Jumat, 22 Mei 2009

BENTUK TES DAN TINGKAH LAKU BELAJAR

Tingkah laku belajar anak sangat dipengaruhi oleh bentuk tes yang digunakan untuk mengevaluasi hasil belajar. Bentuk tes yang telah dapat diprediksikan berdasarkan pengalaman yang berulang dan diberi tahukannya bentuk tes yang dihadapi akan membuat anak mengorganisasi strategi belajarnya menyesuaikan bentuk tes yang akan dihadapi.

Bentuk tes mempengaruhi bagaimana anak terlibat dalam proses belajar. Pemilihan cara belajar sebagian ditentukan oleh bagaimana anak menghadapi evaluasinya. Reaksi anak terhadap suatu rangsangan (stimulus) sangat tergantung kepada hasilnya sebagai hadiah (reward). Azwar (1987 : 13) mengatakan bahwa para siswa yang mengharapkan adanya tes akan cenderung untuk belajar dan mereka cenderung akan mempelajari apa yang diharapkan akan ditanyakan dalam tes. Grounlund (1985 : 9) mengatakan, “Antisipasi mengenai adanya tes memperbesar kegiatan belajar dan sifat atau corak tes yang ditunggu-tunggu menyalurkan dan mengarahkan corak belajar yang dilakukan”.

Bentuk tes dapat mempengaruhi perilaku belajar siswa yang akan mengambilnya. Siswa akan belajar dengan pola bagaimana tes dirancang. Apabila tes dirancang sebagai tes objektif maka siswa akan belajar dengan menghafal, dan apabila tes dirancang sebagai tes esai maka siswa akan belajar dengan memahami. Akibatnya, siswa cenderung belajar dengan menghafal kalau menghadapi soal objektif dan cenderung belajar dengan memahami kalau menghadapi soal esai.

1. Tes Objektif dan Menghafal
Tes objektif akan direspons oleh anak dengan belajar menghafal. Sehubungan dengan hasil belajar dalam kawasan kognitif yang disusun taksonominya oleh Bloom, maka tingkah laku belajar menghafal memiliki preferensi untuk mengambil tes objektif. Karena pengetahuan (knowledge) Bloom lebih banyak berhubungan dengan ingatan maka dapat dikelompokkan sebagai belajar menghafal (rote learning) (Sukmadinata, 2000 : 139). Hal itu disebabkan karena butir-butir tes objektif menyediakan semua informasi yang diperlukan untuk menjawab soal, sehingga hasil belajar biasanya merupakan pemanggilan informasi (recalling) dari ingatan. Hasil belajar berupa hafalan pada umumnya diukur dengan tes objektif karena dapat lebih mudah disesuaikan dengan hasil belajar tertentu yang akan diukur, memungkinkan pengadaan sampel tingkah laku yang lebih tepat dan dapat dinilai lebih cepat dan objektif (Grounlund, 1981 : 37). Orang yang belajar dengan menghafal diuntungkan oleh tes objektif karena dia terbiasa menghafal informasi untuk disimpan dalam ingatan dan tes objektif adalah alat yang baik untuk mengukur fakta dan hasil belajar langsung yang berkenaan dengan hafalan (Zainul dan Nasoetion, 1996 : 57).

Dari berbagai pendapat di atas, dapat diketahui bahwa para peserta tes yang belajar dengan menghafal akan memperoleh hasil yang lebih baik daripada mereka yang belajar dengan memahami di dalam merespons tes objektif.

2. Tes Esai dan Memahami
Siswa akan belajar hingga mendapatkan pemahaman untuk menghadapi soal esai. Hal itu disebabkan karena untuk mampu menjawab soal esai dibutuhkan pemahaman secara menyeluruh. Pemahaman secara fragmentaristik tidak dapat digunakan untuk menjawab soal esai. Soal esai menuntut kemampuan tingkat tinggi dalam level kognisi, seperti kemampuan menganalisa, menyusun sintesa dan melakukan evaluasi. Soal tes bentuk esai lebih menekankan pengintegrasian dan pengaplikasian berpikir dan pemecahan masalah (Subino, 1987 : 4). Hasil belajar bersifat kompleks dan bila dirinci menjadi hasil belajar yang lebih sederhana dapat kehilangan arti globalnya, sebab hubungan antara komponen hasil belajar yang satu dengan yang lain sangat erat. Hasil belajar seperti ini seharusnya diukur dengan menggunakan tes uraian (Zainul dan Nasoetion, 1996 : 34).

Tes esai dan belajar dengan memahami merupakan pengaruh aliran psikologi kognitif. Menurutnya, belajar terjadi dalam otak manusia sehingga belajar hanya terjadi apabila terbentuk pemahaman (insightful learning) (Ditjen Dikti Depdikbud, 1981, 31). Banyak kemampuan manusia yang tidak memungkinkan untuk diukur dengan soal objektif, karena keterbatasan soal objektif dalam mengungkapnya. Berbagai proses belajar yang menuntut kemampuan menyelidik, kemampuan menemukan masalah, memilih cara untuk memecahkan masalah yang dihadapi, dan sebagainya tidak mungkin diukur dengan tes hasil belajar dalam bentuk objektif (Soedijarto, 1993 : 55).

Sehubungan dengan hasil belajar dalam taksonomi tujuan pengajarannya Bloom, level kognisi mulai pemahaman hingga evaluasi menuntut belajar secara bermakna (Sukmadinata, 2000 : 139). Siswa yang belajar sampai mendapatkan pemahaman akan diuntungkan oleh bentuk tes esai. Pemahaman yang komprehensif terhadap problem menyebabkan siswa memiliki kemampuan menungkan gagasannya lebih baik sebagaimana dituntut oleh tes esai.

pustekkom.depdoknas.go.id

Tidak ada komentar:

Posting Komentar