Jumat, 29 Mei 2009

Artikel manajemen kurikulum


Pemerintah Jangan Diskriminatif Soal Anggaran Penyandang Cacat
By admin
Sunday, August 10, 2008 13:17:00

Minggu, 10 Agustus 2008 13:17 WIB

Pemerintah Jangan Diskriminatif Soal Anggaran Penyandang Cacat
Penulis : Sidik Pramono

JAKARTA--MI: Pemerintah harus menempatkan porsi anggaran yang tidak diskriminatif terhadap penyandang cacat, baik dari sisi pendidikan, maupun pembinaan olahraga penyandang cacat.

Pasalnya, selama ini, anggaran pendidikan dan pembinaan olahraga kepada penyandang cacat masih belum proporsional, atau masih terjadi ketimpangan yang lebar, dengan anggaran pendidikan dan pembinaan olahraga bagi orang normal.

Demikian diungkapkan Ketua Umum Special Olympic Indonesia (SOINA) Pudji Hastuti kepada pers, di sela-sela peringatan Hari Ulang Tahun (HUT) SOINA ke-19, di Taman Menteng (eks stadion Persija), Jakarta, Minggu (10/8).

Pudji mengemukakan, anggaran pendidikan yang tidak proporsional, terlihat ketika banyak sekolah luar biasa (SLB), yang didirikan oleh masyarakat, ketimbang yang didirikan oleh pemerintah.

''Padahal, banyak masyarakat yang ekonominya kurang mampu, ingin mencari SLB guna mendidik anaknya, dengan biaya yang bisa terjangkau oleh kantongnya. SLB swasta meskipun berjiwa sosial, namun masih ada hambatan dari sisi biaya, bagi masyarakat ekonomi kelas menengah ke bawah,'' kata Pudji.

Karena itu, ujar Pudji, sudah seharusnya Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas), melalui Direktorat Jenderal Pendidikan Non Formal dan Informal, mulai memikirkan pendirian SLB negeri, yang mendapat sokongan anggaran dari pemerintah. ''Bukan seperti saat ini, hanya memperbanyak sekolah umum,'' ujar Pudji.

Setali tiga uang (sama saja), lanjut Pudji, juga dirasakan dalam pembinaan olahraga bagi para penyandang cacat. Anggaran yang diterima belum memadai, guna melakukan pembinaan penyandang cacat, yakni hanya sebatas pembiayaan operasional keorganisasian.

''Misalnya, dari tahun ke tahun, SOINA sebagai payung pembinaan olahraga bagi penyandang cacat tuna grahita, hanya mendapat anggaran Rp 200 juta dari Kementerian Negara Pemuda dan Olahraga. Itu hanya cukup, untuk membiayai kegiatan operasioanal, dari cabang-cabang SOINA yang ada di Indonesia,'' ujar Pudji. (Dik/OL-2)

Sumber: Media Indonesia Online
http://www.mediaindonesia.com/index.php?ar_id=MjIzMzc=



Kesulitan Belajar, Lambat Belajar,

TunaGrahita, Gifted Disinkroni

    a. Pengertian Kesulitan Belajar, Lambat Belajar, Tunagrahita, Gifted Disinkroni

Anak berkesulitan belajar adalah anak yang memiliki ganguan satu atau lebih dari preoses dasar yang mencakup pemahaman penggunaan bahasa lisan atau tulisan, gangguan tersebut mungkin menampakkan diri dalam bentuk kemampuan yang tidak sempurna dalam mendengarkan, berpikir, berbicara, membaca, menulis,mengeja atau menghitung. Batasan tersebut meliputi kondisi-kondisi seperti gangguan perceptual, luka pada otak, diseleksia dan afasia perkembangan. Dalam kegiatan pembelajaran di sekolah, kita dihadapkan dengan sejumlah karakterisktik siswa yang beraneka ragam. Ada siswa yang dapat menempuh kegiatan belajarnya secara lancar dan berhasil tanpa mengalami kesulitan, namun di sisi lain tidak sedikit pula siswa yang justru dalam belajarnya mengalami berbagai kesulitan. Kesulitan belajar siswa ditunjukkan oleh adanya hambatan-hambatan tertentu untuk mencapai hasil belajar, dan dapat bersifat psikologis, sosiologis, maupun fisiologis, sehingga pada akhirnya dapat menyebabkan prestasi belajar yang dicapainya berada di bawah semestinya.

Kesulitan belajar siswa mencakup pengetian yang luas, diantaranya : (a) learning disorder; (b) learning disfunction; (c) underachiever; (d) slow learner, dan (e) learning diasbilities. Di bawah ini akan diuraikan dari masing-masing pengertian tersebut.

  1. Learning Disorder atau kekacauan belajar adalah keadaan dimana proses belajar seseorang terganggu karena timbulnya respons yang bertentangan. Pada dasarnya, yang mengalami kekacauan belajar, potensi dasarnya tidak dirugikan, akan tetapi belajarnya terganggu atau terhambat oleh adanya respons-respons yang bertentangan, sehingga hasil belajar yang dicapainya lebih rendah dari potensi yang dimilikinya. Contoh : siswa yang sudah terbiasa dengan olah raga keras seperti karate, tinju dan sejenisnya, mungkin akan mengalami kesulitan dalam belajar menari yang menuntut gerakan lemah-gemulai.
  2. Learning Disfunction merupakan gejala dimana proses belajar yang dilakukan siswa tidak berfungsi dengan baik, meskipun sebenarnya siswa tersebut tidak menunjukkan adanya subnormalitas mental, gangguan alat dria, atau gangguan psikologis lainnya. Contoh : siswa yang memiliki postur tubuh yang tinggi atletis dan sangat cocok menjadi atlet bola volley, namun karena tidak pernah dilatih bermain bola volley, maka dia tidak dapat menguasai permainan volley dengan baik.
  3. Under Achiever mengacu kepada siswa yang sesungguhnya memiliki tingkat potensi intelektual yang tergolong di atas normal, tetapi prestasi belajarnya tergolong rendah. Contoh : siswa yang telah dites kecerdasannya dan menunjukkan tingkat kecerdasan tergolong sangat unggul (IQ = 130 – 140), namun prestasi belajarnya biasa-biasa saja atau malah sangat rendah.
  4. Slow Learner atau lambat belajar adalah siswa yang lambat dalam proses belajar, sehingga ia membutuhkan waktu yang lebih lama dibandingkan sekelompok siswa lain yang memiliki taraf potensi intelektual yang sama.
  5. Learning Disabilities atau ketidakmampuan belajar mengacu pada gejala dimana siswa tidak mampu belajar atau menghindari belajar, sehingga hasil belajar di bawah potensi intelektualnya.

Siswa yang mengalami kesulitan belajar seperti tergolong dalam pengertian di atas akan tampak dari berbagai gejala yang dimanifestasikan dalam perilakunya, baik aspek psikomotorik, kognitif, konatif maupun afektif . Beberapa perilaku yang merupakan manifestasi gejala kesulitan belajar, antara lain :

  1. Menunjukkan hasil belajar yang rendah di bawah rata-rata nilai yang dicapai oleh kelompoknya atau di bawah potensi yang dimilikinya.
  2. Hasil yang dicapai tidak seimbang dengan usaha yang telah dilakukan. Mungkin ada siswa yang sudah berusaha giat belajar, tapi nilai yang diperolehnya selalu rendah
  3. Lambat dalam melakukan tugas-tugas kegiatan belajarnya dan selalu tertinggal dari kawan-kawannya dari waktu yang disediakan.
  4. Menunjukkan sikap-sikap yang tidak wajar, seperti: acuh tak acuh, menentang, berpura-pura, dusta dan sebagainya.
  5. Menunjukkan perilaku yang berkelainan, seperti membolos, datang terlambat, tidak mengerjakan pekerjaan rumah, mengganggu di dalam atau pun di luar kelas, tidak mau mencatat pelajaran, tidak teratur dalam kegiatan belajar, dan sebagainya.
  6. Menunjukkan gejala emosional yang kurang wajar, seperti : pemurung, mudah tersinggung, pemarah, tidak atau kurang gembira dalam menghadapi situasi tertentu. Misalnya dalam menghadapi nilai rendah, tidak menunjukkan perasaan sedih atau menyesal, dan sebagainya.

Sementara itu, Burton (Abin Syamsuddin. 2003) mengidentifikasi siswa yang diduga mengalami kesulitan belajar, yang ditunjukkan oleh adanya kegagalan siswa dalam mencapai tujuan-tujuan belajar. Menurut dia bahwa siswa dikatakan gagal dalam belajar apabila :

  1. Dalam batas waktu tertentu yang bersangkutan tidak mencapai ukuran tingkat keberhasilan atau tingkat penguasaan materi (mastery level) minimal dalam pelajaran tertentu yang telah ditetapkan oleh guru (criterion reference).
  2. Tidak dapat mengerjakan atau mencapai prestasi semestinya, dilihat berdasarkan ukuran tingkat kemampuan, bakat, atau kecerdasan yang dimilikinya. Siswa ini dapat digolongkan ke dalam under achiever.
  3. Tidak berhasil tingkat penguasaan materi (mastery level) yang diperlukan sebagai prasyarat bagi kelanjutan tingkat pelajaran berikutnya. Siswa ini dapat digolongkan ke dalam slow learner atau belum matang (immature), sehingga harus menjadi pengulang (repeater)

Untuk dapat menetapkan gejala kesulitan belajar dan menandai siswa yang mengalami kesulitan belajar, maka diperlukan kriteria sebagai batas atau patokan, sehingga dengan kriteria ini dapat ditetapkan batas dimana siswa dapat diperkirakan mengalami kesulitan belajar. Terdapat empat ukuran dapat menentukan kegagalan atau kemajuan belajar siswa : (1) tujuan pendidikan; (2) kedudukan dalam kelompok; (3) tingkat pencapaian hasil belajar dibandinngkan dengan potensi; dan (4) kepribadian.

Slow learner (Lambat belajar) adalah adalah mereka yang memiliki prestasi belajar rendah (di bawah rata-rata anak pada umumnya) pada salah satu atau seluruh area akademik, tapi mereka ini bukan tergolong anak terbelakang mental. Skor tes IQ mereka menunjukkan skor anatara 70 dan 90 (Cooter & Cooter Jr., 2004; Wiley, 2007). Dengan kondisi seperti demikian, kemampuan belajarnya lebih lambat dibandingkan dengan teman sebayanya. Tidak hanya kemampuan akademiknya yang terbatas tapi juga pada kemampuan-kemampuan lain, dianataranya kemampuan koordinasi (kesulitan menggunakan alat tulis, olahraga, atau mengenakan pakaian). Dari sisi perilaku, mereka cenderung pendiam dan pemalu, dan mereka kesulitan untuk berteman. Anak-anak lambat belajar ini juga cenderung kurang percaya diri. Kemampuan berpikir abstraknya lebih rendah dibandingkan dengan anak pada umumnya. Mereka memiliki rentang perhatian yang pendek. Anak dengan SL memiliki ciri fisik normal. Tapi saat di sekolah mereka sulit menangkap materi, responnya lambat, dan kosa kata juga kurang, sehingga saat diajak berbicara kurang jelas maksudnya atau sulit nyambung.

Tunagrahita merupakan kata lain dari Retardasi Mental (mental retardation). Tuna berarti merugi.Grahita berarti pikiran. Retardasi Mental (Mental Retardation/Mentally Retarded) berarti terbelakang mental. Tunagrahita sering disepadankan dengan istilah-istilah, sebagai berikut: 1. Lemah fikiran ( feeble-minded); 2. Terbelakang mental (Mentally Retarded); 3. Bodoh atau dungu (Idiot); 4. Pandir (Imbecile); 5. Tolol (moron); 6. Oligofrenia (Oligophrenia); 7. Mampu Didik (Educable); 8. Mampu Latih (Trainable); 9. Ketergantungan penuh (Totally Dependent) atau Butuh Rawat; 10. Mental Subnormal; 11. Defisit Mental; 12. Defisit Kognitif; 13. Cacat Mental; 14. Defisiensi Mental; 15. Gangguan Intelektual American Asociation on Mental Deficiency/AAMD dalam B3PTKSM, (p. 20), mendefinisian Tunagrahita sebagai kelainan: yang meliputi fungsi intelektual umum di bawah rata-rata (Sub-average), yaitu IQ 84 ke bawah berdasarkan tes; yang muncul sebelum usia 16 tahun; yang menunjukkan hambatan dalam perilaku adaptif. Sedangkan pengertian Tunagrahita menurut Japan League for Mentally Retarded (1992: p.22) dalam B3PTKSM (p. 20-22) sebagai berikut: Fungsi intelektualnya lamban, yaitu IQ 70 kebawah berdasarkan tes inteligensi baku.Kekurangan dalam perilaku adaptif. Terjadi pada masa perkembangan, yaitu anatara masa konsepsi hingga usia 18 tahun. Pengklasifikasian/penggolongan Anak Tunagrahita untuk keperluan pembelajaran menurut American Association on Mental Retardation dalam Special Education in Ontario Schools (p. 100) sebagai berikut: 1. EDUCABLE Anak pada kelompok ini masih mempunyai kemampuan dalam akademik setara dengan anak reguler pada kelas 5 Sekolah dasar

Gifted (anak berbakat) adalah mereka yang menurut para ahli / profesional diidentifikasikan sebagai anak yang mampu mencapai prestasi tinggi karena mempunyai kemampuan-kemampuan yang unggul. Anak berbakat memerlukan pendidikan khusus yang sesuai dengan kebutuhan-kebutuhannya agar potensi yang luar biasa hebat yang dimilkinya dapat di aktualisasikan secara optimal untuk kepentingan sendiri dan masyarakat.

Anak-anak gifted kadang mengalami disinkroni. Dari penelitian Mönks dilaporkan bahwa setengah dari populasi anak berbakat (gifted) mengalami masalah di sekolahnya karena prestasi yang dicapai di bawah potensinya (Mönks & Ypenburg, 1995). Masalah ini disebabkan bukan hanya tidak terdukungnya perkembangan kognitif mereka dengan metode yang tepat di sekolah, tetapi juga adanya masalah dalam perkembangan yang disebut masalah perkembangan disinkroni.Jika tidak ditangani dengan tepat, potensi gifted disinkroni ini bisa berkembang tidak optimal. Bahkan dampak yang lebih buruk, anak akan frustrasi.

    b. Kendala Mengintegrasikan Anak Tunagrahita Dengan Anak Normal di Sekolah Reguler

Anak-anak yang memiliki kebutuhan khusus (tunagrahita) sepintas tidak memiliki perbedaan dengan anak lainnya. Akibatnya masyarakat tidak memberikan perhatian khusus. Padahal anak-anak yang memiliki kelambatan perkembangan psikomotorik membutuhkan pendampingan sepanjang hidupnya. anak-anak tunagrahita sepanjang hidupnya membutuhkan pendampingan sehingga memerlukan dukungan masyarakat. Selama ini perhatian masyarakat sebatas kepada cacat fisik seperti tuna netra, tuna rungu dan tuna daksa. Anak-anak yang tunagrahita lebih membutuhkan pendampingan dari orang lain. Perkembangan fisiknya dapat sangat baik, namun psikomotoriknya sangat lambat. Akibatnya masyarakat tidak memberikan perhatian sepenuh lebih banyak dibandingkan cacat fisik. Orang tunagrahita dikodratkan memiliki inte-legensia rendah mulai dari 30-69. Makin rendah tingkat intelegensianya, makin rendah pula daya nalarnya.
tuna-grahita ringan memiliki tingkat intelegensia antara 60-69, bisa dididik berbagai keterampilan, seperti membaca, mengenal huruf dan uang, mengenal norma masyarakat, serta berso-sialisasi.

Tunagrahita sedang bisa melakukan beberapa kete-rampilan hidup dan berko-munikasi. Namun tunagrahita berat, motorik halusnya tidak berkembang akibatnya tidak bisa melakukan berbagai pekerjaan dengan baik dan takut bertemu orang lain. Ketunagrahitaan bisa didapat karena faktor genetik, terinfeksi virus, kurang asupan gizi, atau pengaruh konsumsi jenis obat dalam dosis tertentu yang mengakibatkan kelainan pada syaraf-syaraf kecerdasannya di otak. “Meskipun daya nalarnya tergolong rendah, mereka memiliki kelebihan yang sangat khas”

Secara umum kendala terbesar dapat dilihat dari jumlah sekolah khusus yang ada di Indonesia serta tenaga pengajarnya dan kurikulum yang dikembangakan belum memadai. Meskipun banyak hal yang biasa kita singgung mengenai kendala yang dihadapi anak tunagrahita di sekolah normal.

    c. Kritik Terhadap Program Akselerasi di Indonesia

Progaram akselerasi adalah program percepatan belajar merupakan suatu program layanan pendidikan khusus bagi peserta didik yang oleh guru telah diidentifikasikan memiliki prestasi sangat memuaskan, dan oleh psikolog telah diidentifkasi memiliki kemampuan intelektual umum pada taraf cerdas, memiliki kreatifitas tinggi dan ketertarikan terhadap tugas diatas rata-rata, untuk menyelesaikan program pendidkan sesuai dengan kecepatan belajar mereka.

Pada program ini memiliki kelebihan dan kekurangan tersendiri dari segi peserta didik hal ini malah akan menimbulkan kesenjangan bagi anak-anak yang kemampuannya biasa-biasa saja dan bagi anak yang mengikuti program ini sebenarnya sangat berpengaruh bagi pertumbuhan dan perkembangannya, sehingga sangat diperlukan tenaga ahli yang kompeten di bidangnya dalam hal penanganannya.

  1. Pola perampingan waktu dari 3 taun menjadi 2 tahun, dengan waktu efektif belajar siswa 3 bulan tiap semester ternyata memiliki dampak yang cukup signifikan menurut penulis selaku guru yang langsung terjun berinteraksi dengan siswa. Keterbatasan waktu dan banyaknya jumlah materi yang harus disampaikan tidak bisa dielakkan lagi benturannya. Yang pada ujungnya, walaupun guru sudah memilah dan memilih materi esensial dan non esensial, toh dengan sangat terpaksa guru menyampaikan hanya kulit-kulitnya saja. Hal ini dirasakan langsung oleh siswa, apalagi ketika mereka melanjutkan studi di perguruan tinggi mengambil jurusan yang langsung berhubungan dengan materi di SMA seperti MIPA ataupun Teknik. Mereka baru tahu bahwa ternyata apa yang didapatkan SMA sangat dangkal. Cepatnya guru mengajar tidak bisa dihindarkan sehingga materi esensial pun tidak bisa didalam.
  2. Bagi guru, mengajar di kelas ekselerasi selain dituntut guru harus mampu merancang suatu metode pembelajaran yang efektif, dengan waktu singkat tetapi siswa paham, cenderung mengakibatkan guru tidak bisa merasakan nikmatnya mengajar suatu materi. Bahkan lebih jauh, yang ada hanyalah memadatkan tetapi sulit untuk melakukan reinforcement, enrichment atau ekskalasi (pendalaman pada tiap bidang) materi. Untuk melakukan analisis yang tinggi terhadap suatu materi yang disampaikan mungkin nyaris terabaikan karena desakan waktu, dan kejaran bahan yang ada.
  3. Usaha pemadatan materi dengan cara menghilangkan beberapa materi yang dianggap non esensial sangat beresiko hilangnya materi yang kadang kala justru itu merupakan proses analisis berpikir siswa.
  4. Pengalaman belajar yang dialami siswa selama pembelajaran sangat menentukan pengembangan potensi dasar siswa baik daya pikir, efektif, maupun kecakapannya. Life skill yang diharapkan dapat tumbuh dalam proses belajar akan cenderung terabaikan kerena yang disampaikan hanya konsep-konsep penting saja.
  5. Locus of Control (orientasi control siswa terhadap pengembangan diri) pun nyaris hilang, karena kenikmatan belajar atau menghayati suatu materi tidak sempat mampir pada siswa. Pada saat yang berurutan mereka harus memahami materi, mengerjakan latihan soal, dan langsung mengikuti ter evaluasi.
  6. Masa transisi setelah siswa lulus seleksi program akselerasi, dan mulai mengikuti kelas ini cenderung terlihat pada 3 bulan pertama, mereka mengalami suasana stress. Apalagi bila ada guru yang tanpa basa-basi langsung melakukan akselerasi tanpa pemanasan terlebih dahulu. Siswa akan kaget dengan cepatnya materi yang diberikan.
  7. Padatnya beban tugas mandiri yang mereka terima cenderung mengakibatkan sosoalosasi dngan teman-teman regular menjadi sangat kurang atau bahkan menjadi sedikit eksklusif. Kecuali pada siswa-siswa tertentu yang merespon tugas dengan baik atau cenderung apatis, kadang-kadang mereka masih bisa bermain dengan teman-temannya dari kelas reguler.
  8. Menjelang akhir tahun kelas 3, persiapan untuk ujian nasional, banyak ditemukan siswa yang merasa bahwa dia tidak memiliki persiapan apa-apa, seolah-olah materi 5 semester yang sudah didapat lewat begitu saja.

    d. Saran Penyempurnaan Program Akselerasi Dalam Rangka Pendidikan Inklusif

Berbagai penelitian mengenai siswa unggul dan adanya program akselerasi di berbagai Negara yang berusaha mengakomodasi kebutuhan golongan siswa tersebut. Termasuk pula berbagai pro dan kontra mengenai dampak akselerasi dari berbagai aspek. Namun begitu, aktivitas belajar yang padat dapat memacu siswa sehingga memiliki daya juang yang tinggi dalam belajar, karena memang tidak ditemukan adanya dampak negatif dari hal itu. Meski demikian, pemantauan pada semester awal menjadi amat penting dalam rangka melakukan tindakan lanjutan bagi siswa yang ditemukan memiliki potensi tidak cukup mampu melakukan penyesuaian diri dengan tuntutan program maupun juga lingkungan akademik dan sosial yang baru. Bagaimanapun, evaluasi terhadap program akselerasi di Indonesia harus terus dilakukan dari berbagai aspek. Keberhasilan akselerasi di Negara lain tidaklah dapat menjadi pegangan, mengingat kondisi demografis dan sosio-kultural yang berbeda.

Berikuit ini adalah saran agar program akselerasi dapat berjalan dengan baik:

  • Program Percepatan Belajar atau Kelas Akselerasi bagi anak berbakat yaitu mereka yang kerana memiliki kemampuan-kemampuan yang unggul serta prestasi yang tinggi, perlu dirancang dengan sebaik mungkin.
  • Pola pemadatan waktu jangan sampai memberikan dampak bola salju yang mengakibatkan justru potensi siswa yang mestinya tampil manjadi hilang. Mereka hanya disibukkan untuk menyelesaikan materi dan tugas-tugas yang ada.
  • Evaluasi, dan pemantauan tarus menerus harus dilakukan, dan tidak bisa menyamakan pola siswa setiap angkatan. Karakter siswa tiap angkatan akan membentuk karakter kelas dan budaya kelas (calss culture) yang berimplikasi pada pola dan metode mengajar guru yang harus disesuaikan.
  • Siswa program akselerasi harus memiliki pendampingan yang intens baik dari wali kelas, guru mata pelajaran, guru bimbingan konseling serta psikolog yang memang khusus disediakan untuk siswa kelas akselerasi. Dan masing-masing aspek diatas harus senantiasa ada komunikasi khusus untuk mengevaluasi perkembangan siswa. Hal ini dimungkinkan untuk tampilnya seluruh potensi siswa dengan mengikuti program ini.
  • Guru kelas akselerasi dituntut harus piawai dalam mengemas sebuah pembelajaran, mereka tidak bisa menyamakan perlakuan mengajar dikelas regular dengan kelas akselerasi. Penyampaian materi harus utuh (bukan sesuka guru) dengan target adanya pemekaran dan mampu mengekskalasi suatu materi.
  • Untuk meningkatkan kualitas program akselerasi, maka rekurtmen siswa harus sangat hati-hati dan komprehensif dengan tidak mengabaikan faktor lain.

Investasi yang mahal pada program ini menuntut kerjasama yang erat antara pihak sekolah, orangtua, masyarakat untuk terus melakukan perbaikan-perbaikan menuju target yang diharapkan















BAGAIMANA IMPLIKASI PENDIDIKAN BAGI ANAK TUNAGRAHITA?

Pendekatan yang dapat diberikan kepada anak tunagrahita adalah:

  1. Occuppasional Therapy (Terapi Gerak)
    Terapi ini diberikan kepada anak tunagrahita untuk melatih gerak funsional anggota tubuh (gerak kasar dan halus).

    2. Play therapy (Terapi bermain)
    Terapi yang diberikan kepada anak tunagrahita dengan cara bermain, misalnya: memberikan pelajaran tentang hitungan, anak diajarkan dengan cara sosiodrama, bermain jual-beli.

    3. Activity Daily Living (ADL) atau Kemampuan Merawat Diri
    Untuk memandirikan anak tunagrahita, mereka harus diberikan pengetahuan dan keterampilan tentang kegiatan kehidupan sehari-hari (ADL) agar mereka dapat merawat diri sendiri tanpa bantuan orang lain dan tidak tergantung kepada orang lain.

    4. Life Skill (Keterampilan hidup)
    Anak yang memerlukan layanan khusus, terutama anak dengan IQ di bawah rata-rata biasanya tidak diharapkan bekerja sebagai administrator. Bagi anak tunagrahita yang memiliki IQ dibawah rata-rata, mereka juga diharapkan untuk dapat hidup mandiri. Oleh karena itu, untuk bekal hidup, mereka diberikan pendidikan keterampilan. Dengan keterampilan yang dimilikinya mereka diharapkan dapat hidup di lingkungan keluarga dan masyarakat serta dapat bersaing di dunia industri dan usaha.

    5. Vocational Therapy (Terapi Bekerja)
    Selain diberikan latihan keterampilan. Anak tunagrahita juga diberikan latihan kerja. Dengan bekal keterampilan yang telah dimilikinya, anak tunagrahita diharapkan dapat bekerja.







TUNA GRAHITA PEMBELAJARAN

Sumber: ASESMEN MEMBACA-MENULIS-BERHITUNG, BAGI ANAK TUNAGRAHITA « BLOG Pendidikan Khusus.htm (March 19, 2009)

Untuk pembelajaran tuna grahita meneukan bahwa terdapat :

  1. pengajaran tematik
  2. pengajaran bahasa
  3. pembelajaran assesmen dalam Calistung

Pengajaran bahasa kepada anak tunagrahita dapat menggunakan pendekatan sosiolinguistik (bahasa sebagai alat komunikasi antara individu dengan lingkungan sosialnya), pendekatan psikolinguistik (individu sebagai "learning system"), dan pendekatan behaviorisme (individu sebagai mesin peniru yang distimulasi oleh reinforcement), atau pendekatan etologi, yang menggabungkan ketiga pendekatan tersebut, dengan menekankan tanggung jawab guru atau orang dewasa untuk menciptakan lingkungan komunikasi yang bermakna bagi anak.

Miller dan Yoder menganjurkan bahwa isi latihan bahasa untuk anak tunagrahita dan pembentukan perilakunya harus mengikuti urutan yang sama dengan anak normal. Pembentukan ekspresi verbal, misalnya, harus mengikuti urutan sebagai berikut:


1) Istilah-istilah relasional (ya, tidak, sudah, belum, dsb.);
2) Kata-kata tunggal;
3) Frasa predikat-obyek (buka pintu, baca buku);
4) Frasa subyek-obyek (Ibu guru, Ayah dokter);
5) Frasa subyek-predikat (guru membaca, Budi duduk); dan
6) Kalimat subyek-predikat-obyek (Ayah membaca buku).

Miller dan Yoder menganjurkan empat prinsip pengajaran bahasa:
1) Guru menciptakan alasan, motif, atau kebutuhan anak untuk berkomunikasi;
2) Anak memahami makna kata sebelum melafalkannya;
3) Hadapkan anak dengan pengalaman langsung; dan
4) Gunakan reinforcement, peniruan, dan modeling.


Dalam memilih dan menyajikan materi pengajaran, guru seyogyanya memperhatikan perkembangan kognitif anak tunagrahita. Penelitian Inhelder (1943, dalam Ingalls, 1978) menemukan bahwa anak tunagrahita ringan tidak dapat berkembang melampaui tahap perkembangan operasional konkret, dan bahwa anak tunagrahita sedang tidak dapat berkembang melampaui tahap perkembangan pra-operasional.


Karakteristik perkembangan kognitif pada masa praoperasional menurut Piaget antara lain adalah sebagai berikut:


- Belum dapat berpikir logis;
- Persepsi terbatas/harafiah;
- Sentris: anak hanya dapat memfokuskan perhatiannya pada satu dimensi stimulus saja pada satu saat;
- Egosentrik: anak tidak dapat menerima pendapat orang lain.;
- Tidak dapat memahami konsep himpunan atau klasifikasi.
Karakteristik perkembangan kognitif masa operasional konkret mencakup:
- Mulai berpikir logis;
- Pemikiran terbatas pada benda-benda konkret;
- Tidak dapat memikirkan berbagai kemungkinan cara pemecahan masalah secara sistematis.


Akan tetapi, asesmen perlu dilakukan sebelum kita memastikan bahwa anak memiliki karakteristik tersebut.Anak tuna grahita tidak sepertinya anak normal pembelajaran mereka lebih bersifat khusus. Model bahan ajar mereka bisa juga dengan menggunakan pendekatan model pembelajaran tematik yang mengacu dapat digunakan sebagai pedoman, acuan, maupun rambu-rambu bagi sekolah khususnya guru dalam menyelenggarakan pembelajaran bagi peserta didik yang sesuai dengan kebutuhan mereka masing-masing. Contoh-contoh bahan ajar ini dapat dikembangkan lebih lanjut sesuai dengan kebutuhan peserta didik dan kondisi lapangan.Tetapi tidak hanya itu pembelajaran tematik saja. Pembelajaran assesmen pun juga bisa untuk anak tuna grahita. Asesmen yaitu, proses yang sistimatis dalam mengumpulkan data seseorang anak yang berfungsi untuk melihat kemampuan dan kesulitan yang dihadapi seseorang saat itu. Mengumpulkan informasi yang relevan, sabagai bahan untuk menentukan apa yang sesungguhnya dibutuhkan, dan menerapkan seluruh proses pembuatan keputusan tersebut (Mcloughlin and Lewis, 1986:3; Rochyadi & Alimin 2003:44; Sodiq, 1996; Fallen dan Umansky, 1988 dalam Sunardi dan Sunaryo, 2006:80).Asesmen ini dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu dengan asesmen formal dan asesmen informal. Asesmen formal adalah asesmen dengan menggunakan tes standar yang sudah disusun sedemikian rupa oleh para ahli sehingga memiliki standar tertentu, sedangkan tes informal adalah penilaian dengan menganalisis hasil pekerjaan siswa atau dengan tes buatan guru (McLoughlin dan Lewis, 1986; Mercer dan Mercer, 1989; Abdurrahman, W., 2003:265; Wardani, 2007:8.25 ). Adapun langkah-langkah untuk melakukan asesmen Widati (2003:5) sebagai berikut melakukan identifikasi, menetukan tujuan asesmen, mengembangkan alat asesmen, dan penafsiran hasil asesmen. Asesmen mempunyai tujuan agar setiap murid akan sama atau berbeda tergantung pada gejala yang ditemukan pada waktu identifikasi. Guru melakukan asesmen sesuai dengan aspek yang akan diasesmen dalam waktu dan ditempat tertentu. Waktu yang digunakan dalam melakukan asesmen disesuaikan dengan alat yang dikembangkan serta disesuaikan dengan kemampuan anak dalam memusatkan perhatian sesuai usiannya. Misalnya usia kelas satu SD, lama tes sebaiknya tidak lebih dari 30 menit (Widati S 2003:5). Tes yang diberikan lebih dari 30 menit tidak akan memberikan informasi yang akurat tentang kemampuan anak karena perhatian anak sudah terpecah. Dalam pelakasanaan asesmen penting pula untuk diperhatikan dalam hal menciptakan ruangan atau tempat asesmen yang kondusif. Tempat asesmen harus terhindar dari hal-hal yang dapat mengganggu perhatian anak, sehingga tempat asesmen itu menjadi nyaman dan menimbulkan rasa nyaman bagi anak. tahap selanjutnya adalah guru mengolah hasil asesmen dan menafsirkannya. Hasil asesmen ini harus dikaitkan pula dengan kurikulum. Lihatlah materi pelajaran yang sesuai dengan jenjang kelas dimana anak tunagrahita berada. Apabila pada kurikulum itu tidak ditemukan materi yang sesuai dengan hasil asesmen maka harus dicari pada jenjang di bawahnya, jika masih belum ditemukan juga cari kembali pada jenjang di bawahnya lagi, demikian seterusnya, hingga ditemukan materi yang sejalan dengan hasil asesmen. Contoh :

Asesmen Membaca

Mengenal Huruf

Nama : …

Jenis Kelamin : …

TTL : ..

                    Kelas : …

a b c d e f

g h i j k l

m n o p q r

s t u v x y

z

Membedakan Bentuk Huruf

(Lingkari huruf yang disebutkan)

Nama : …

Jenis Kelamin : …

TTL : ..

Kelas : …

Huruf B/S Huruf B/S
(1) b d p

(2) a e r s

(3) m w h k

(4) l j t p y

(5) z o f v u n

(6) c s r z i e

(7) R G C D

(8) O D Q P

(9) S Z B H K

(10) Y U Y L F

(11) X N M W Z S

(12) A R K T B F

Membaca Kata

(Bacalah kata-kata di bawah ini!)

Nama : …

Jenis Kelamin : …

TTL : ..

Kelas : …

1. buku duku kuku

2. mama mana nana

3. bulu bola labu

4. hati nasi hari

5. kuda lupa palu

6. peta gula pita

7. sewa vena vita

8. cuci guci gali

9. lusa lusi nita

10. tani rasi rusa

Observasi

Observasi Deskripsi
  1. Posisi duduk
  2. Posisi kepala
  3. Konsentrasi
  4. Gerakan tangan
  5. Kesalahan membaca
  6. Posisi buku
  7. Intonasi
  8. Ekspresi
  9. Nada suara (tegang/tidak)

Asesmen Berhitung/Matematika

1. Menyebutkan atau menunjukkan lambang bilangan

2 5 3 8 1

9 7 6 10 4

2. Menulis lambang bilangan

a) Tulislah lambang bilangan 1!

b) Tulislah lambang bilangan 5!

c) Tulislah lambang bilamgan 3

d) Tulislah lambang bilangan 2

3. Mengurutkan

Isilah titik di bawah ini dengan lambang bilangan yang tepat!

a) 1, …, 3, …, 5, …, 7, …, 9, ….

b) 1, …, 3, 4, …, 6,…, 8, …, 10

c) …, 4, …, …, 7, …

d) 10, …, 8, 7, 6, …, 4, …., 2, …

4. Simbol Operasi Hitung (+, -, x, :, <, dan >)

Isilah titik-titik di bawah ini!

1) Tuliskan lambang perkalian! …

2) Tuliskan lambang lebih kecil! …

3) Tulislah lambang penjumlahan! …

4) Tulislah lambang lebih besar! …

5) Tulislah lambang pembagian! …

6) Tuliskan lambang pengurangan! …

Isilah dengan memberi tanda <, >

  1. 4………….. 6 1. 4 ……….. 3
  2. 7………….. 9 2 5 ……….. 2
  3. 3………….. 5 3 6 ………… 5
  4. 4………….. 8 4 9 ………… 8
  5. 5………….. 6 5 10 …………. 15

5. Nilai Tempat

Nilai tempat satuan, puluhan, ratusan, dan ribuan

  1. 11 = puluhan satuan
  2. 14 = puluhan satuan
  3. 3 19 = puluhan satuan
  4. 24 = puluhan satuan
  5. 26 = puluhan satuan
  6. 125 = ratusan puluhan satuan
  7. 886 = ratusan puluhan satuan
  8. 905 = ratusan puluhan satuan
  9. 1256 = ribuan ratusan puluhan satuan
  10. 7235 = ribuan ratusan puluhan satuan






11. 1 puluhan + 0 satuan = …

12. 1 puluhan + 6 satuan = …

13. 5 puluhan + 8 satuan = …

14. 7 puluhan + 3 satuan = …

15. 1 ratusan + 0 puluhan + 3 satuan = …

16. 3 ratusan + 5 puluhan + 0 satuan = …

17. 9 ratusan + 8 puluhan + 7 satuan = …

18. 2 ribuan + 0 ratusan + 0 puluhan + 9 satuan = …

19. 5 ribuan + 7 ratusan + 5 puluhan + 0 satuan = …

20. 9 ribuan + 8 ratusan + 4 puluhan + 2 satuan = …

6. Operasi hitung

Jumlahkan bilangan-bilangan di bawah ini !

1. 1 + 1 =

2. 3 + 2 =

3. 4 + 5 =

4. 5 + 6 =

5. 6 + 9 =

6. 15 + 2 = …

7. 17 + 3 = …

8. 37 + 6 = …

9. 56 + 3 = …

10. 74 + 6 = …

22 24 23 25 26

15 + 23 + 24 + 14 + 23 +

…….. ……… …….. …….. . ………..

Kurangilah bilangan-bilangan dibawah ini !

1. 1 4 - 5 =

2. 23 - 12 =

3. 27 - 18 =

4. 35 - 26 =

5. 46 - 29 =

25 34 37 45 46

35 - 17 - 18 - 29 - 27 -

……….. ……….. ………. ………. …………

Kerjakan soal-soal perkalian di bawah ini!

  1. 2 x 3 = …
  2. 1 x 10 = …
  3. 4 x 3 = …
  4. 5 x 6 = …
  5. 8 x 7 = …

Penafsiran

Anak sudah mampu menyelesaikan soal operasi hitung penjumlahan dengan hasil di bawah 10. tapi anak masih kesulitan dalam penjumlahan dengan teknik menyimpan, pengurangan, perkalian, dan pembagian. Anak masih belum paham dengan simbol .Jadi kebutuhan belajarnya adalah membutuhkan materi dasar penjumlahan dengan teknik menyimpan, pengurangan, perkalian, dan pembagian, serta konsep dasar simbol .
INFORMASI PELAYANAN PENDIDIKAN
BAGI ANAK TUNAGRAHITA

APAKAH TUNAGRAHITA ITU?

APAKAH PEMAHAAN YANG KELIRU TENTANG TUNAGRAHITA?

No No. PANDANGAN YANG SALAH (MITOS) KENYATAAN YANG ADA (FAKTA)
1. Anak tunagrahita memiliki keterbatasan intelektual seumur hidup. Fungsi intelektual tidak statis. Khususnya bagi anak dengan perkembangan kemampuan yang ringan dan sedang, perintah atau tugas yang terus menerus dapat membuat perubahan yang besar untuk dikemudian hari.
2. Anak tunagrahita hanya dapat mempelajari hal-hal tertentu saja. Belajar dan berkembang dapat terjadi seumur hidup bagi semua orang. Jadi siapapun dapat mempelajari sesuatu, begitu juga dengan anak tunagrahita.
3. Anak tunagrahita secara fisik kelihatan berbeda dengan anak-anak lain. Kelompok tertentu, termasuk beberapa dari Down syndrom, memiliki kelainan fisik dibanding teman-temannya, tetapi mayoritas dari anak tunagrahita terutama yang tergolong ringan, terlihat sama seperti yang lainnya.
4. Sebagian besar anak dengan keterbelakangan perkembangan sudah teridentifikasi pada saat bayi. Dari kebanyakan kasus banyak anak tunagrahita terdeteksi setelah masuk sekolah.
5. Tidak mungkin menggabungkan anak tunagrahita dalam satu lingkungan belajar dengan anak reguler. Siswa/i dengan masalah intelektual selalu belajar lebih keras dan belajar lebih baik jika mereka berintegrasi dengan siswa reguler.
6. Dari segi tahapan, pekembangan tunagrahita sangat berbeda pada tingkat pemahamannya dibanding dengan “orang normal”. Mereka berkembang pada jenjang yang sama, tetapi tak jarang lebih lambat.
7 Hasil tes tunagrahita biasanya mempunyai kemampuan paling tidak pada garis batas antara IQ rata-rata dan IQ dibawah rata-rata (borderline), dan tentu kemampuan adaptifnya juga dibawah normal. Tes IQ mungkin bisa dijadikan indikator dari kemampuan mental seseorang. Kemampuan adaptif seseorang tidak selamanya tercermin pada hasil tes IQ. Latihan, pengalaman, motivasi, dan lingkungan sosial sangat besar pengaruhnya pada kemampuan adaptif seseorang.
8 Siswa-siswi Down Syndrome menyenangkan dan penurut. Banyak penyandang Down Syndrome menyenangkan dan penurut, tetapi seperti orang kebanyakan baik dengan kelainan atau tanpa kelainan, mereka juga mengalami stres dan bereaksi karena suatu penyebab.
9 Seseorang anak yang telah ter- diagnosa tunagrahita tingkat tertentu, tidak akan berubah selama hidupnya Tingkat fungsi mental mungkin saja dapat berubah terutama pada anak tunagrahita yang tergolong ringan.


PERISTILAHAN DAN BATASAN-BATASAN TUNAGRAHITA

Peristilahan Tunagrahita(B3PTKSM, p. 19)

  • Tunagrahita merupakan kata lain dari Retardasi Mental (mental retardation)
    Tuna berarti merugi.
    Grahita berarti pikiran.
  • Retardasi Mental (Mental Retardation/Mentally Retarded) berarti terbelakang mental.

Tunagrahita sering disepadankan dengan istilah-istilah, sebagai berikut:

1. Lemah fikiran ( feeble-minded);
2. Terbelakang mental (Mentally Retarded);
3. Bodoh atau dungu (Idiot);
4. Pandir (Imbecile);
5. Tolol (moron);
6. Oligofrenia (Oligophrenia);
7. Mampu Didik (Educable);
8. Mampu Latih (Trainable);
9. Ketergantungan penuh (Totally Dependent) atau Butuh Rawat;
10. Mental Subnormal;
11. Defisit Mental;
12. Defisit Kognitif;
13. Cacat Mental;
14. Defisiensi Mental;
15. Gangguan Intelektual

APAKAH TUNAGRAHITA ITU?

American Asociation on Mental Deficiency/AAMD dalam B3PTKSM, (p. 20), mendefinisian Tunagrahita sebagai kelainan:

  1. yang meliputi fungsi intelektual umum di bawah rata-rata (Sub-average), yaitu IQ 84 ke bawah berdasarkan tes;
  2. yang muncul sebelum usia 16 tahun;
  3. yang menunjukkan hambatan dalam perilaku adaptif.

Sedangkan pengertian Tunagrahita menurut Japan League for Mentally Retarded (1992: p.22) dalam B3PTKSM (p. 20-22) sebagai berikut:

  1. Fungsi intelektualnya lamban, yaitu IQ 70 kebawah berdasarkan tes inteligensi baku.
  2. Kekurangan dalam perilaku adaptif.
  3. Terjadi pada masa perkembangan, yaitu anatara masa konsepsi hingga usia 18 tahun.

BERAPA JUMLAH PENYANDANG TUNAGRAHITA
DI INDONESIA?

Dilihat dari kurva normal, anak yang mengalami tunagrahita adalah mereka yang mengalami penyimpangan 2 (dua) standar deviasi, yaitu: mereka yang ber IQ 70 ke bawah menurut skala Wechsler, sedangkan mereka yang ber IQ antara 71 – 85 termasuk runagrahita borderline (Brown) et. Al., 1996).

Pendapat lain mengatakan, bahwa anak tunagrahita adalah anak yang memiliki IQ 70 ke bawah. Hallahan, 1988, mengestimasikan jumlah penyandang tunagrahita adalah 2,3 %. Namun pada tahun 1984, Annual Report to Congress menyebutkan 1,92 % anak usia sekolah menyandang tunagrahita dengan perbandingan laki-laki 60% dan perempuan 40% atau 3 : 2.

Pada Data Pokok Sekolah Luar Biasa (p.11, 2003), dilihat dari kelopok usia sekolah, jumlah penduduk di Indonesia yang menyandang kelainan adalah 48.100.548 orang, jadi estimasi jumlah penduduk di Indonesia yang menyandang tunagrahita adalah 2 % X 48.100.548 orang = 962.011 orang.

APAKAH ANAK TUNAGRAHITA MEMPUNYAI KLASIFIKASI?

Pengklasifikasian/penggolongan Anak Tunagrahita untuk keperluan pembelajaran menurut American Association on Mental Retardation dalam Special Education in Ontario Schools (p. 100) sebagai berikut:

1. EDUCABLE
Anak pada kelompok ini masih mempunyai kemampuan dalam akademik setara dengan anak reguler pada kelas 5 Sekolah dasar.

2. TRAINABLE
Mempunyai kemampuan dalam mengurus diri sendiri, pertahanan diri, dan penyesuaian sosial. Sangat terbatas kemampuanya untuk mendapat pendidikan secara kademik.

3. CUSTODIAL
Dengan pemberian latihan yang terus menerus dan khusus, dapat melatih anak tentang dasar-dasar cara menolong diri sendiri dan kemampuan yang bersifat komunikatif. Hal ini biasanya memerlukan pengawasan dan dukungan yang terus menerus.

Sedangkan penggolongan Tunagrahita untuk Keperluan Pembelajaran menurut B3PTKSM (p. 26) sebagai berikut:

  1. Taraf perbatasan (borderline) dalam pendidikan disebut sebagai lamban belajar (slow learner) dengan IQ 70 – 85.
  2. Tunagrahita mampu didik (educable mentally retarded) dengan IQ 50 – 75 atau 75.
  3. Tunagrahit mampu latih (trainable mentally retarded) dengan IQ 30 – 50 atau IQ 35 – 55.
  4. Tunagrahita butuh rawat (dependent or profoundly mentally retarded) dengan IQ dibawah 25 atau 30.

Penggolongan Tunagrahita secara Medis-Biologis menurut Roan, 1979, dalam B3PTKSM (p. 25) sebagai berikut:

1. Retardasi mental taraf perbatasan (IQ: 68 – 85).
2. Retardasi mental ringan (IQ: 52 – 67).
3. Retardasi mental sedang (IQ: 36 – 51).
4. Retardasi mental berat (IQ: 20 – 35).
5. Retardasi mental sangat berat (IQ: kurang dari 20); dan
6. Retardasi mental tak tergolongkan.

Adapun penggolongan Tunagrahita secara Sosial-Psikogis terbagi 2 (dua) kriteria yaitu: psikometrik dan perilaku adaptif.

Ada 4 (empat) taraf Tunagrahita berdasarkan kriteria psikometrik menurut skala inteligensi Wechsler (Kirk dan Gallagher, 1979, dalam B3PTKSM, p. 26), yaitu:

  1. Retardasi mental ringan (mild mental retardation) dengan IQ 55 – 69.
  2. Retardasi mental sedang (moderate mental retardation) dengan IQ 40 –54.
  3. Retardasi mental berat (severe mental tetardation) dengan IQ: 20 – 39.
  4. Retardasi mental sangat berat (profound mental retardation) dengan IQ 20 kebawah.

Penggolongan anak Tunagrahita menurut kriteria perilaku adaptif tidak berdasarkan taraf inteligensi, tetapi berdasarkan kematangan sosial. Hal ini juga mempunyai 4 (empat) taraf, yaitu:

  1. Ringan;
  2. Sedang;
  3. Berat; dan
  4. Sangat Berat.

Sedangkan secara klinis, Tunagrahita dapat digolongkan atas dasar tipe atau ciri-ciri jasmaniah secara berikut:

  1. Sindroma Down/mongoloid; dengan ciri-ciri wajah khas mongol, mata sipit dan miring, lidah dan bibir tebal dan suka menjulur, jari kaki melebar, kaki dan tangan pendek, kulit kering, tebal, kasar dan keriput, dan susunan geligi kurang baik.
  2. Hydrocephalus (kepala besar berisi cairan); dengan ciri kepala besar, raut muka kecil, tengkorak sering menjadi besar.
  3. Microcephalus dan Makrocephalus; dengan ciri-ciri ukuran kepala tidak proporsional (terlalu kecil atau terlalu besar).

APAKAH PENYEBAB TUNAGRAHITA?

Tunagrahita dapat disebabkan oleh beberapa faktor:

  1. Genetik.
    a. Kerusakan/Kelainan Biokimiawi.
    b. Abnormalitas Kromosomal (chromosomal Abnormalities).
    c. Anak tunagrahita yang lahir disebabkan oleh faktor ini pada umumnya adalah Sindroma Down atau Sindroma mongol (mongolism) dengan IQ antar 20 – 60, dan rata-rata mereka memliki IQ 30 – 50.
  2. Pada masa sebelum kelahiran (pre-natal).
    a. Infeksi Rubella (Cacar)
    b. Faktor Rhesus (Rh)
  3. Pada saat kelahiran (perinatal)
    Retardasi mental/tunagraita yang disebabkan olek kejadian yang terjadi pada saat kelahiran adalah luka-luka pada saat kelahiran, sesak nafas (asphyxia), dan lahir rematur.
  4. Pada saat setelah lahir (post-natal)
    Penyakit-penyakit akibat infeksi misalnya: Meningitis (peradangan pada selaput otak) dan problema nutrisi yaitu kekurangan gizi misalnya: kekurangan protein yang diderita bayi dan awal masa kanak-kanak dapat menyebabkan tunagrahita.
  5. Faktor sosio-kultural.
    Sosio kultural atau sosial budaya lingkungan dapat mempengaruhi perkembangan intelektual manusia.
  6. Gangguan Metabolisme/Nutrisi.
    a. Phenylketonuria. Gangguan pada metabolisme asam amino, yaitu gangguan pada enzym Phenylketonuria.
    b. Gargoylisme. Gangguan metabolisme saccharide dalam hati, limpa kecil, dan otak.
    c. Cretinisme. Gangguan pada hormon tiroid yang dikenal karena defisiensi yodium.

Secara umum, Grossman et al, 1973, dalam B3PTKSM (p. 24) menyatakan penyebab tunagrahita akibat dari:

1. infeksi dan/atau intoxikasi,
2. rudapaksa dan/atau sebab fisk lain,
3. gangguan metabolisma, pertumbuhan atau gizi (nutrisi),
4. penyakit otak yang nyata (kondisi setelah lahir/post-natal),
5. akibat penyakit atau pengaruh sebelum lahir (pre-natal) yang tidak diketahui,
6. akibat kelainan kromosomal,
7. gangguan waktu kehamilan (gestational disorders),
8. gangguan pasca-psikiatrik/gangguan jiwa berat (post-psychiatrik disorders),
9. pengaruh-pengaruh lingkungan, dan
10. kondisi-kondisi lain yang tak tergolongkan.

BAGAIMANAKAH USAHA PENCEGAHANNYA?

1. Diagnostik prenatal
2. Imunisasi
3. Tes Darah
4. Pemeliharaan Kesehatan
5. Sanitasi Lingkungan
6. Penyuluhan Genetik
7. Tindakan Operasi
8. Program Keluarga Berencana
9. Intervensi Dini.

BAGAIMANAKAH KARAKTERISTIK ANAK TUNAGRAHITA?

Karakteristik anak tunagrahita menurut Brown et al, 1991; Wolery & Haring, 1994 pada Exceptional Children, fifth edition, p.485-486, 1996 menyatakan:

  1. Lamban dalam mempelajari hal-hal yang baru, mempunyai kesulitan dalam mempelajari pengetahuan abstrak atau yang berkaitan, dan selalu cepat lupa apa yang dia pelajari tanpa latihan yang terus menerus.
  2. Kesulitan dalam menggeneralisasi dan mempelajari hal-hal yang baru.
  3. Kemampuan bicaranya sangat kurang bagi anak tunagrahita berat.
  4. Cacat fisik dan perkembangan gerak. Kebanyakan anak denga tunagrahita berat mempunyai ketebatasab dalam gerak fisik, ada yang tidak dapat berjalan, tidak dapat berdiri atau bangun tanpa bantuan. Mereka lambat dalam mengerjakan tugas-tugas yang sangatsederhana, sulit menjangkau sesuatu , dan mendongakkan kepala.
  5. Kurang dalam kemampuan menolong diri sendiri. Sebagian dari anak tunagrahita berat sangat sulit untuk mengurus diri sendiri, seperti: berpakaian, makan, dan mengurus kebersihan diri. Mereka selalu memerlukan latihan khusus untuk mempelajari kemampuan dasar.
  6. Tingkah laku dan interaksi yang tidak lazim. Anak tunagrahta ringan dapat bermain bersama dengan anak reguler, tetapi anak yang mempunyai tunagrahita berat tidak meakukan hal tersebut. Hal itu mungkin disebabkan kesulitan bagi anak tunagrahita dalam memberikan perhatian terhadap lawan main.
  7. Tingkah laku kurang wajar yang terus menerus. Banyak anak tunagrahita berat bertingkah laku tanpa tujuan yang jelas. Kegiatan mereka seperti ritual, misalnya: memutar-mutar jari di depan wajahnya dan melakukan hal-hal yang membahayakan diri sendiri, misalnya: menggigit diri sendiri, membentur-beturkan kepala, dll.

BAGAIMANA IMPLIKASI PENDIDIKAN BAGI ANAK TUNAGRAHITA?

Pendekatan yang dapat diberikan kepada anak tunagrahita adalah:

1. Occuppasional Therapy (Terapi Gerak)
Terapi ini diberikan kepada anak tunagrahita untuk melatih gerak funsional anggota tubuh (gerak kasar dan halus).

2. Play therapy (Terapi bermain)
Terapi yang diberikan kepada anak tunagrahita dengan cara bermain, misalnya: memberikan pelajaran tentang hitungan, anak diajarkan dengan cara sosiodrama, bermain jual-beli.

3. Activity Daily Living (ADL) atau Kemampuan Merawat Diri
Untuk memandirikan anak tunagrahita, mereka harus diberikan pengetahuan dan keterampilan tentang kegiatan kehidupan sehari-hari (ADL) agar mereka dapat merawat diri sendiri tanpa bantuan orang lain dan tidak tergantung kepada orang lain.

4. Life Skill (Keterampilan hidup)
Anak yang memerlukan layanan khusus, terutama anak dengan IQ di bawah rata-rata biasanya tidak diharapkan bekerja sebagai administrator. Bagi anak tunagrahita yang memiliki IQ dibawah rata-rata, mereka juga diharapkan untuk dapat hidup mandiri. Oleh karena itu, untuk bekal hidup, mereka diberikan pendidikan keterampilan. Dengan keterampilan yang dimilikinya mereka diharapkan dapat hidup di lingkungan keluarga dan masyarakat serta dapat bersaing di dunia industri dan usaha.

5. Vocational Therapy (Terapi Bekerja)
Selain diberikan latihan keterampilan. Anak tunagrahita juga diberikan latihan kerja. Dengan bekal keterampilan yang telah dimilikinya, anak tunagrahita diharapkan dapat bekerja.

BAGAIMANA MODEL PELAYANAN PENDIDIKAN
UNTUK ANAK TUNAGRAHITA ?

Pelayanan pendidikan bagi anak tunagrahita/retadasi mental dapat diberikan pada:

1. Kelas Transisi.
Kelas ini diperuntukkan bagi anak yang memerlukan layanan khusus termasuk anak tunagrahita. Kelas tansisi sedapat mungkin berada disekolah regler, sehingga pada saat tertentu anak dapat bersosialisasi dengan anak lain. Kelas transisi merupakan kelas persiapan dan pengenalan pengajaran dengan acuan kurikulum SD dengan modifikasi sesuai kebutuhan anak.

2. Sekolah Khusus (Sekolah Luar Biasa bagian C dan C1/SLB-C, C1).
Layanan pendidikan untuk anak tunagrahita model ini diberikan pada Sekolah Luar Biasa. Dalam satu kelas maksimal 10 anak dengan pembimbing/pengajar guru khusus dan teman sekelas yang dianggap sama keampuannya (tunagrahita). Kegiatan belajar mengajar sepanjang hari penuh di kelas khusus. Untuk anak tunagrahita ringan dapat bersekolah di SLB-C, sedangkan anak tunagrahita sedang dapat bersekolah di SLB-C1

3. Pendidikan Terpadu.
Layanan pendidikan pada model ini diselenggarakan di sekolah reguler. Anak tunagrahita belajar bersama-sama dengan anak reguler di kelas yang sama dengan bimbingan guru reguler. Untuk matapelajaran tertentu, jika anak mempunyai kesulitan, anak tunagrahita akan mendapat bimbingan/remedial dari Guru Pembimbing Khusus (GPK) dari SLB terdekat, pada ruang khusus atau ruang sumber. Biasanya anak yang belajar di sekolah terpadu adalah anak yang tergolong tunagrahita ringan, yang termasuk kedalam kategori borderline yang biasanya mempunyai kesulitan-kesulitan dalam belajar (Learning Difficulties) atau disebut dengan lamban belajar (Slow Learner).

4. Program Sekolah di Rumah.
Progam ini diperuntukkan bagi anak tunagrahita yang tidak mampu mengkuti pendidikan di sekolah khusus karena keterbatasannya, misalnya: sakit. Proram dilaksanakan di rumah dengan cara mendatangkan guru PLB (GPK) atau terapis. Hal ini dilaksanakan atas kerjasama antara orangtua, sekolah, dan masyarakat.

5. Pendidikan Inklusif.
Sejalan dengan perkembangan layaan pendidikan untuk anak berkebutuhan khusus, terdapat kecenderungan baru yaitu model Pendidikan Inklusi. Model ini menekankan pada keterpaduan penuh, menghilangkan labelisasi anak dengan prinsip “Education for All”. Layanan pendidikan inklusi diselenggarakan pada sekolah reguler. Anak tunagrahita belajar bersama-sama dengan anak reguler, pada kelas dan guru/pembimbing yang sama. Pada kelas inklusi, siswa dibimbing oleh 2 (dua) oarang guru, satu guru reguler dan satu lagu guru khusus. Guna guru khusus untuk memberikan bantuan kepada siswa tunagrahita jika anak tersenut mempunyai kesulitan di dalam kelas. Semua anak diberlakukan dan mempunyai hak serta kewajiban yang sama. Tapi saat ini pelayanan pendidikan inklusi masih dalam tahap rintisan.

6. Panti (Griya) Rehabilitasi.
Panti ini diperuntukkan bagi anak tunagrahita pada tingkat berat, yang mempunyai kemampuan pada tingkat sangat rendah, dan pada umumnya memiliki kelainan ganda seperti penglihatan, pendengaran, atau motorik. Program di panti lebih terfokus pada perawatan. Pengembangan dalam pati ini terbatas dala hal:
1. Pengenalan diri
2. Sensori motor dan persepsi
3. Motorik kasar dan ambulasi (pindak dari satu tempat ke tempat lain)
4. Kemampuan berbahasa dan komunikasi
5. Bina diri dan kemampuan sosial.





Tidak ada komentar:

Posting Komentar