Jumat, 29 Mei 2009

Artikel manajemen pembelajaran

“PROGRAM BANTUAN TERHADAP INDIVIDU BERKEBUTUHAN KHUSUS : TUNAGRAHITA”


BAB I
PENDAHULUAN

I. Latar Belakang
Anak dengan kebutuhan khusus adalah anak yang secara signifikan mengalami kelainan (fisik, mental-intelektual, sosial, emosional) dalam proses perkembangannya dibandingkan dengan anak-anak lain seusianya sehingga mereka memerlukan pelayanan pendidikan khusus. Dengan demikian, meskipun seorang anak mengalami kelainan tertentu, tetapi kelainan tersebut tidak signifikan sehingga mereka tidak memerlukan pelayanan pendidikan khusus, anak tersebut bukan termasuk anak dengan kebutuhan khusus. Ada bermacam-macam jenis anak dengan kebutuhan khusus, salah satunya yaitu tunagrahita. Tunagrahita adalah anak yang secara nyata mengalami hambatan dan keterbelakangan perkembangan mental jauh di bawah rata-rata sedemikian rupa sehingga mengalami kesulitan dalam tugas-tugas akademik, komunikasi maupun sosial, dan karenanya memerlukan layanan pendidikan khusus.
Ciri-ciri karakteristik anak tunagrahita, yaitu :
- Penampilan fisik tidak seimbang, misalnya kepala terlalu kecil/ besar
- Tidak dapat mengurus diri sendiri sesuai usia
- Perkembangan bicara/bahasa terlambat
- Tidak ada/kurang sekali perhatiannya terhadap lingkungan (pandangan kosong)
- Koordinasi gerakan kurang (gerakan sering tidak terkendali)
- Sering keluar ludah (cairan) dari mulut (ngiler)

Proses pembelajaran untuk anak tunagrahita harus dilakukan secara intensif karena mereka sangat memerlukan pembelajaran yang sesuai dengan kemampuan mereka. Secara umum keberhasilan proses pembelajaran sangat ditentukan oleh beberapa komponen. Komponen tersebut dapat berasal dari guru, siswa, sarana prasarana , kurikulum, dan lain-lain. Komponen-komponen ini akan saling berkaitan antara yang satu dengan yang lain. Guru tanpa siswa tidak akan terjadi proses pembelajaran, demikian juga siswa tanpa komponen yang lain tidak mungkin terjadi proses pembelajaran. Proses pembelajaran merupakan bagian yang paling pokok dalam kegiatan pendidikan di sekolah. Pembelajaran adalah interaksi timbal balik antara siswa dengan guru dan antar sesama siswa dalam proses pembelajaran. Pengertian interaksi mengandung unsur saling memberi dan menerima . Dalam setiap interaksi pembelajaran ditandai sejumlah unsur yaitu (1) tujuan yang hendak dicapai, (2) siswa dan guru, (3) bahan pelajaran, (4) metode yang digunakan untuk menciptakan situasi belajar mengajar, (5) penilaian yang fungsinya untuk menetapkan seberapa jauh ketercapaian tujuan. Jadi saya ingin membuat suatu program sederhana untuk anak tunagrahita yang telah saya observasi sebelumnya.

BAB II
ISI

A. Deskripsi Individu
Nama : Lagita Sitia Putri
Tempat Tanggal Lahir : Jakarta, 18 September 1995
Agama : Islam
Gita berumur 12 tahun, sekarang dia masih duduk di kelas 5 SD. Gita memiliki tingkat kecerdasan atau intelegensi sebesar 50, maka Gita termasuk kedalam anak tunagrahita ringan. Karena secara umum anak tunagrahita ringan adalah anak yang mempunyai tingkat kecerdasan di bawah normal. Tingkat kecerdasan atau inteligensi sekitar 50 – 75. Karena tingkat kecerdasan yang relatif rendah maka anak tunagrahita ringan akan memiliki keterbatasan dalam berbagai aspek. Karakteristik anak tunagrahita ringan akan nampak bagaimana cara berbicara, yaitu perbendaharaan katanya kurang. Mereka mengalami kesulitan berpikir abstrak. Selain itu kurang atau lama dalam memahami konsep sehingga dalam mengikuti pembelajaran harus diupayakan dengan pengalaman langsung. Keterbatasan Gita yaitu, sudah bisa membaca tapi tidak bisa dua huruf mati seperti “NG” dan “NY”, hanya bisa berhitung sampai 50 saja, kurang memiliki perbendaharaan kata, dan agak hiperaktif. Tapi selain memiliki keterbatasan, Gita juga mempunyai beberapa kelebihan, yaitu sudah lancar bicara, sudah bisa mengungkapkan perasaan, bisa potong kuku sendiri, bisa ke kamar mandi sendiri, dan bisa berangkat sekolah sendiri. Jadi, saya ingin memberi program yang menurut saya mampu diikuti oleh Gita.

B. Program Bantuan
a. Jenis Program : Pengembangan kreativitas di bidang seni.
b. Tujuan : Mengembangkan kreativitas di bidang seni yaitu menggambar.
c. Sasaran : Anak berkebutuhan khusus, yaitu tunagrahita ringan.
d. Jangka Waktu : 10x pertemuan @ 1 x 60 menit
e. Reinforcement : Memberikan pujian serta hadiah
f. Media : Buku gambar, pensil warna, crayon, cat air, dll.
g. Sarana prasarana : kursi, meja, lemari, papan tulis, dll.
h. Evaluasi : Melakukan penilaian selama kegiatan belajar-mengajar berlangsung, baik secara lisan tertulis, maupun melalui pengamatan langsung.
i. Metode : Ceramah, tanya jawab, dan praktek.
j. Pihak yang terlibat : Guru kelas dan orang tua.

C. Kajian Teori
1. Teori Motivasi
Guru harus senantiasa memberikan motivasi kepada sisa agar tetap memiliki gairah dan semangat yang tinggi dalam mengikuti kegiatan belajar-mengajar. Dan memberikan reward kepada siswa yang berbakat.
2. Teori Belajar dan Tingkah Laku
Dalam kegiatan belajar-mengajar, guru perlu mengembangkan strategi pembelajaran yang mampu mengoptimalkan interaksi antara guru dengan siswa, siswa dengan siswa, guru dengan siswa dan lingkungan, serta interaksi banyak arah.
3. Teori Kognitif
Sesuatu yang dipelajari siswa tergantung pada apa yang diketahui dari masing-masing siswa dan bagaimana informasi baru diproses.

D. Langkah-langkah pemberian program :
1. Menjelaskan tujuan mengajar
2. Menanggapi respon atau pertanyaan siswa
3. Memperkenalkan alat-alat gambar
4. Mengajarkan cara menggunakan alat-alat gambar
5. Menjelaskan tema suatu gambar (gunakan ekspresi lisan dan penjelasan tertulis yang dapat mempermudah siswa untuk memahami materi yang diajarkan).
6. Memberikan contoh gambar dari tema yang sudah ditentukan
7. Memberikan tugas menggambar sesuai dengan tema yang telah diberikan
8. Evaluasi


















“METODE PEMBELAJARAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM PADA ANAK TUNAGRAHITA (SLB C) ( Studi Kasus SLB B-C YPAALB Langenharjo Sukoharjo )”

Iriyani, Desi (2008) Universitas Muhammadiyah Surakarta.

Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui metode pembelajaran pendidikan agama Islam yang ada di SLB B-C YPAALB Langenharjo di Sukoharjo. Hal ini menjadi penting karena melihat persoalan-persolan yang dihadapi anak tunagrahita dalam mengikuti proses pembelajaran mengalami kesulitan yang di sebabkan memiliki intelegensi di bawah rata-rata, sehingga dalam proses pembelajaran anak tunagrahita memerlukan pendekatan dan pembelajaran secara khusus. Terutama mengenai penyampaian dalam pembelajaran terhadap anak tunagrahita yang berbeda pada anak normal, yang dengan mudah dapat mencerna materi pelajaran. Dengan latar belakang masalah tersebut, maka permasalahan yang diangkat dalam penelitian ini adalah bagaimana metode pembelajaran pendidikan agama Islam pada anak tunagrahita (SLB C). manfaat dari penelitian ini adalah secara teoritis, Menambah Wawasan keilmuan tentang dunia pendidikan pada umumnya dan pendidikan agama Islam pada khususnya terutama untuk pendidikan bagi anak penyandang cacat yang memiliki intelegensi di bawah rata-rata. Dan secara praktis, dapat memberikan masukan, sumbangan pemikiran dan sebagai bahan pertimbangan dalam pengembangan dan pembinaan SLB B-C YPAALB LangenHarjo Sukoharjo.

Penelitian ini merupakan Jenis penelitian lapangan dengan pendekatan deskriptif. Teknik pengumpulan data melalui interview, observasi, dan dokumentasi. Sedangkan analisis data menggunakan analisis kualitatif. Hasil penelitian yang didapat, bahwa Guru di SLB B-C YPAALB Langenharjo dalam menyampaikan materi kepada siswa menggunakan beberapa metode pembelajaran diantaranya meliputi metode ceramah dan hafalan, demonstrasi, apersepsi, menyanyi, dan metode latihan. Selain itu, guru dalam menyampaikan materi kepada siswa dengan menggunakan bahasa yang sederhana dan dilakukan secara berulang-ulang sampai siswa benar-benar paham terhadap materi yang disampaikan oleh guru. Dan pada hakikatnya metode-metode yang di gunakan dalam menyampaikan materi sama antara anak tunagrahita dengan anak normal, yang menjadi perbedaan adalah kondisi siswa dalam memahami materi yang di sampaikan oleh guru dan materi tersebut di sesuaikan dengan kondisi dan kemampuan peserta didik. Selain itu, guru harus mampu menciptakan suasana kelas yang dapat menghibur siswa.

Berdasarkan hasil kesimpulan dari penelitian ini, bahwa guru dalam menyampaikan materi pembelajaran pendidikan agama Islam mengalami kendala dalam proses belajar mengajar, meskipun menggunakan metode-metode sebagaimana yang tertera di atas. Namun semua itu tidak menjadikan guru yang ada di sekolah tersebut menjadi putus asa, melainkan terus berjuang membina anak tunagrahita untuk mewujudkan visi dan misi dari SLB B-C YPAALB Langenharjo Sukoharjo.



















BELAJAR HIDUP APA ADANYA ALA ANAK TUNAGRAHITA

Oleh : Mohamad sopyandireja,S.Pd

Ketika pertama kali terjun mengajar di SLB saya sangat termangu dengan tingkah laku Anak berkebutuhan khusus (ABK) yang diakibatkan oleh ketunagrahitaan yang khas dan tersendiri. Berdialog dengan anak tunagrahita, yang terucap dari pembicaraan-pembicaraan anak tersebut adalah kata-kata polos apa adanya. Tanpa ada hal yang ditutup tutupi. Mereka membicarakan tentang keluarga apa adanya, membicarakan perilaku sehari-hari penuh dengan keterbukaan. Mengungkapkan sesuatu dengan tanpa berbohong. Saya merenung mengapa Anak Tunagrahita bisa bertingkah laku demikian. Bandingkan dengan tingkah laku kita. Mengapa kita akan hidup penuh dengan intrik-intrik yang sulit untuk melihat kedalaman isi hati masing-masing. Seolah-olah kita itu hidup dengan memakai topeng. Yang dimunculkan keluar adalah topengnya, bisa topeng yang berparas baik, bisa topeng jelek, jahat, seolah-olah benar, jagoan, terpuji, penghargaan, seolah-olah tulus, seolah-olah ahli, seolah-olah penolong, wibawa dan seterusnya. Kita akan berusaha untuk memunculkan hal yang kita inginkan dengan latar sebenarnya itu hanyalah topeng belaka. Orang normal akan selalu berpikir bagaimana tingkah lakunya itu harus dimunculkan. Apakan tidak akan menyinggung orang lain walaupun sebenarnya orang tersebut salah. Kita akan menutup kesalahan orang lain karena kita ingin punya penghargaan dari orang yang ditutup tersebut. Kita akan berusaha berbohong supaya kita dipercaya, walaupun sebenarnya apa yang dilakukan kita itu salah. Itulah manusia normal yang selalu berlindung di dalam topengnya. Kembali kita lihat perilaku yang dimunculkan oleh Anak Tunagrahita. Mereka akan bicara terbatas dan dia tidak bisa mengarang untuk kebohongannya. Ketika dia ingin makanan maka dia akan bilang ingin makanan itu atau bahkan langsung saja merampas makanan yang ada di temannya. Kalau pikir dia tidak bisa mengerjakan soal misalnya maka dia bilang tidak bisa dan tidak mau menyontek karena dia benar-benar tidak mengerti yang dihadapinya. Kalau ditanya latar keluarganya, maka akan keluar apa adanya tentang semua yang dia ketahui tanpa ditutup-tutupi. Kalau dia tidak suka kepada sesorang maka dia akan bilang tidak suka terhadap orang tersebut tanpa berpikir bahwa orang tersebut akan tersakiti, yang terpenting dia pikir bahwa orang tersebut tidak sehati dengannya. Pokoknya Anak Tunagrahita akan berpikir praktis apa adanya dan tidak ditutup-tutupi. Buat dia berkata itu ya itu tujuannya, tanpa ada hal yang lain dalam kata-kata tersebut. Kalau kita menelaah perilaku-perilaku tersebut tentunya kita akan dapat belajar banyak dari Anak Tunagrahita. Bahwa kita bisa untuk jujur jangan banya bohong karena bohong tersebut banyak merugikan orang lain. Kalau kita bisa jujur maka hidup yang dihadapi ini tidak akan salah kaprah. Realita sekarang adalah hidup kita ini penuh dengan rekayasa, penuh dengan sandiwara, dan salah kaprah. Artinya “ yang benar akan menjadi salah dan yang salah akan menjadi benar”. Banyak contoh yang kehidupan yang salah kaprah ini. Ketika kita ingin membuat SIM misalnya sebenarnya yang benar adalah kita tidak usah untuk bayar tip, kita hanya perlu untuk lulus uji SIM-nya saja kemudian bayar administrasi sesuai dengan aturan maka jadilah SIM. Tetapi kenyataaannya lain ketika kita ingin jujur apa adanya membuat SIM tersebut dengan prosedural maka hambatan akan dihadapi tetapi kalau kita membuatnya dengan diluar jalur (salah) tetapi dengan menyuap, walaupun kita tidak bisa menyetir mobil pasti kita dapat SIM-nya. Apakah itu bukan namanya hidup salah kaprah, yang benar dianggap salah karena banyak yang salahnya dan yang salah menjadi banar. Susah memang memikirkan jalannya kehidupan orang-orang normal. Coba pelajari perilaku Anak Tunagrahita yang cukup dengan hidup apa adanya. Apakah kita harus hidup seperti Anak Tunagrahita, untuk mengembalikan kehidupan menjadi benar kaprah. Terpenting adalah hidupkanlah hidup apa adanya, dan peganglah kehidupan yang benar jangan yang salah menjadi benar. Susah memang tapi itulah kehidupan manusia yang hidup dalam panggung sandiwara.

(Penulis adalah guru SLB Negeri Subang )

Dengan tidak mengurangi esensi tulisan, naskah ini telah diedit oleh Tim SIM PLB.

OPTIMALISASI KECERDASAN EMOSIONAL ANAK TUNAGRAHITA

Oleh : Administrator

Sangat dipahami oleh semua guru, bahwa anak tunagrahita memiliki IQ yang jauh di bawah rata-rata normal. Karena IQ di bawah rata-rata inilah mereka dikelompokkan sebagai anak tunagrahita. Tratment yang diberikan kepada anak tunagrahita lebih difokuskan kepada life skill dan kemampuan merawat diri. 70% muatan pendidikan bagi anak tunagrahita difokuskan pada kedua hal tersebut, selebihnya muatan-muatan akademik tetap diberikan untuk melengkapi kebutuhan hidupnya. Apakah dengan pembagian seperti ini, anak tunagrahita dapat meraih kesuksesan hidup? Tentu hal ini telah diperhitungkan dengan sangat jeli oleh pakar pendidikan luar biasa.

Para orang tua anak tunagrahita memiliki kecenderungan untuk berpikir terbalik. Mereka berharap 70% muatan lebih difokuskan pada kemampuan akademik. Mereka akan sangat bangga, jika nilai raport anak-anak mereka memiliki nilai yang tinggi. Menjadi persoalan, ketika nilai yang diperoleh tidak sebanding dengan kemampuan nyata. Lalu orang tua akan ramai-ramai complaint kepada guru yang mengajarkan anak-anak mereka. Secara berbisik-bisik mereka akan menjatuhkan judgment bahwa, bapak atau ibu “Fulan” tidak pandai mengajar. Atau anak saya “si-Fulan” tidak bisa membaca dan berhitung gara-gara diajar oleh pak “Fulan”.

Para bapak dan ibu guru tentu saja tidak mau jadi korban gossip yang tidak jelas ini. Mereka beramai-ramai akan mengungkapkan alasan-alasan kenapa “si-Fulan” gagal bersama mereka. Ada baiknya, hal ini tersampaikan sejak awal melalui diskusi bersama antara guru dan orang tua. Sehingga guru dan orang tua sama-sama memahami batas optimal dari kemampuan anak dan membuat kesepakatan di dalam memberikan treatment bagi anak didik.

Tuntutan keberhasilan akademik memang bukan murni milik anak tunagrahita. Di luar sana, masih ditemukan bagaimana orang tua yang tidak memiliki anak berkebutuhan khusus secara gencar memaksa anak-anak mereka untuk memiliki kemampuan akademik di atas standar kelas. Asumsi yang berkembang bahwa, anak-anak akan memiliki kesuksesan hidup jika nilai-nilai akademik mereka tinggi. Secapramana (1999) memberikan catatan penting untuk dicermati, bahwa: Kecerdasan akademis sedikit kaitannya dengan kehidupan emosional. Orang dengan IQ tinggi dapat terperosok ke dalam nafsu yang tak terkendali dan impuls yang meledak-ledak; orang dengan IQ tinggi dapat menjadi pilot yang tak cakap dalam kehidupan pribadi mereka. Terdapat pemikiran bahwa IQ menyumbang paling banyak 20% bagi sukses dalam hidup, sedangkan 80% ditentukan oleh faktor lain. Kecerdasan akademis praktis tidak menawarkan persiapan untuk menghadapi gejolak atau kesempatan yang ditimbulkan oleh kesulitan-kesulitan hidup. IQ yang tinggi tidak menjamin kesejahteraan, gengsi, atau kebahagiaan hidup.

Ini memberikan pemahaman, bahwa anak tunagrahita akan memiliki PELUANG BESAR UNTUK MERAIH KESUKSESAN HIDUP jika ia mampu mengembangkan kecerdasan-kecerdasan lain di luar IQ. Lalu siapa yang bertugas mengembangkan kecerdasan-kecerdasan lain di luar IQ tersebut? Tentu saja guru dan orang tua berpeluang untuk menghadirkan kesempatan ini. Pandangan baru yang berkembang bahwa ada kecerdasan lain di luar IQ, seperti bakat, ketajaman pengamatan sosial, hubungan sosial, kematangan emosional, dan lain-lain yang harus juga dikembangkan.

Salah satu kecerdasan yang selama ini sering diabaikan adalah kecerdasan emosional. Banyak para guru melihat perkembangan dan kemajuan anak tunagrahita pada saat anak telah mampu melakukan perubahan aktivitas akademik. Sedangkan hal-hal yang berkaitan dengan perkembangan dan kemajuan emosional anak tunagrahita kurang mendapat tempat dan catatan keberartian dalam kemajuan anak.

Apa saja sih yang dapat kita amati dalam memberikan point kecerdasan emosional anak tunagrahita? Kadang-kadang guru masih kesulitan untuk mendeskripsikannya. Kecerdasan emosional mencakup pengendalian diri, semangat, dan ketekunan, serta kemampuan untuk memotivasi diri sendiri dan bertahan menghadapi frustrasi, kesanggupan untuk mengendalikan dorongan hati dan emosi, tidak melebih-lebihkan kesenangan, mengatur suasana hati dan menjaga agar beban stress tidak melumpuhkan kemampuan berpikir, untuk membaca perasaan terdalam orang lain (empati) dan berdoa, untuk memelihara hubungan dengan sebaik-baiknya, kemampuan untuk menyelesaikan konflik, serta untuk memimpin.

Keterampilan ini dapat diajakan kepada siapapun. Lebih dini diajarkan pada saat seseorang masih anak-anak. Kecerdasan emosional menambahkan jauh lebih banyak sifat-sifat yang membuat seseorang menjadi lebih manusiawi. Artinya, hal ini pun dapat ditanamkan para guru dan orang tua dalam aktivitas pembelajaran di sekolah dan di rumah.

Anak tunagrahita memiliki beberapa kecenderungan dalam hal emosi. Anak-anak yang baru masuk sekolah umumnya menunjukkan perilaku-perilaku tertentu sebagai wujud interpretasi emosi. Ada yang amat senang, ada yang merasa cemas berlebihan, ada yang sangat cuek, ada yang diam tanpa makna. Waktu yang dibutuhkan anak tunagrahita untuk mengalami proses perubahan amat bervariasi, tergantung suasana sekolah, guru, kenyamanan belajar, perlakuan teman sebaya, dan lain-lain. Jika hal ini teramati dengan jelas oleh guru, catatan-catatan diawal yang rinci amat perlu untuk memperjelas posisi kecerdasan emosional anak. Hal-hal yang perlu diamati guru adalah:

1. Bagimana pengendalian dirinya?

2. Bagimana semangat dirinya pada saat di sekolah?

3. Bagimana ketekunan belajarnya?

4. Bagimana cara memotivasi diri sendirinya?

5. Bagimana cara dirinya bertahan menghadapi frustrasi?

6. Bagimana kesanggupan dirinya untuk mengendalikan dorongan hati dan

emosi?

7. Bagimana mengendalikan kesenangannya?

8. Bagimana mengatur suasana hatinya?

9. Bagimana menjaga agar beban stress tidak melumpuhkan kemampuan

berpikirnya

10. Bagimana cara dirinya membaca perasaan terdalam orang lain

(empati)?

11. Bagimana dirinya berdoa?

12. Bagimana kemampuannya dalam menyelesaikan konflik?

13. Bagimana kemampuan memimpinnya?

Perubahan-perubahan yang diharapkan mungkin berlangsung lama dan berlaku sepanjang anak tunagrahita bersekolah atau sepanjang anak tunagrahita hidup. Itulah salah satu tugas guru, memberi ruang bagi anak tunagrahita untuk memiliki kecakapan dasariah manusia, seperti kesadaran diri, pengendalian diri, dan empati, seni mendengarkan, menyelesaikan pertentangan dan kerja sama.

Pelatihan untuk menyatakan perasaan negatif (marah, frustrasi, kecewa, depresi, cemas) menjadi amat penting. Pelampiasan yang tidak tepat justru menambah intensitas, bukan mengurangi. Cara berpikir menentukan cara merasa, oleh karenanya berpikir positif sangatlah diperlukan. Tidak saja anak tunagrahita yang dituntut untuk berpikir positif, gurunya pun harus mampu mengembangkan kemampuan berpikir positif. Agar perubahan-perubahan yang diharapkan tidak menjadi beban semua pihak.

Melatih perasaan-perasaan anak dapat disisipkan guru pada semua materi pelajaran akademik. Sehingga guru tidak saja terfokus pada keberhasilan belajar akademik, tetapi juga diperkaya akan keberhasilan emosional anak. Bagaimana ia memahami suatu kalimat “aku makan bolu” dalam bacaan, bukan hanya sekedar anak pandai membaca “aku makan bolu” saja. Tetapi nilai-nilai yang dapat dikembangkan guru dalam kalimat “aku makan bolu”. Seperti bagaimana jika bolu itu diminta teman? Bagaimana jika bolu itu dirampas teman? Bagaimana jika bolu itu lebih dari satu? Bagaimana jika bolu itu tidak enak? Bagaimana jika bolu itu ... ? Pertanyaan-pertanyaan sepele yang hampir jarang diucapkan.

Ketekunan, kendali dorongan hati dan emosi, penundaan pemuasan yang dipaksakan kepada diri sendiri demi suatu sasaran, kemampuan untuk mengetahui bagaimana perasaan orang lain (empati), dan manajemen diri merupakan hal yang dapat dipelajari anak tunagrahita. Tentu saja dibantu oleh guru. Pada saat anak tunagrahita mengembangkan skill-nya hal ini membutuhkan ketekunan, semangat, pengendalian dorongan hati dan emosi, dan penundaan pemuasan demi suatu sasaran. Biasanya anak tunagrahita kelas pemula ingin menyelesaikan tugas dengan terburu-buru atau lamban sekali, kasar, tidak focus, mudah teralihkan, dan sebagainya. Menilai ketekunan, semangat, pengendalian dorongan hati dan emosi, dan penundaan pemuasan demi suatu sasaran anak tunagrahita membutuhkan proses yang panjang. Namun hal ini jangan sampai terabaikan. Keberhasilan anak tunagrahita dalam hal ketekunan, semangat, pengendalian dorongan hati dan emosi, dan penundaan pemuasan demi suatu sasaran bisa suatu saat bisa menjadi kunci kesuksesan hidupnya.

Sumber Bacaan:

Goleman, Daniel. (1995). Emotional Intelligence. Jakarta: PT. gramedia Pustaka Utama.

Secapramana, L. Verina H. (1999). Emotional Intelligence. (Online). Tersedia:

http://dokter.indo.net.id/emosi.html . [23 maret 2008].

Penulis:

Irine Puspita, Yuke Yanuarti, Dini Suardini, dan Dasih.

Guru SLB Negeri Subang

Jalan Trubus (Belakang Kelurahan Karang Anyar) – Kabupaten Subang









Senin, 2008 April 07

HAMBATAN BELAJAR DAN HAMBATAN PERKEMBANGAN PADA ANAK-ANAK TUNAGRAHITA

Oleh : Zaenal Alimin
Program Studi Pendidikan Kebutuhan Khusus & Inklusi
Sekolah Pascasarjana UPI

1. Konsep kecerdasan dan Kognitif
Kecerdasan dan kognitif dua istilah yang berbeda, namun keduanya saling berkaitan dan sulit dipisahkan. Untuk lebih memahami perbedaan dan keterkaiatan diantara kedua istilah tersebut perlu dibahasan apa itu kecerdasan dan apa itu kognitif
a. Konsep Kecerdasan
Istilah inteligensi/kecerdasan dapat diartikan sebagai kemampuan untuk beradaptasi, mencapai prestasi, memecahkan masalah, menginterpretasikan stimulus yang diperoleh, memodifikasi tingkah laku, memahami konsep atau kemampuan untuk merespon terhadap butir-butir pada tes inteligensi. Konsep-konsep inteligensi sangat beragam dan berfariasi yang telah dirumuskan oleh para ahli pada bidang ini. Robinson and Robinson (1976) menganalisis sejumlah teori inteligensi dan akhirnya menemukan tiga aspek utama yang muncul pada hampir semua difinisi tentang inteligensi yaitu : 1) kapasita untuk belajar, 2) kemampuan untuk memperoleh pengetahuan, dan 3) adaptabilitas terhadap tuntutan lingkungan
Kapasitas unuk belajar menunjuk kepada kemampuan seorang individu untuk memperoleh manfaat dari pendidikan. Perolehan hasil belajar ini sangat erat kaitannnya dengan potensi yang dimiliki seseorang. Kemampuan untuk memperoleh pengetahuan merupakan semua konsep dan informasi yang di peroleh dan diproses sehingga menjadi suatu pemahaman (konsep yang dipahami). Sedangkan kemampuan untuk melakukan adaptasi terhadap lingkungan merupakan kemampuan seseorang dalam menyesuaikan diri terhadap situasi lingkungan yang dihadapinya dan penyeswuaianj diri pada perubahan-perubahan yang terjadi pada lingkungan itu.
Teori yang menjelaskan tentang inteligensi sebagai kapasitas belajar atau kemampuan untuk menyesuaikan diri dipandang sebagai kualitas potensi yang dibawa sejak lahir. Dipihak lain kemampuan untuk memperoleh pengetahuan berupa konsep dan informasi merupakan aspek yang bukan bersifat potensial sebagai pembawaan, melainkan sebagai hasil belajar. Perbedaan dari kedua istilah tersebut membawa implikasi terhadap cara di dalam pengukurannya. Kemempuan yang bersifat potensial (inteligensi) biasanya diukur melalui tes yaitu; tes inteligensi, sedangkan kemampuan untuk memperoleh pengetahuan merupakan proses di dalam mengolah informasi yang dipelajari atau yang diterima sehingga menjadi suatu pengetahuan aktual yang dimiliki. Untuk mengungkap kemampuan seperti itu biasanya dilakukan dengan menggunakan tes hasil belajar (achievement test)
Pada tahap-tahap awal inteligensi dipandang sebagai kemampuan yang bersifat tunggal (Binet : 1905, Devid Weshsler : 1944), yang dianggap sebagai satu-satunya kemampuan yang menentukan keberhasilan seseoarang dalam belajar atau bekerja. Akan tetapi konsep inteligensi yang datang kemudian seperti yang diungkapkan oleh Thurstone (19....), inteligensi merupakan kemampuan potensial yang bersifat bawaan yang memiliki lima komponen yaitu; 1) kemampuan mengingat, 2) kemampuan verbal, 3) kemampuan memahami bilangan (numerical) , 4) kemampuan di dalam memahami relasi ruang dan 5) kemampuan kecepatan perseptual. Kemampuan-kemampuan seperti itu akan tercermin dalam perilaku individu ketika dihadapkan kepada satu masalah yang harus dipecahkan. Kemampuan-kemampuan potensial ini merupakan potensi bawaan bukan dan bukan sebagai hasil dari sebuah proses belajar.

Anak diminta untuk menyusun pola gambar seperti ditunjukkan pada kartu (sebelah kiri) dengan menggunkan balok-balok (9 balok) pada gambar sebelah kiri. Anak yang memiliki kemampuan potensial (intelegen) yang cukup tinggi akan dengan mudah dan cepat untuk menyelesaikan tugas itu, sebaliknya anak yang kemampuan potensialnya kurang (intelegensi) akan mengalami kesulitan untuk menyelesaikan pola itu bahkan mungkin ia tidak sanggup untuk dapat menyelesaikannya. Kemampuan ini bukan merupakan hasil belajar melainkan sebuah gambaran kemampuan potensial (bawaan).
Setiap Komponen kecerdasan (inteligensi) seperti yang diungkapkan oleh Thrustone (19..) memiliki dominasi yang berbeda-beda misalnya; seorang individu yang memiliki kemampuan menonjol dalam aspek "hubungan ruang" (spacial relationship) akan sangat mudah untuk belajar dan memecahkan masalah-masalah yang berhubungan dengan imajinasi ruang atau seseorang yang memiliki kemampuan menonjol dalam numarical akan sangat mudah untuk menyelesaikan persoalan-persoalan yang berhubungan dengan bilangan (matematik-statistik). Namun demikian setiap aspek tadi bekerja secara simultan dan saling ketergantungan.




























“Dampak Penerapan Model Pembelajaran Melalui Pendekatan Konseling Terhadap Perkembangan Anak Tunagrahita dan Terhadap Guru”
Oleh Zaenal Alimin


1. Dampak Terhadap Perkembangan Anak
Dampak positif yang ditimbulkan dari penerapan model ini terhadap pekembangan anak tunagrahita (pada subjek penelitian) adalah (a) Pembelajaran kelihatan menjadi menyenangkan bagi anak dan memunculkan rasa percaya diri, (b) Terjadi proses akomodasi kognitif antara pengalaman/pengetahuan sebelumnya dengan konsep yang baru diajarkan, (3) Anak menunjukkan motivasi belajar lebih tinggi daripada sebelumnya, ditandai oleh munculnya perseverence, yaitu ketika waktu belajar sudah habis, anak-anak masih semangat untuk terus melakukan aktivitas, (4) Tumbuh rasa percaya diri pada diri anak yang ditandai oleh keberanian berbicara dan mengajukan pertanyaan-pertanyaan kepada guru pada saat pembelajaran.


2. Dampak Terhadap Guru Penerapan model pembelajaran ini berdampak K Kepada sikap dan keterampilan guru dalam pembelajaran anak tunagrahita sesbagai berikut (a) Tumbuh kesadaran pada guru akan pentingnya asesmen dan pentingnya analisis kurikulum sebagai langkah untuk melakukan penyesuain kurikulum dengan hamabatan belaajr dan perkembangan anak tunagrahita, (b) Guru menjadi terampil dalam melakukan asesmen tentang pekembangan anak tunagrahita, baik asesmen perkembangan vertikal maupun asesmen perkembangan horizontal, ( c) Pemahaman guru tentang perkembangan anak tunagrahita menjadi lebih baik, (d) Guru menjadi terampil dalam melakukan penyesuaian isi kurikulum dengan hambatan belajara dan perkembangan anak, (e) Guru menjadi lebih ekpresif ketika berinteraksi dengan anak, lebih terampil dalam melihat keberhasilan yang dicapai oleh anak, dan lebih sering memberikan pengakuan dan penghargaan kepada anak, (f) Guru menjadi terbiasa bekerja dalam tim. Dampak dari penerapan model pembelajaran ini terhadap guru seperti tersebut dijelaskan di atas, dapat dirumuskan menjadi kompetensi yang harus dimiliki oleh guru dalam penerapan model pembelajaran anak tunagrahita melalui pendektan konseling di tempat lain.



Senin, 2008 Mei 26

ORIENTASI ULANG PENDIDIKAN BAGI PESERTA DIDIK TUNAGRAHITA DARI PENDEKATAN FORMAL KE PENDEKATAN FUNGSIONAL

Oleh Zaenal Alimin

A. Pendahuluan

Pendidikan bagi peserta didik tunagrahita seharusnya ditujukan untuk mengembangkan potensi yang dimiliki anak secara optimal, agar mereka dapat hidup mandiri dan dapat memenyesuaikan diri dengan lingkungan di mana mereka berada.
Hasil observasi lapangan (Alimin, 2006) menunjukkan bahwa individu tunagrahita yang telah menyelesaikan pendidikan dari Sekolah Luar Biasa, pada umumnya belum menunjukkan perkembangan yang diharapkan. Sebagai contoh seorang individu tunagrahitayang telah selesai mengikuti program pendidikan selama 12 tahun, ternyata masih belum bisa mandiri, masih belum memiliki keterampilan untuk mengurus diri dan masih mengalami ketergantungan kepada orang tuanya atau saudaranya cukup tinggi. Maka dari itu ada kesan bahwa pendidikan yang telah diikuti sekian lama itu sepertinya tidak memberikan pengaruh yang nyata terhadap kehidupan individu tunagrahita.
Keadaan seperti itu bukan semata-mata karena keterbatasan yang dialami peserta didik tunagrahita, akan tetapi juga karena terdapat kesenjangan antara program pendidikan di sekolah (SLB) dengan harapan orang tua dan harapan lingkungan. Mayarakat dan orang tua mengharapkan agar anak anaknya yang mengalami tunagrahita memiliki keterampilan dalam kehidupan sehari-hari, sesuai dengan potensi yang dimiliki masing-masing individu siswa, sementara layanan pendidik di sekolah belum mengarah ke sana.
________________
*) Ketua Program Studi Pendidikan Kebutuhan Khusus
Sekolah Pascasarjana UPI

Kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa program pendididkan pada peserta didik tungarhita saat ini masih sangat menekankan kepada aspek pengajaran yang bersifat akademik (semata-mata menyampaikan bahan ajar), itupun dalam pelaksanaanya masih besifat klasikal dan belum memperhitungkan perbedaan hambatan belajar dan kebutuhan yang dialami anak secara individual (Alimin, 2006). Padahal esensi pendidikan pada peserta didik tunagrahita bersifat individual (Suhaeri & Purwanta, 1996). Persoalan lain yang juga penting untuk diperhatikan yaitu program pembelajaran pada peserta didik tungagrahita di sekolah belum terkait dengan kehidupan nyata sehari-hari. Seolah-olah apa yang terjadi di sekolah tidak ada hubungannya dengan kehidupan anak. Padahal sekolah seharusnya mengembangkan program-program yang terkait langsung dengan kehidupan anak di lingkungannya (Miriam, 2003).
Kelemahan yang terjadi dalam pendidikan pada peserta didik tunagrahita selama ini diduga sangat erat kaitannya dengan belum tepatnya layananan pendidikan yang dilakukan, yaitu hanya menekannkan pada penyampaian bahan ajar (semata-mata mengejar tarrget kurikulum) belum memperhatikan dengan seksama perbedaan-perbedaan hambantan perkembangan dan hambatan belajar secara individual serta belum mengaikan program pendidikan di sekolah dengan kehidupan nyata yang dialami oleh individu tunagrahita.
Oleh karena itu diperlukan usaha-usaha untuk melakukan orientasi ulang terhadap pendidikan bagi peserta didik tunagrahita. Untuk itu tulisan ini mengupas secara singkat tentang masalah-masalah yang dialami oleh peserta didik tunagrahita, analisis tentang pendidikan bagi mereka yang saat ini berlangsung dan membahas beberapa usulan yang perlu dilakukan sebagai upaya perbaikan (dipandang sebagai orientasi ulang tentang pendidikan bagi peseerta didik tunagrahita).

B. Hambatan yang Dialami Peserta Didik Tunagrahita

Secara umun individu tunagrahita mengalami dua hambatan utama yaitu hambatan dalam perkembangan kognitif dan hambatan dalam perilaku adaptif. Kedua hal itu menimbulkan hambatan dalam belajar, hambatan dalam menyesuiakan diri dengan lingkungan dan hamabatan dalam menolong diri.

1. Konsep
Individu yang mengalami tunagrahita sering keliru dipahami oleh masyarakat, bahkan kadang-kadang para professional dalam bidang pendidikan sekalipun salah dalam memahami tunagrahita. Perilaku individu yang mengalami tunagrahita kadang-kadang aneh, tidak lazim dan sering tidak cocok dengan situasi lingkungan, sering menjadi bahan tertawaan dan olok-olok orang-orang yang berada di dekatnya. Keanehan tingkah laku itu dianggap oleh orang awam sebagai orang sakit jiwa.
Tunagrahita sesunggunya bukan sakit jiwa. Perilaku aneh dan kadang-kadang tidak lazim itu karena kesulitan dalam menilai situasi akibat hambatan dalam perkembangan kognitif. Dengan kata lain terdapat kesenjangan yang lebar antara kemampuan berpikir (mental age) dengan perkembangan usia (chronological age). Sebagai contoh anak yang berusia 15 tahun menunjukkan tingkah laku seperti anak berusia 8 tahun, sehingga tingkah laku yang ditampilkan tidak sejalan dengan perkembangan usianya. Tunagrahita berkaitan langsung dengan perkembangan kognitif yang rendah dan merupakan konsdi, sementra sakit jiwa berkaitan dengan disintegrasi kepribadian dan setiap orang memiliki peluang untuk mengalaminya. Ketunagrahitaan merupakan kondisi yang kompleks, menunjukkan kemampuan intelektual yang rendah dan memiliki hambatan dalam perilaku adaptif. Seseorang tidak dapat dikategorikan sebagai tunagrahita apabila tidak memenuhi dua kriteria tersebut.
Istilah perilaku adaptif diartikan sebagai kemampuan seseorang dalam memikul tanggung jawab sosial menurut ukuran norma sosial tertentu, sejalan dengan perkembangan usia ((chronological age). Hambatan dalam perilaku adaptif pada individu tunagrahita dapat dilihat dari dua area yaitu 1) Personal living skills (keterampilan menolong diri), 2) Social living skills (keterampilan dalam hubungan interposonal dan keterampilan dalam menggunakan fasilitas yang diperlukan setiap hari). Individu tunagrahita mengalami hambatan dalam kedua hal tersebut (Ingalls, 1987).
Berdasarkan perkembangan kognitif atau kemampuan kecerdasan, seseorang dikategorikan tunagrahita apabila kemampuan kecerdasannya menyimpang 2 sampai 3 simpangan baku (standard deviation) dari ukuran rata-rata. Jika menggunakan ukuran kecerdasan dari Stanford Binet ( rata-rata IQ 100 dengan simpangan baku 16), maka individu yang memeiliki IQ 68-54 ke bawah dikategorikan sebagai tunagrahita (Smith, 2003). Patokan simpangan baku di atas selanjutnya digunakan untuk membuat pengelompokan berat ringannya ketunagrahitaan yang dialami oleh sesorang. Individu yang tingkat kecerdasnnya menyimpang 2-3 simpangan baku dari rata-rata dikelompokan sebagai tunagrahita ringan. Individu yang tingkat kecerdasannya menyimpang 3-4 simpangan baku dari rata-rata dikelompokkan sebagai tunagrahita sedang. Individu yang tingkat kecerdasannya menyimpang 4-5 simpangan baku dikelompokan sebagai tunagrahita berat dan simpangan baku 6 ke atas dikategorikan sebagai individu yang mengalami ketunagrahitaan sangat berat.

2. Hambatan-Hambatan yang Dialami Individu Tunagrahita
Perkembangan fungsi kognitif/kecerdasan yang terhambat disertai oleh kemampuan perilaku adaptif yang rendah, berakibat langsung kepada kehidupan mereka sehari-hari, antara lain meliputi:


a. Hambatan dalam Belajar
Aktivitas belajatan berkaitan langsung dengan perkembangan kognitif dan kecerdasan. Di dalam kegiatan belajar sekurang-kurangnya dibutuhkan kemampuan dalam mengingat, memahami dan kemampuan untuk mencari hubungan sebab akibat. Oleh sebab itu anak-anak pada umumnya dapat menemukan kaidah dalam belajar. Setiap anak akan mengembangkan sendiri kaidah dalam mengingat, memahami dalam dalam mencari hubungan sebab akibat tentang apa yang sedang mereka pelajari. Sekali kaidah itu dapat ditemukan anak dapat belajar secara efektif. Setiap anak biasanya mempunyai kaidah belajar yang berbeda satu sama lainnya.
Peserta didik tunagrahita pada umumnya tidak memiliki kaidah dalam belajar. Mereka mengalami kesulitan dalam memproses informasi secara abstrak, belajar bagi mereka harus terkait dengan objek yang bersifat kongkret. Kondisi seperti itu berhubungan dengan kesulitan dalam mengingat, terutama ingatan jangka pendek.
Peserta didik tunagrahita dalam belajar hampir selalu dilakukan dengan coba-coba, mereka tidak dapat menemukan kaidah dalam belajar, sukar melihat objek yang sedang dipelajari secara keseluruhan. Mereka cenderung melihat objek secara terpisah-pisah. Oleh karena itu peserta didik tunagrahita mengalami kesulitan dalam mencari hubungan sebab akibat. Hasil penelitian Alimin (1993) menunjukkan bahwa individu tunagrahita mengalami apa yang disebut dengan cognitive deficite yang tercermim pada salah satu atau lebih proses kognitif seperti persepsi, daya ingat, mengembangkan ide, evaluasi dan penalaran.
Hasil penelitian tersebut bersebrangan dengan pendirian para panganut psikologi perkembangan seperti Zigler (1968) yang menjelaskan bahwa jika anak tunagrahita dibandingkan dengan anak yang bukan tunagrahita pada CA yang sama, sudah pasti anak tunagrahita secara kognitif akan ketinggalan , akan tetapi apabila anak tunagrahita dibandingkan dengan anak yang bukan tunagrahita pada MA yang sama secara teoritis mempunyai perkembangan yang sama. Pendirian para penganut teori perkembangan ternyata tidak selalu cocok untuk menjelaskan fenomena ketunagrahitaan. Sebab ternyata meskipun anak tunagrahita dibandingkan dengan anak yang bukan tunagrahita pada MA yang sama, ternyata secara kognitif perkembangannya tertinggal oleh anak yang bukan tunagrahita meskipun pada MA yang sama.

b. Hambatan dalam Penyesuaian Diri
Individu tunagrahita mengalami hambatan dalam memahami dan mengartikan norma lingkungan. Oleh kaarena itu mereka sering melakukan tindakan yang tidak sesuai dengan norma lingkungan di mana mereka berada.Tingkah laku individu tunagrahita kadang-kadang dianggap aneh oleh orang lain karena mungkin tindakannya tidak lazim atau apa yang mereka lakukan tidak sesuai dengan usianya.
Keganjilan tingkah laku yang tidak sesuai dengan ukuran normatif berkaitan dengan kesulitan dalam memehami dan mengartikan norma, sedangkan keganjilan tingkah laku berkaitan dengan ketidaksesuaian atau kesenjangan antara perilaku yang ditampilkan dengan perkembangan umur. Sebagai contoh anak tunagrahita yang berusia 10 tahun berperilaku seperti anak usia 6 tahun. Hal ini disebabkan adanya selisih yang signifikan antara CA dengan MA. Semakin anak tunagrahita menjadi dewasa, selisih ini akan semakin lebar. Hal inilah yang mungkin menimbulkan persepsi yang salah dari masyarakat mengenai tunagrahita.

c. Hambatan dalam Perkembangan Bahasa
Kemampuan bahasa pada anak-anak diperoleh melalui proses yang menakjubkan dengan beberapa cara. Pertama, anak belajar bahasa dari apa yang mereka dengar setiap hari. Hampir semua anak dapat menguasai dasar aturan bahasa (gramatikal) kurang lebih pada usia 4 tahun. Kedua, anak-anak belajar bahasa tidak sekedar meniru ucapan yang mereka dengar. Anak-anak belajar juga konsep gramatikal yang abstrak dalam menghubungkan kata-kata menjadi kalimat.. Anak-anak di manapun dan belajar bahasa apapun ternyata melalui tahapan dan proses yang sama. Dapat dipastikan bahwa perolehan bahasa dan bicara merupakan sifat biologis manusia (Ingalls, 1987).
Terdapat dua hal yang perlu diperhatikan berkenaan dengan gangguan proses bahasa. pertama, gangguan atau kesulitan bicara, dimana individu mengalami kesulitan dalam mengartikulasikan bunyi bahasa dengan benar. Kenyataan menunjukan bahwa anak tunagrahita banyak yang mengalami kesulitan bicara dibandingkan anak pada umumnya. Kelihatan dengan jelas bahwa terdapat hubungan positif antara hambatan perkembangan kognitif dengan gangguan bicara. Kedua, hal yang lebih serius adalah ganguan bahasa dimana seorang anak mengalami kesulitan dalam memahami konsep kosa-kata, kesulitan memahami aturan sintaksis dan gramatikal dari bahasa yang digunakan.
Peserta didik tunagrahita yang mengalami gangguan bahasa lebih banyak dibandingkan dengan yang mengalami gangguan bicara. Hasil penelitian Ingalls (1987) tentang kemampuan berbahasa anak tunagrahita menunjukkan bahwa 1) anak tunagrahita pada dasarnya memperoleh keterampilan bahasa sama seperti anak pada umumnya, 2) kecepatan anak tunagrahita dalam memperoleh keterampilan berbahasa jauh lebih rendah dibandingkan dengan anak pada umumnya, 3) kebanyakan anak tunagrahita tidak dapat mencapai keterampilan berbahasa yang sempurna, 4) perkembangan bahasa anak tunagrahita sangat ketinggalan dibandingkan anak pada umumnya, sekalipun pada MA yang sama, 5) anak tunagrahita mengalami kesulitan dalam memahami gramatikal,
6) anak tunagrahita mengalami kesulitan dalam menggunakan dan memahami kalimat majemuk.

d. Masalah Kepribadian
Anak-anak tunagrahita memiliki cirri kepribandian yang khas, berbeda dari anak-anak pada umumnya. Perbedaan cirri kepribadian seseorang dibentuk oleh factor-faktor yang melatarbelakanginya. Terdapat sejumlah alasan yang menjelaskan mengapa individu tunagrahita mempunyai hambatan dalam perkembangan kepribadian. Alasan- alasan tersebut meliputi: 1) isolasi dan penolakan, 2) labeling dan stigma, 3) stres leluarga, 4) frustrasi dan kegagalan, dan 5) kesadaran rendah.

1) Isolasi dan Penolakan
Perilaku seorang individu tunagrahita yang dipandang ganjil dan aneh oleh orang lain, cenderung akan dikucilkan dari pergaulan kelompok teman sebaya. Anak tungrahita cenderung tidak mempunya teman, mereka menjadi tersingkir dari pergaulan sosial. Penolakan dari teman sebaya bukan semata-mata disebabkan oleh label tunagrahita, tetapi lebih disebabkan oleh perilaku aneh dan ganjil yang mereka tampilkan.
Penolakan teman sebaya terhadap anak tunagrahita karena anak tunagrahita mengalami kesulitan dalam belajar keterampilan sosial yang diperlukan dalam pergaulan sosial. Semakin kehadiran anak tunagrahita ditolak oleh teman sebaya, anak tunagrahita semakin mengembangkan cara yang salah dalam berhubungan dengan teman. Penolakan dan isolasi seperti ini menyebabkan munculnya penyimpangan kepribandian dan penyimpangan dalam penyesuaian diri.

2) Labeling dan Stigma
Pemberian label tunagrahita yang bersifat permanen dapat dipandang sebagai bentuk diskriminasi dan merupakan vonis yang harus disandang seumur hidup. Label seperti ini telah membentuk persepsi masyarakat bahwa tunagrahita adalah kelompok manusia yang dikategorikan sebagai manusia yang tidak normal (stigma).
Stigma seperti itu menimbulkan pemisahan yang tajam anatara manusia yang di-stigma-kan sebagai tunagahita dengan manusia lainnya. Sebagai akibat dari labeling dan stigma seperti itu, sebagaian orang tua melarang anak-anaknya untuk bergaul dan bermain dengan anak tunagrahita.

3) Stres Keluarga
Para ilmuwan psikologi, sosiologi dan pakar pendidikan sepakat bahwa keluarga merupakan faktor yang sangat penting dan menentukan dalam perkembangan anak. Seorang anak yang dibesarkan dalam keluarga yang penuh kasih sayang dan kelahirannya diterima oleh kedua orang tuanya, cenderung akan menjadi orang dewasa yang dapat menyesuaikan diri dengan baik. Sementara, sorang anak yang dibesarkan yang kehadirnnya ditolak atau terlalu dilindungi oleh kedua orang tuanya, cenderung akan menjadi orang dewasa yang sulit menyesuaiakan diri.
Keahdiran seorang anak tunagrahita dalam keluarga cenderung menimbulkan stress dan ketegangan pada keluarga yang bersangkutan. Ketika orang tua mengetahui bahwa anaknya tunagrahita, orang tua pada umumnya mengalami perasaan bersalah atau menunjukkan mekanisme pertahanan diri, atau mungkin merasa kecewa yang mendalam. Akibat stres dan ketegangan seperti itu mungkin orang tua menolak kehadiran anak atau mungkin memberikan perlindungan yang sangat berlebihan. Sikap-sikap seperti tu dapat mengakibatkan masalah perilaku dan emosi pada anak yang bersangkutan.

4) Frustasi dan Kegagalan
Sebagai akibat dari adanya hambatan dalam perilaku adaptif, anak tunagrahita tidak dapat memenuhi tugas-tugas yang dituntut oleh masyarakat atau oleh teman sebayanya. Akibat dari keadaan seperti itu, anak tunagrahita cenderung mengalami banyak kegagalan dan frustrasi. Kegagalan dan frustrasi yang sangat sering dialami oleh anak tunagrahita berpengaruh terhadap perkembangan kepribadian.

5) Kesadaran Rendah
Proses kognitif dan proses kepribadian merupakan dua hal yang berdiri sendiri tetapi saling mempengaruhi. Proses kognitif terlibat erat dalam perubahan pola kepribadian dan bahkan dalam reaksi emosi. Sangat masuk akal apabila berpegang pada asumsi bahwa orang yang kemampuan kognitifnya tidak memadai seperti halnya tunagrahita, kepribadiannya tidak matang dan tidak rasional.
Sebagai contoh, aspek penting dalam perkembangan kepribadian adalah kontrol terhadap impuls dan pengendalian dari tindakan impulsif. Kontrol impuls berkaitan erat dengan pekembangan kognitif. Anak pada umumnya akan dapat mengontrol impuls dan menunda kepuasan sejalan dengan bertambahnya umur. Akan tetapi anak tunagrahita mengalami kekurangan dalam perkembangan kognitif, maka anak tunagrahita pada umumnya mengalami kesulitan dalam mengontrol impuls dan sukar mengontrol keinginan dalam memenuhi kepuasan sesaat. Ciri kepribadian anak tunagrahita ditandai oleh dua hal yaitu a) pengendalian lokus eksternal (external locus of control), dan
b) kelemahan funsgi ego.

(a) Pengendalian Lokus Eksternal (external locus of control)
Istilah locus of control dapat dijelaskan sebagai persepsi individu terhadap kejadian yang terjadi pada dirinya sendiri. Individu yang memiliki internal locus of control dapat merasakan bahwa apa yang terjadi pada dirinya sebagian besar ditentukan oleh tindakannya sendiri. Sementara individu yang memiliki external locus of control merasakan bahwa apa yang terjadi pada dirinya ditentukan oleh tindakan orang lain. Anak tunagrahita pada umumnya memiliki external locus of control.
External locus of control dari anak tunagrahita cenderung mengarah kepada perasaan tidak berdaya. Sebagai contoh anak tunagrahita yang kehilangan barang, tidak ada usaha untuk mencarinya. Anak tunagrahita pada umumnya tidak memiliki daya untuk melakukan usaha atas kemamuan sendiri, ia akan melakukannya apabila ada dorongan yang datang dari orang lain.
(b) Kelemahan Fungsi Ego
Para peneliti seperti Robinson (1965), Stenlich (1972) dan Deutsch (1972) (dalam Ingalls 1987) telah melakukan analisis terhadap kepribadian tunagrahita dengan menggunakan teori psikoanalisis Sigmund Freud. Menurut Freud, struktur kepribadian dibagi ke dalam tiga bagian yaitu: Id sebagai tempat beradanya impuls-impuls, insting dan drive yang dibawa sejak lahir, merupakan aspek biologis. Ego, yang berfungsi sebagai eksekutif yang bertugas untuk menguji realitas membawa impuls-impuls dari Id dan membuat keseimbangan antara impuls-impuls yang datang dari Id dengan tuntutan realitas. Ego merupakan aspek psikologis dari kepribadian. Sementara Super Ego mempunyai kepedulian terhadap aspek moralitas dan merupakan aspek sosiologis dari kepribadian atau sinomim dengan istilah kesadaran.
Anak tunagrahita mengalami kelemahan dalam fungsi ego. Ego berfungsi untuk mengenali dan mempelajari realitas, memahami akibat dari sebuah tindakan, memenuhi dorongan insting dan drive sehingga ketegangan dapat dilepaskan dengan cara-cara yang dapat diterima secara sosial. Anak tunagrahita mengalami kesulitan dalam proses seperti itu. Artinya anak tunagrahita kebanyakan tidak mampu untuk mengontrol impuls-impuls dan oleh karena itu emosinya mudah meledak.
Kelemahan fungsi ego menyebabkan anak tunagrahita sulit untuk menyalurkan ketegangan insting dalam bentuk perilaku yang dapat diterima. Penyaluran keteganagan dalam mengontrol kecemasan lebih banyak bersifat primitif. Semakin primitif mekanisme pertahanan diri semakin tidak efektif dalam mereduksi kecemasan. Semakin canggih mekanisme pertahana diri (yang secara sosial dapat diterima) semakin efektif dalam mereduksi ketegangan. Oleh sebab itu perilaku anak tungrahita biasanya ditandai oleh reaksi irrasional dan kecemasan yang berlebihan
.

PENERAPAN MODEL PEMBELAJARAN PERILAKU DALAM BAHASA INDONESIA UNTUK MENINGKATKAN KEMAMPUAN BERBICARA ANAK TUNAGRAHITA
Penelitian Tindakan di SPLB Bagian C Bandung

Pengajaran bahasa Indonesia yang dilaksanakan di Sekolah Luar Biasa Bagian C memerlukan kreativitas yang bersifat inovatif dari guru kelas yang bersangkutan. Sementara ini pengajaran bahasa Indonesia yang dilakukan secara rutinitas masih menggunakan pola lama (Konvensional). Metode yang sering digunakan masih berkisar pada tugas, ceramah, dan sedikit latihan. Meskipun menggunakan metode latihan, tetapi belum optimal. Optimalisasi latihan sangat diperlukan dalam pembelajaran anak tuna grahita, khususnya dalam pembelajaran bahasa Indonesia. Hal tersebut dapat berdampak kepada hasil belajar siswa yang maksimal. Untuk mencapai tujuan pembelajaran yang efektif sangat dipengaruhi oleh kemampuan guru dalam penguasaan materi, penguasaan metode, pemilihan alat peraga yang tepat, serta menentukan alat evaluasi yang cocok untuk menilai kemampuan siswa.
Berdasarkan uraian diatas timbul permasalahan yang perlu dikaji lebih mendalam dalam penelitian ini. Permasalahan tersebut dirumuskan sebagai berikut: sejauh manakah efektivitas model pembelajaran perilaku dalam bidang studi bahasa Indonesia dapat meningkatkan kemampuan bicara anak tuna grahita? Penelitian ini bertujuan untuk melihat efektivitas model pembelajaran perilaku dalam bahasa Indonesia bagi meningkatkan kemampuan berbicara tuna grahita.
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah action research atau penelitian tindakan, yang meliputi tahap pra survey, pelaksanaan tindakan, dan refleksi. Penelitiannya dilakukan di Sekolah Pendidikan Luar Biasa Bagian C Bandung. Subjek dari penelitian ini adalah kelas VI C, dengan jumlah siswa lima orang. Teknik yang digunakan untuk mengumpulkan data, yaitu observasi sebagai teknik yang utama dalam penelitian ini. Selain teknik tersebut digunakan juga teknik wawancara dan tes hasil belajar siswa.
Penelitian tentang penerapan model pembelajaran perilaku dilakukan dengan cara memberlakukan model. Dalam pemberlakuan model ini diawali dengan menciptakan situasi kelas yang kondusif, sehingga siswa dapat belajar dengan baik. Setelah situasi itu tercipta, guru mengadakan pre tes untuk mengetahui kemampuaan awal siswa. Setelah pembelajaran selesai guru juga mengadakan pos tes. Berdasarkan saran perbaikan pada pertemuan pertama dilakukan pada pertemuan kedua dan seterusnya.
Dari pemberlakuan model pembelajaran perilaku tersebut diperoleh hasil, yaitu adanya peningkata dalam kemampuan berbicara siswa dan kemampuan guru dalam menerapkan model. Dengan demikian model tersebut sangat berpengaruh terhadap hasil belajar siswa. Ini terbukti dengan adanya peningkatan dalam kemampuan berbicara anak tuna grahita

Kesulitan Belajar, Lambat Belajar,

TunaGrahita, Gifted Disinkroni

    a. Pengertian Kesulitan Belajar, Lambat Belajar, Tunagrahita, Gifted Disinkroni

Anak berkesulitan belajar adalah anak yang memiliki ganguan satu atau lebih dari preoses dasar yang mencakup pemahaman penggunaan bahasa lisan atau tulisan, gangguan tersebut mungkin menampakkan diri dalam bentuk kemampuan yang tidak sempurna dalam mendengarkan, berpikir, berbicara, membaca, menulis,mengeja atau menghitung. Batasan tersebut meliputi kondisi-kondisi seperti gangguan perceptual, luka pada otak, diseleksia dan afasia perkembangan. Dalam kegiatan pembelajaran di sekolah, kita dihadapkan dengan sejumlah karakterisktik siswa yang beraneka ragam. Ada siswa yang dapat menempuh kegiatan belajarnya secara lancar dan berhasil tanpa mengalami kesulitan, namun di sisi lain tidak sedikit pula siswa yang justru dalam belajarnya mengalami berbagai kesulitan. Kesulitan belajar siswa ditunjukkan oleh adanya hambatan-hambatan tertentu untuk mencapai hasil belajar, dan dapat bersifat psikologis, sosiologis, maupun fisiologis, sehingga pada akhirnya dapat menyebabkan prestasi belajar yang dicapainya berada di bawah semestinya.

Kesulitan belajar siswa mencakup pengetian yang luas, diantaranya : (a) learning disorder; (b) learning disfunction; (c) underachiever; (d) slow learner, dan (e) learning diasbilities. Di bawah ini akan diuraikan dari masing-masing pengertian tersebut.

  1. Learning Disorder atau kekacauan belajar adalah keadaan dimana proses belajar seseorang terganggu karena timbulnya respons yang bertentangan. Pada dasarnya, yang mengalami kekacauan belajar, potensi dasarnya tidak dirugikan, akan tetapi belajarnya terganggu atau terhambat oleh adanya respons-respons yang bertentangan, sehingga hasil belajar yang dicapainya lebih rendah dari potensi yang dimilikinya. Contoh : siswa yang sudah terbiasa dengan olah raga keras seperti karate, tinju dan sejenisnya, mungkin akan mengalami kesulitan dalam belajar menari yang menuntut gerakan lemah-gemulai.
  2. Learning Disfunction merupakan gejala dimana proses belajar yang dilakukan siswa tidak berfungsi dengan baik, meskipun sebenarnya siswa tersebut tidak menunjukkan adanya subnormalitas mental, gangguan alat dria, atau gangguan psikologis lainnya. Contoh : siswa yang memiliki postur tubuh yang tinggi atletis dan sangat cocok menjadi atlet bola volley, namun karena tidak pernah dilatih bermain bola volley, maka dia tidak dapat menguasai permainan volley dengan baik.
  3. Under Achiever mengacu kepada siswa yang sesungguhnya memiliki tingkat potensi intelektual yang tergolong di atas normal, tetapi prestasi belajarnya tergolong rendah. Contoh : siswa yang telah dites kecerdasannya dan menunjukkan tingkat kecerdasan tergolong sangat unggul (IQ = 130 – 140), namun prestasi belajarnya biasa-biasa saja atau malah sangat rendah.
  4. Slow Learner atau lambat belajar adalah siswa yang lambat dalam proses belajar, sehingga ia membutuhkan waktu yang lebih lama dibandingkan sekelompok siswa lain yang memiliki taraf potensi intelektual yang sama.
  5. Learning Disabilities atau ketidakmampuan belajar mengacu pada gejala dimana siswa tidak mampu belajar atau menghindari belajar, sehingga hasil belajar di bawah potensi intelektualnya.

Siswa yang mengalami kesulitan belajar seperti tergolong dalam pengertian di atas akan tampak dari berbagai gejala yang dimanifestasikan dalam perilakunya, baik aspek psikomotorik, kognitif, konatif maupun afektif . Beberapa perilaku yang merupakan manifestasi gejala kesulitan belajar, antara lain :

  1. Menunjukkan hasil belajar yang rendah di bawah rata-rata nilai yang dicapai oleh kelompoknya atau di bawah potensi yang dimilikinya.
  2. Hasil yang dicapai tidak seimbang dengan usaha yang telah dilakukan. Mungkin ada siswa yang sudah berusaha giat belajar, tapi nilai yang diperolehnya selalu rendah
  3. Lambat dalam melakukan tugas-tugas kegiatan belajarnya dan selalu tertinggal dari kawan-kawannya dari waktu yang disediakan.
  4. Menunjukkan sikap-sikap yang tidak wajar, seperti: acuh tak acuh, menentang, berpura-pura, dusta dan sebagainya.
  5. Menunjukkan perilaku yang berkelainan, seperti membolos, datang terlambat, tidak mengerjakan pekerjaan rumah, mengganggu di dalam atau pun di luar kelas, tidak mau mencatat pelajaran, tidak teratur dalam kegiatan belajar, dan sebagainya.
  6. Menunjukkan gejala emosional yang kurang wajar, seperti : pemurung, mudah tersinggung, pemarah, tidak atau kurang gembira dalam menghadapi situasi tertentu. Misalnya dalam menghadapi nilai rendah, tidak menunjukkan perasaan sedih atau menyesal, dan sebagainya.

Sementara itu, Burton (Abin Syamsuddin. 2003) mengidentifikasi siswa yang diduga mengalami kesulitan belajar, yang ditunjukkan oleh adanya kegagalan siswa dalam mencapai tujuan-tujuan belajar. Menurut dia bahwa siswa dikatakan gagal dalam belajar apabila :

  1. Dalam batas waktu tertentu yang bersangkutan tidak mencapai ukuran tingkat keberhasilan atau tingkat penguasaan materi (mastery level) minimal dalam pelajaran tertentu yang telah ditetapkan oleh guru (criterion reference).
  2. Tidak dapat mengerjakan atau mencapai prestasi semestinya, dilihat berdasarkan ukuran tingkat kemampuan, bakat, atau kecerdasan yang dimilikinya. Siswa ini dapat digolongkan ke dalam under achiever.
  3. Tidak berhasil tingkat penguasaan materi (mastery level) yang diperlukan sebagai prasyarat bagi kelanjutan tingkat pelajaran berikutnya. Siswa ini dapat digolongkan ke dalam slow learner atau belum matang (immature), sehingga harus menjadi pengulang (repeater)

Untuk dapat menetapkan gejala kesulitan belajar dan menandai siswa yang mengalami kesulitan belajar, maka diperlukan kriteria sebagai batas atau patokan, sehingga dengan kriteria ini dapat ditetapkan batas dimana siswa dapat diperkirakan mengalami kesulitan belajar. Terdapat empat ukuran dapat menentukan kegagalan atau kemajuan belajar siswa : (1) tujuan pendidikan; (2) kedudukan dalam kelompok; (3) tingkat pencapaian hasil belajar dibandinngkan dengan potensi; dan (4) kepribadian.

Slow learner (Lambat belajar) adalah adalah mereka yang memiliki prestasi belajar rendah (di bawah rata-rata anak pada umumnya) pada salah satu atau seluruh area akademik, tapi mereka ini bukan tergolong anak terbelakang mental. Skor tes IQ mereka menunjukkan skor anatara 70 dan 90 (Cooter & Cooter Jr., 2004; Wiley, 2007). Dengan kondisi seperti demikian, kemampuan belajarnya lebih lambat dibandingkan dengan teman sebayanya. Tidak hanya kemampuan akademiknya yang terbatas tapi juga pada kemampuan-kemampuan lain, dianataranya kemampuan koordinasi (kesulitan menggunakan alat tulis, olahraga, atau mengenakan pakaian). Dari sisi perilaku, mereka cenderung pendiam dan pemalu, dan mereka kesulitan untuk berteman. Anak-anak lambat belajar ini juga cenderung kurang percaya diri. Kemampuan berpikir abstraknya lebih rendah dibandingkan dengan anak pada umumnya. Mereka memiliki rentang perhatian yang pendek. Anak dengan SL memiliki ciri fisik normal. Tapi saat di sekolah mereka sulit menangkap materi, responnya lambat, dan kosa kata juga kurang, sehingga saat diajak berbicara kurang jelas maksudnya atau sulit nyambung.

Tunagrahita merupakan kata lain dari Retardasi Mental (mental retardation). Tuna berarti merugi.Grahita berarti pikiran. Retardasi Mental (Mental Retardation/Mentally Retarded) berarti terbelakang mental. Tunagrahita sering disepadankan dengan istilah-istilah, sebagai berikut: 1. Lemah fikiran ( feeble-minded); 2. Terbelakang mental (Mentally Retarded); 3. Bodoh atau dungu (Idiot); 4. Pandir (Imbecile); 5. Tolol (moron); 6. Oligofrenia (Oligophrenia); 7. Mampu Didik (Educable); 8. Mampu Latih (Trainable); 9. Ketergantungan penuh (Totally Dependent) atau Butuh Rawat; 10. Mental Subnormal; 11. Defisit Mental; 12. Defisit Kognitif; 13. Cacat Mental; 14. Defisiensi Mental; 15. Gangguan Intelektual American Asociation on Mental Deficiency/AAMD dalam B3PTKSM, (p. 20), mendefinisian Tunagrahita sebagai kelainan: yang meliputi fungsi intelektual umum di bawah rata-rata (Sub-average), yaitu IQ 84 ke bawah berdasarkan tes; yang muncul sebelum usia 16 tahun; yang menunjukkan hambatan dalam perilaku adaptif. Sedangkan pengertian Tunagrahita menurut Japan League for Mentally Retarded (1992: p.22) dalam B3PTKSM (p. 20-22) sebagai berikut: Fungsi intelektualnya lamban, yaitu IQ 70 kebawah berdasarkan tes inteligensi baku.Kekurangan dalam perilaku adaptif. Terjadi pada masa perkembangan, yaitu anatara masa konsepsi hingga usia 18 tahun. Pengklasifikasian/penggolongan Anak Tunagrahita untuk keperluan pembelajaran menurut American Association on Mental Retardation dalam Special Education in Ontario Schools (p. 100) sebagai berikut: 1. EDUCABLE Anak pada kelompok ini masih mempunyai kemampuan dalam akademik setara dengan anak reguler pada kelas 5 Sekolah dasar

Gifted (anak berbakat) adalah mereka yang menurut para ahli / profesional diidentifikasikan sebagai anak yang mampu mencapai prestasi tinggi karena mempunyai kemampuan-kemampuan yang unggul. Anak berbakat memerlukan pendidikan khusus yang sesuai dengan kebutuhan-kebutuhannya agar potensi yang luar biasa hebat yang dimilkinya dapat di aktualisasikan secara optimal untuk kepentingan sendiri dan masyarakat.

Anak-anak gifted kadang mengalami disinkroni. Dari penelitian Mönks dilaporkan bahwa setengah dari populasi anak berbakat (gifted) mengalami masalah di sekolahnya karena prestasi yang dicapai di bawah potensinya (Mönks & Ypenburg, 1995). Masalah ini disebabkan bukan hanya tidak terdukungnya perkembangan kognitif mereka dengan metode yang tepat di sekolah, tetapi juga adanya masalah dalam perkembangan yang disebut masalah perkembangan disinkroni.Jika tidak ditangani dengan tepat, potensi gifted disinkroni ini bisa berkembang tidak optimal. Bahkan dampak yang lebih buruk, anak akan frustrasi.

    b. Kendala Mengintegrasikan Anak Tunagrahita Dengan Anak Normal di Sekolah Reguler

Anak-anak yang memiliki kebutuhan khusus (tunagrahita) sepintas tidak memiliki perbedaan dengan anak lainnya. Akibatnya masyarakat tidak memberikan perhatian khusus. Padahal anak-anak yang memiliki kelambatan perkembangan psikomotorik membutuhkan pendampingan sepanjang hidupnya. anak-anak tunagrahita sepanjang hidupnya membutuhkan pendampingan sehingga memerlukan dukungan masyarakat. Selama ini perhatian masyarakat sebatas kepada cacat fisik seperti tuna netra, tuna rungu dan tuna daksa. Anak-anak yang tunagrahita lebih membutuhkan pendampingan dari orang lain. Perkembangan fisiknya dapat sangat baik, namun psikomotoriknya sangat lambat. Akibatnya masyarakat tidak memberikan perhatian sepenuh lebih banyak dibandingkan cacat fisik. Orang tunagrahita dikodratkan memiliki inte-legensia rendah mulai dari 30-69. Makin rendah tingkat intelegensianya, makin rendah pula daya nalarnya.
tuna-grahita ringan memiliki tingkat intelegensia antara 60-69, bisa dididik berbagai keterampilan, seperti membaca, mengenal huruf dan uang, mengenal norma masyarakat, serta berso-sialisasi.

Tunagrahita sedang bisa melakukan beberapa kete-rampilan hidup dan berko-munikasi. Namun tunagrahita berat, motorik halusnya tidak berkembang akibatnya tidak bisa melakukan berbagai pekerjaan dengan baik dan takut bertemu orang lain. Ketunagrahitaan bisa didapat karena faktor genetik, terinfeksi virus, kurang asupan gizi, atau pengaruh konsumsi jenis obat dalam dosis tertentu yang mengakibatkan kelainan pada syaraf-syaraf kecerdasannya di otak. “Meskipun daya nalarnya tergolong rendah, mereka memiliki kelebihan yang sangat khas”

Secara umum kendala terbesar dapat dilihat dari jumlah sekolah khusus yang ada di Indonesia serta tenaga pengajarnya dan kurikulum yang dikembangakan belum memadai. Meskipun banyak hal yang biasa kita singgung mengenai kendala yang dihadapi anak tunagrahita di sekolah normal.

    c. Kritik Terhadap Program Akselerasi di Indonesia

Progaram akselerasi adalah program percepatan belajar merupakan suatu program layanan pendidikan khusus bagi peserta didik yang oleh guru telah diidentifikasikan memiliki prestasi sangat memuaskan, dan oleh psikolog telah diidentifkasi memiliki kemampuan intelektual umum pada taraf cerdas, memiliki kreatifitas tinggi dan ketertarikan terhadap tugas diatas rata-rata, untuk menyelesaikan program pendidkan sesuai dengan kecepatan belajar mereka.

Pada program ini memiliki kelebihan dan kekurangan tersendiri dari segi peserta didik hal ini malah akan menimbulkan kesenjangan bagi anak-anak yang kemampuannya biasa-biasa saja dan bagi anak yang mengikuti program ini sebenarnya sangat berpengaruh bagi pertumbuhan dan perkembangannya, sehingga sangat diperlukan tenaga ahli yang kompeten di bidangnya dalam hal penanganannya.

  1. Pola perampingan waktu dari 3 taun menjadi 2 tahun, dengan waktu efektif belajar siswa 3 bulan tiap semester ternyata memiliki dampak yang cukup signifikan menurut penulis selaku guru yang langsung terjun berinteraksi dengan siswa. Keterbatasan waktu dan banyaknya jumlah materi yang harus disampaikan tidak bisa dielakkan lagi benturannya. Yang pada ujungnya, walaupun guru sudah memilah dan memilih materi esensial dan non esensial, toh dengan sangat terpaksa guru menyampaikan hanya kulit-kulitnya saja. Hal ini dirasakan langsung oleh siswa, apalagi ketika mereka melanjutkan studi di perguruan tinggi mengambil jurusan yang langsung berhubungan dengan materi di SMA seperti MIPA ataupun Teknik. Mereka baru tahu bahwa ternyata apa yang didapatkan SMA sangat dangkal. Cepatnya guru mengajar tidak bisa dihindarkan sehingga materi esensial pun tidak bisa didalam.
  2. Bagi guru, mengajar di kelas ekselerasi selain dituntut guru harus mampu merancang suatu metode pembelajaran yang efektif, dengan waktu singkat tetapi siswa paham, cenderung mengakibatkan guru tidak bisa merasakan nikmatnya mengajar suatu materi. Bahkan lebih jauh, yang ada hanyalah memadatkan tetapi sulit untuk melakukan reinforcement, enrichment atau ekskalasi (pendalaman pada tiap bidang) materi. Untuk melakukan analisis yang tinggi terhadap suatu materi yang disampaikan mungkin nyaris terabaikan karena desakan waktu, dan kejaran bahan yang ada.
  3. Usaha pemadatan materi dengan cara menghilangkan beberapa materi yang dianggap non esensial sangat beresiko hilangnya materi yang kadang kala justru itu merupakan proses analisis berpikir siswa.
  4. Pengalaman belajar yang dialami siswa selama pembelajaran sangat menentukan pengembangan potensi dasar siswa baik daya pikir, efektif, maupun kecakapannya. Life skill yang diharapkan dapat tumbuh dalam proses belajar akan cenderung terabaikan kerena yang disampaikan hanya konsep-konsep penting saja.
  5. Locus of Control (orientasi control siswa terhadap pengembangan diri) pun nyaris hilang, karena kenikmatan belajar atau menghayati suatu materi tidak sempat mampir pada siswa. Pada saat yang berurutan mereka harus memahami materi, mengerjakan latihan soal, dan langsung mengikuti ter evaluasi.
  6. Masa transisi setelah siswa lulus seleksi program akselerasi, dan mulai mengikuti kelas ini cenderung terlihat pada 3 bulan pertama, mereka mengalami suasana stress. Apalagi bila ada guru yang tanpa basa-basi langsung melakukan akselerasi tanpa pemanasan terlebih dahulu. Siswa akan kaget dengan cepatnya materi yang diberikan.
  7. Padatnya beban tugas mandiri yang mereka terima cenderung mengakibatkan sosoalosasi dngan teman-teman regular menjadi sangat kurang atau bahkan menjadi sedikit eksklusif. Kecuali pada siswa-siswa tertentu yang merespon tugas dengan baik atau cenderung apatis, kadang-kadang mereka masih bisa bermain dengan teman-temannya dari kelas reguler.
  8. Menjelang akhir tahun kelas 3, persiapan untuk ujian nasional, banyak ditemukan siswa yang merasa bahwa dia tidak memiliki persiapan apa-apa, seolah-olah materi 5 semester yang sudah didapat lewat begitu saja.

    d. Saran Penyempurnaan Program Akselerasi Dalam Rangka Pendidikan Inklusif

Berbagai penelitian mengenai siswa unggul dan adanya program akselerasi di berbagai Negara yang berusaha mengakomodasi kebutuhan golongan siswa tersebut. Termasuk pula berbagai pro dan kontra mengenai dampak akselerasi dari berbagai aspek. Namun begitu, aktivitas belajar yang padat dapat memacu siswa sehingga memiliki daya juang yang tinggi dalam belajar, karena memang tidak ditemukan adanya dampak negatif dari hal itu. Meski demikian, pemantauan pada semester awal menjadi amat penting dalam rangka melakukan tindakan lanjutan bagi siswa yang ditemukan memiliki potensi tidak cukup mampu melakukan penyesuaian diri dengan tuntutan program maupun juga lingkungan akademik dan sosial yang baru. Bagaimanapun, evaluasi terhadap program akselerasi di Indonesia harus terus dilakukan dari berbagai aspek. Keberhasilan akselerasi di Negara lain tidaklah dapat menjadi pegangan, mengingat kondisi demografis dan sosio-kultural yang berbeda.

Berikuit ini adalah saran agar program akselerasi dapat berjalan dengan baik:

  • Program Percepatan Belajar atau Kelas Akselerasi bagi anak berbakat yaitu mereka yang kerana memiliki kemampuan-kemampuan yang unggul serta prestasi yang tinggi, perlu dirancang dengan sebaik mungkin.
  • Pola pemadatan waktu jangan sampai memberikan dampak bola salju yang mengakibatkan justru potensi siswa yang mestinya tampil manjadi hilang. Mereka hanya disibukkan untuk menyelesaikan materi dan tugas-tugas yang ada.
  • Evaluasi, dan pemantauan tarus menerus harus dilakukan, dan tidak bisa menyamakan pola siswa setiap angkatan. Karakter siswa tiap angkatan akan membentuk karakter kelas dan budaya kelas (calss culture) yang berimplikasi pada pola dan metode mengajar guru yang harus disesuaikan.
  • Siswa program akselerasi harus memiliki pendampingan yang intens baik dari wali kelas, guru mata pelajaran, guru bimbingan konseling serta psikolog yang memang khusus disediakan untuk siswa kelas akselerasi. Dan masing-masing aspek diatas harus senantiasa ada komunikasi khusus untuk mengevaluasi perkembangan siswa. Hal ini dimungkinkan untuk tampilnya seluruh potensi siswa dengan mengikuti program ini.
  • Guru kelas akselerasi dituntut harus piawai dalam mengemas sebuah pembelajaran, mereka tidak bisa menyamakan perlakuan mengajar dikelas regular dengan kelas akselerasi. Penyampaian materi harus utuh (bukan sesuka guru) dengan target adanya pemekaran dan mampu mengekskalasi suatu materi.
  • Untuk meningkatkan kualitas program akselerasi, maka rekurtmen siswa harus sangat hati-hati dan komprehensif dengan tidak mengabaikan faktor lain.

Investasi yang mahal pada program ini menuntut kerjasama yang erat antara pihak sekolah, orangtua, masyarakat untuk terus melakukan perbaikan-perbaikan menuju target yang diharapkan


Tidak ada komentar:

Posting Komentar