemarin atau kalau pas hujan ya ditadah," kata Aceng.

Aceng mengatakan sudah sering mengajukan proposal ke perusahaan untuk pengadaan jetpump. Akan tetapi, hingga kini nihil hasilnya.

Selain air, bau pesing juga masih sering tercium terutama di WC putra. Aceng mengatakan, bau pesing itu lebih disebabkan kurangnya kesadaran anak untuk selalu menyiram toilet setelah menggunakannya.

Siswa kelas IX-A sekolah tersebut, Fajar Maulana mengatakan, dalam sehari mengaku tiga kali ke WC. "Pernah juga lupa menyiram karena buru-buru. Agak risi juga kalau pesing, tapi ya terpaksa masuk WC," ujarnya menambahkan.

Pihak sekolah lebih menginginkan adanya aturan yang jelas tentang pengadaan WC, terutama alokasi anggaran. Kepala SDN Gentra Masekdas II Titi Rohaeti mengatakan, melalui peraturan jelas dari pemerintah, kepala sekolah akan lebih mudah dan nyaman dalam mengurus sekolahnya karena ada acuannya.

**

Menanggapi permasalah itu, Kepala Dinas Pendidikan (Disdik) Jabar, Dr. H. Moh. Wahyudin Zarkasyi, Sk. mengatakan, sarana pendukung seperti WC sekolah saat ini memang belum menjadi prioritas utama pemerintah.

"Konsentrasi role sharing dari 2006 sampai sekarang masih ke Ruang Kegiatan Belajar (RKB). Setelah itu kami akan konsentrasi ke sarana perpustakaan. Ke depan memang akan ada program sekolah sehat," katanya.

Dana yang diberikan pemerintah sekarang baru untuk memberikan standar pelayanan minimum saja, meliputi kegiatan belajar mengajar saja. "Mengenai standar kesehatan belum masuk ke dalam unit cost sekarang," ujarnya.

Menurut Wahyudin, jika sarana kesehatan sudah didanai pemerintah, Disdik Jabar akan menggalakkan program sekolah sehat seperti di Kota Sukabumi.

Terkait standar WC, kata Wahyudin, saat ini memang belum ada ketentuan khusus dari Disdik Jabar. "Jika biaya untuk itu sudah dianggarkan, nanti bikin standarnya. Misalnya, rasio perbandingan WC dengan jumlah siswa kami ingin jadikan 1: 20 atau minimal satu kelas bisa satu WC," katanya.

Meski dari pemerintah saat ini belum menjadi target khusus, beberapa sekolah sudah ada yang memperhatikan masalah sarana WC. "Memang masih sedikit yang bisa seperti itu, tapi bisa menjadi contoh untuk yang lain," katanya.

Dalam kondisi seperti sekarang, Wahyudin berharap pihak sekolah memiliki inisiatif untuk menata sarana dan prasarana sekolahnya masing-masing. "Saya berpendapat kepala sekolah yang bisa menggratiskan sekolah. Itu memang sudah tugasnya. Yah kalau bisa diberi nilai, paling saya kasih enam lah," ungkapnya.

Kepala sekolah yang berhasil, menurut Wahyudin, adalah kepala sekolah yang bisa memobilisasi dana dari masyarakat tanpa melanggar aturan. Artinya besaran dan waktunya tidak ditentukan dan masyarakat memberikannya dengan sukarela tanpa paksaan.

Dalam hal ini, kepala sekolah harus bisa mengetuk hati orangtua siswa yang mampu. "Masa sih mereka bisa antar jemput anaknya menggunakan mobil. Tapi tega melihat WC yang digunakan anaknya di sekolah kondisinya buruk, taman sekolahnya tidak bagus, tempat cuci tangan tidak bagus, atau kantinnya tidak bersih," kata Wahyudin.

Sebagai pemicu, komite sekolah bisa memberikan reward kepada orang tua yang peduli, dengan menuliskan nama mereka di setiap bangunan yang dananya dari sumbangan mereka.

"Tulis saja bahwa WC itu sumbangan si A. Kalau ada 10 WC kan bisa ditulis 10 nama penyumbang terbesar. Memang terdengar riya tapi lebih baik daripada pelit kan?," ungkap Wahyudin.

Wahyudin yakin, sebenarnya banyak orang tua siswa yang mampu. Masalahnya tergantung cara mengetuk hati mereka. Kondisi sekarang, kalau orang tua dipaksa memberi sumbangan, itu melanggar aturan. Namun jika diminta sukarela semuanya mengaku miskin.

Di sinilah kepintaran kepala sekolah dan komite sekolah untuk memberdayakan mereka. "Nanti saya akan bicarakan dengan kepala dinas kota/kabupaten, bahwa prestasi kepala sekolah bukan sekadar menggratiskan biaya sekolah," katanya.

Sekolah yang memang siswanya anak orang tidak mampu, komite sekolah bisa mencari donatur dari swasta. Selain itu, pemerintah juga akan membantu dengan mengetuk beberapa BUMN atau BUMD untuk membantu pembangunan prasarana pendukung di lingkungan sekolah.

"Alumni juga kuat sebenarnya bila diketuk. Syaratnya satu, asal pihak sekolah bisa transparan atau terima dalam bentuk barang atau jadi saja," ujarnya." ujarnya. (Handri Handriansyah/ Amaliya/"PR")

Tidak ada komentar:

Posting Komentar