Jumat, 29 Mei 2009

Artikel manajemen tenaga kependidikan

SLB kekurangan tenaga pendidik

DEMAK - SLB milik Yayasan Pendidikan Luar Biasa (Yaspenlub) Kabupaten Demak kekurangan tenaga pendidik. Bangunan sekolah bagi anak-ank penyandang tuna grahita dan tuna rungu yang telah dioperasionalkan sejak 1979 itu pun dalam kondisi memprihatinkan.

Kepala SLB B (khusus kelas tuna rungu) Ruslan menuturkan, pada awalnya SLB satu-satunya di Demak itu hanya memiliki kurang dari 10 murid. Namun seiring bergulirnya waktu dan hingga perayaan HUT ke-29 kemarin, SLB kelompok tuna rungu tersebut telah memiliki 50 anak didik yang terbagi dalam 11 kelompok belajar. Dengan perincian TKLB dua kelas, SDLB enam kelas, dan SMPLB tiga kelas.

"Sejauh ini kami hanya memiliki 10 guru untuk mendidik 50 anak penyandang tuna rungu. Jumlah yang jauh dari cukup, mengingat keistimewaan yang mereka miliki," tutur Ruslan, Rabu (1/8).

Kepala SLB C (tuna grahita) M Ridwan menuturkan hal serupa. Menurut dia, idealnya satu guru menangani empat sampai enam murid dengan kondisi istimewa semacam anak-anak didiknya. Yakni tenaga pendidik khusus untuk keahlian akademik, dan ada lagi lainnya untuk keterampilan hidup atau life skill. Apalagi selepasnya dari SLB kelas B ataupun C, anak-anak penyandang tuna rungu maupun tuna grahita tersebut harus bisa mandiri dan tidak bergantung pada orang lain. Meski orang lain itu orang tuanya sendiri.

Namun dengan kondisi yang serba terbatas tersebut, mereka tetap menjalankan pengabdiannya mereka tanpa pamrih. Bahkan dengan keterbatasan fasilitas juga sarana dan prasarana.

Bupati Demak Drs H Tafta Zani MM ketika menghadiri perayaan HUT ke-29 Yaspenlub Kabupaten Demak menyampaikan, secepatnya menyalurkan bantuan untuk penambahan lokal maupun sarana dan prasarana lainnya. Menurut bupati, tidak ada alasan untuk menghambat proses belajar dan mengajar, khususnya bagi anak-anak penyandang tuna grahita, tuna rungu maupun tuna netra.

Jika tidak ada masalah dengan tata ruang kota, lanjut bupati, tanah di belakang Gedung SLB akan dimanfaatkan pemkab untuk perluasan SLB. Karena bagaimana pun, anak-anak usia sekolah dasar maupun taman kanak-kanak itu masih membutuhkan ruang bermain.

"Jika perlu, camat atau pun lurah segera menginventarisasi warganya yang kebetulan menyandang tuna grahita. Mendaftarkannya ke SLB milik Yaspenlub. Soal biaya pemkab yang akan menanggungnya. Karena sekolah yang baik, adalah sekolah yang mau menampung murid-murid dari keluarga kurang mampu," kata bupati.

Mengenai kekurangan guru atau tenaga pendidik, Kasubdin Pendidikan Dasar Dinas Pendidikan Kabupaten Demak Drs Khumaidullah MPd menuturkan, setiap tahunnya ada pengadaan. Beberapa di antaranya untuk bidang pendidikan luar biasa tersebut. ssi/Jon

www.wawasandigital.com/index.php?option=com_content&task=view&id=6533&Itemid=54 - 23k


MEREKAPUN ASSET BANGSA


06 November 2007

Laporan: Riri Wijaya

[''Forum Gemari'' Senin & Selasa, 08.00-09.00 WIB]Jika kita mendengar kata-kata cacat, apa yang terlintas dalam benak? Mungkin sesuatu yang kurang bagus atau rusak, bisa juga sesuatu yang tak bisa diperbaiki atau dipakai lagi. Pandangan ini jelas keliru, pada barang saja sebagai benda mati, produk cacat atau rusak masih bisa mempunyai banyak manfaat bagi yang membutuhkan, apalagi jika itu manusia. Mereka sama dengan kita mempunyai perasaan, hati, jiwa dan keinginan untuk dihargai dan disayang.

Hari ini Senin 5 November 2007, tamu kita Retno Astuti Aryanto, Bendahara Dewan Nasional Indonesia untuk Kesejahteraan Sosial (DNIKS) sekaligus Ketua Yayasan Asih Budi, Organisasi Sosial yang bergerak pada bidang pendidikan Anak Tuna Grahita.

Tuti, demikian sapaan akrabnya, mengatakan, para penyandang cacat tuna grahita berbeda degan penyandang cacat fisik seperti tuna netra, tuna rungu atau tuna daksa. Pada kasus ini, mereka mengalami cacat mental atau kelambanan dalam berfikir. IQ merekapun antara 25-50 dengan spesifikasi ringan, sedang dan berat.

Mereka ini ada yang mampu rawat atau tergeletak ditempat tidur, mampu latih, bisa mengurus diri sendiri mandi,ganti baju, makan dan mampu didik, bisa mengikuti pelajaran paling tinggi setara anak kelas 5 SD dengan IQ diatas 50 namun dibawah 70. Karena keterbatasan inilah maka mereka tidak bisa menguasai akademik secara utuh.

Berbeda dengan cacat lain yang bisa diatasi melalui alat semisal untuk yang tuna rungu dengan alat pendengarannya, tuna netra dengan braile, mereka bisa sehebat yang normal namun tidak demikian dengan penyandang tuna grahita. Lalu apa solusinya? Mereka bisa diberi latihan keterampilan (tata boga, tata busana) dan olahraga.

Sejak tahun 1989 didirikan Special Olimpic Indonesia ( SOINA). Disinilah mereka berlatih olahraga sehingga motoriknya baik, lebih terlatih, lebih trampil, punya kedisiplinan serta percaya diri. Bahkan dalam World Summer Games 13 Oktober yang lalu mereka menjadi duta bangsa dan berprestasi. Dari 20 altet yang dikirim mendapatkan 9 medali emas dari perlombaan atletik, bulutangkis, tennis meja mengungguli 165 negara yang ikut berpartisipasi.

Meskipun prestasi mereka tak sehebat atlet elite, namun dikalangan tuna grahita, ini pencapaian yang luar biasa. Kalau para atlet elite berprestasi mendapat perhatian penuh dari pemerintah berupa penghargaan, hadiah dan jaminan masa depan, diharapkan demikian pula bagi para penyandang tuna grahita ini.

Minimal , selepas sekolah mereka ingin tetap ada wadah pendidikan berupa work shop dan sejenisnya sehingga tidak terasing ditengah masyarakat atau dimasukkan

kedalam bengkel kerja dengan pembinaan pemerintah. Mungkin saja mereka menjadi sub kontrak assembling dari perusahaan besar. Depnakertrans, Depsos, pengusaha, para relawan, pelaku-pelaku ekonomi dan LSM membantu membangun link.

Saat ini, di Jakarta terdapat sekitar 5000 orang penyandang tuna grahita, dari 50 Sekolah Luar Biasa, tinggal 35 saja yang bertahan dan Yayasan Asih Budi adalah yang tertua karena sudah lebih dari 50 tahun berdiri.

Ditambahkan Astuti, para guru yang mengajar anak-anak berkebutuhan khusus ini harus punya predikat guru dari sekolah pendidikan luar biasa Strata-1, mereka ini harus punya ketelatenan dan qualified dibidangnya karena lebih sulit mengajar anal dengan kebutuhan khusus terlebih standarisasi tenaga pendidik ditetapkan juga melalui sertifikasi guru.

Saat ini tampaknya pemerintah masih lebih memperhatikan sekolah reguler dengan menggratiskan biaya SD dan SMP dan rencana yang sama untuk SMA ditahun depan (khusus Jakarta) sementara para penyandang tuna grahita yang jelas-jelas punya biaya operasional lebih tinggi karena 96%nya dikelola swasta, kurang mendapatkan perhatian, demikian Astuti menyayangkan.

Padahal banyak dari keluarga penyandang tuna grahita ini yang kurang mampu dan tidak bisa ditolak keberadaannya disekolah. Solusi yang diambil Astuti mencarikan beasiswa atau subsidi silang. Rata-rata perbulannya dibutuhkan biaya Rp.400.000 per anak untuk biaya pendidikan, operasional sekolah, honor guru dan alat peraga. Meskipun diakui tiap sekolah akan mempunyai angka operasional yang berbeda.

Meskipun penyelenggara sekolah ini Non Government, sifatnya relawan namun dalam pelaksanaannya harus professional, itu yang menyebabkan perjuangan dari para relawan yang berkecimpung dibidang social kemasyarakatan ini tak boleh kendur dalam menjalankan visi, misi dan suara hati nurani untuk mencintai dan menghargai penyandang cacat Tuna Grahita…

qriri wijaya


TUNA GRAHITA TENAGA PENDIDIKAN

KETENAGAAN
- Guru
Guru yang mengajar seluruhnya berkualifikasi Pendidikan Luar Biasa dan didukung dengan Penataran dan Pelatihan di tingkat Nasional dan akan ditambah guru sesuai dengan rasio murid

  • Therapis/Tenaga Ahli
  • Speech Terapi
  • fisio Terapi
  • Okupasi Terapi
  • Psikolog
  • Dokter THT
  • Tenaga Ahli Komputer

KECERDASAN ANAK TUNAGRAHITA

Selama ini fokus pembelajaran guru adalah mengasah kecerdasan akademik. Seorang guru untuk anak tunagrahita akan merasa bangga dan berhasil mengajar, jika sang guru melihat perkembangan akademik sang anak. Tidak salah dengan apa yang dirasakan sang guru, sebab ia mendapat tuntutan yang berat dari para orang tua. Tidak dipungkiri bagaimana tatapan dan harapan orang tua, yang mengharapkan putra/putri mereka memiliki nilai-nilai akademik yang bagus.

Lalu bagaimana dengan kecerdasan dan kemampuan lain yang diyakini pasti muatannya lebih besar dimiliki anak tunagrahita? Seluruh makhluk di bumi ini diciptakan sang pencipta dengan keseimbangan. Jika persentase kecerdasan akademik anak tunagrahita hanya 10 %, maka ia memiliki 90% kecerdasan lain yang selama ini belum atau mungkin tidak tersentuh sang guru. Bagaimana para guru dan orang tua bisa menemukan 90% kecerdasan lain yang dapat menentukan kesuksesan hidup anak tunagrahita dimasa akan datang.

Tentu saja Test IQ yang selalu disarankan pihak sekolah manakala anak tunagrahita masuk tidak bisa menjadi patokan utama dan menjadi standar yang kaku. Guru-guru di Sekolah Luar Biasa sepertinya perlu membekali diri untuk membuat instrumen atau assesmen yang dapat mengungkap 90% atau lebih bakat, kemampuan, dan kecerdasan lain yang dimiliki anak tunagrahita diluar IQ. Hingga apa yang diprogramkan sekolah bagi pendidikan anak tunagrahita benar-benar optimal.

Penulis: Irine Puspita (guru SLB Negeri Subang)

Model komunikasi proses belajar mengajar antara guru dengan siswa penyandang tunagrahita (studi kasus di Sekolah Luar Biasa C1 AKW "Kumara I" Surabaya) [permalink]


Penyandang tunagrahita adalah orang yang mempunyai kemampuan
intelektual dibawah rata-rata. Penyandang tunagrahita mempunyai kesulitan
dalam berkomunikasi dengan orang lain. Guru dapat berkomunikasi dengan siswa
penyandang tunagrahita, meskipun terdapat banyak gangguan dalam proses
komunikasinya. Penelitian kualitatif dengan pengamatan, wawancara dan studi
kepustakaan ini dilakukan di Sekolah Luar Biasa C1 AKW "Kumara I" Surabaya.
Dari penelitian ini ditemukan bahwa setiap siswa penyandang tunagrahita
mempunyai tingkat intelektual dan kemampuan komunikasi yang berbeda-beda
yang menjadi gangguan komunikasi. Dalam model komunikasi antara guru
dengan siswa penyandang tunagrahita, semakin besar gangguan komunikasi
sewaktu guru menyampaikan pesan kepada siswanya, maka pesan akan ditolak
oleh siswanya, sehingga guru harus melakukan pengulangan pesan kepada
siswanya. Begitu pula dengan umpan balik yang disampaikan oleh siswa kepada
guru, semakin besar gangguan komunikasi yang terjadi, maka guru tidak dapat
memahami pesan yang disampaikan oleh siswanya. Besarnya kesamaan bidang
pengalaman dan kerangka acuan seorang guru dengan siswanya, berperan penting
dalam berkomunikasi dengan siswa-siswanya.

Author
• (51403053) INDAH WIDYAMURTI




Tidak ada komentar:

Posting Komentar