Rabu, 06 Mei 2009

Kontroversi Pendidik dan Tnaga Kependidikan

Profesi pendidik – khususnya guru dan dosen – menjadi sorotan menyongsong sertifikasi. Sertifikasi merupakan keharusan bagi pendidik untuk mengetahui kecakapan, tingkat mutu dan profesionalitas sehingga akan dihasilkan pendidik yang berkualitas. Dan pendidik yang berkualitas merupakan salah satu indikator dalam penjaminan mutu pendidikan.
Pendidik ibarat sopir yang bertugas mengangkut dan mengantar penumpang sampai kepada tujuan yang diharapkan yaitu mencerdaskan kehidupan bangsa. Sebagai seorang sopir sudah sewajarnya membutuhkan SIM (Surat Ijin Mengemudi) yang merupakan syarat wajib profesi ini.
Para penumpang tentu akan merasa tenang dan nyaman jika sopir telah memenuhi segala persyaratan yang telah diujikan. Tetapi sebaliknya jika sopir belum dan/ atau tidak mempunyai SIM apalagi sama sekali tidak lihai mengemudi maka penumpangnya akan cemas dan bingung akan diapakan dan dikemanakan.
Di masa mendatang pendidik diwajibkan mempunyai ”SIM” (Surat Ijin Mengajar) yang hanya dapat dimiliki setelah lulus sertifikasi. Diharapkan dengan sertifikasi pendidik mampu mengantarkan penumpang sampai kepada tujuan dengan selamat dan memuaskan.

Peran Tenaga Kependidikan
Jika pendidik yang diibaratkan sebagai sopir yang telah mempunyai keahlian menyetir lantas apakah kemudian perjalanan (pendidikan) akan begitu saja terjamin keselamatannya? Ternyata tidak. Setidaknya kita harus memperhatikan kondisi mobil juga. Mulai dari hidup-tidaknya lampu sorot, berfungsi-tidaknya rem, bagus-tidaknya kondisi ban dan yang paling penting ketersediaan bahan bakar dan keadaan olinya.
Semua kelengkapan mobil itu yang selanjutnya dianalogikan sebagai tenaga kependidikan. Sopir dan kelengkapan mobil menjadi satu jiwa utuh dalam membawa penumpangnya menjadi lebih aman dan terjamin. Tenaga kependidikan sebagai penunjang inilah yang perlu menjadi perhatian sebagaimana yang disebutkan dalam Undang-undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistim Pendidikan Nasional pasal 1 bahwa (peran) tenaga kependidikan adalah penunjang penyelenggaraan pendidikan.
Adilkah jika selama ini penilaian keberhasian pendidikan hanya diukur dari faktor pendidik (guru dan dosen) saja? Menurut hemat penulis, penilaian kesuksesan pendidikan seharusnya dilihat dari berbagai sudut pandang. Mulai dari pengaturan jadwal pembelajaran yang teratur, kelengkapan sarana-prasarana sekolah yang memadai dan memenuhi standar, kebersihan dan kenyamanan lingkungan sekolah yang selalu terjaga, manajemen sekolah yang tegas serta supervisi yang ketat. Semua faktor itu adalah peran strategis tenaga kependidikan, apakah itu staf TU, pustakawan, laboran, pesuruh/ penjaga sekolah, pengawas sekolah dan kepala sekolah.
Tetapi sayangnya saat ini tenaga kependidikan belum diperhatikan sebagaimana pendidik. Suatu keprihatinan jika keduanya yang merupakan tenaga profesional dan juga berperan dalam peningkatan mutu pendidikan tidak disamakan. Pendidik – khususnya guru dan dosen – terkesan superior dan ”dimanjakan” dengan UU No. 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen. Sedangkan tenaga kependidikan sampai saat ini pun belum mempunyai payung hukum yang menangani dan mengatur mereka secara jelas.
Disadari peningkatan mutu pendidikan masih memprioritaskan guru dan dosen sebagai kemudi pendidikan. Bisa jadi pemerintah masih menganggap peran pendidik yang dominan sebagai ujung tombak pendidikan. Tetapi apakah hanya dengan mengandalkan guru dan dosen saja pendidikan akan segera bermutu? Ibarat kesatuan sopir dan kelengkapan mobil tadi. Jika sopirnya lihai tetapi remnya blong, maka keselamatan tidak akan terjamin. Kalaupun sopirnya lihai tetapi lampu sorotnya mati, maka tidak akan bisa berjalan dengan tenang di malam hari.
Peningkatan mutu pendidikan seharusnya tidak boleh ”menganak-emaskan” salah satu profesi. Karena profesi yang lain juga mempunyai peran untuk ikut andil menuju terciptanya pendidikan yang bermutu. Dan sampai saat ini peran kedua profesi tersebut masih menjadi kontroversi.

Faktor Materi
Undang-Undang tentang Sistim Pendidikan Nasional pasal 40 ayat 1 dengan jelas menyebutkan bahwa keduanya (pendidik dan tenaga kependidikan) berhak memperoleh penghasilan dan jaminan kesejahteraan sosial yang pantas dan memadai. Tetapi dilihat secara materi, kelak pendidik (guru dan dosen) mempunyai gaji 2 kali dan/ atau bahkan 3 kali lebih besar dari gaji tenaga kependidikan. Demikian setidaknya amanat UU tentang guru dan dosen. Sedangkan gaji tenaga kependidikan berkutat pada nominal tunjangan yang kurang sebanding bila dibandingkan dengan tunjangan pendidik.

Faktor penghargaan secara materi inilah yang akhirnya mempengaruhi barometer kinerja tenaga kependidikan menjadi kurang bergairah. Tanpa adanya perhatian, perbaikan dan penghargaan dikhawatirkan akan muncul ketidakprofesionalan tenaga kependidikan. Hal ini diperparah oleh standar profesi dan kesejahteraan tenaga kependidikan yang selama ini hanya diatur dalam regulasi internal lembaga teknis yang menaunginya. (Kompas, 28 September 2006).

Setengah Hati
Pemerintah rupanya masih setengah hati melihat peran tenaga kependidikan. Kondisi ini dapat dilihat dari Keputusan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia No. 087/ U/ 2002 tentang Akreditasi Sekolah yang perlu ditindaklanjuti secara seksama. Dalam pasal 6 kepmen tersebut menyebutkan bahwa persyaratan sekolah yang diakreditasi harus memiliki sarana dan prasarana pendidikan (ayat c) dan tenaga kependidikan (ayat d).
Tetapi anehnya syarat itu hanya menjadi lelucon saja. Banyak sekolah yang memposisikan sarana dan prasarana (baca : perpustakaan, laboratorium) apa adanya. Bahkan tanpa menempatkan pustakawan ataupun laboran di dalamnya. Walhasil guru menjadi korban untuk ditugaskan mengurusnya. Tidak sedikit kemudian muncul ”perpustakaan siluman”. Wujud fisik perpustakaan hadir saat akreditasi saja, setelah itu lenyap entah kemana. Termasuk pustakawan di dalamnya.
Begitu juga nasib laboratorium. Banyak sekolah belum mempunyai laboran yang fokus mengurus laboratorium. Laboratorium hanya digunakan saat praktek mata pelajaran. Jarang sekali laboratorium digunakan untuk kepentingan ilmiah yang sifatnya penelitian mandiri oleh sivitas akademika. Dan sekali lagi peran laboran cukup hanya digantikan oleh seorang guru mata pelajaran.
Pustakawan dan laboran hanyalah sebagian contoh tenaga kependidikan yang saat ini masih menerima nasibnya dengan tidak jelas dan terkesan ”terpinggirkan”. Selama ini keberadaan mereka sebenarnya ada, tetapi terkesan tidak ada. Kalau kasus seperti ini masih saja terjadi, apakah pantas dinilai bahwa pendidikan telah bermutu?

Kesimpulan
Kegiatan belajar-mengajar tanpa peran tenaga kependidikan akan mengalami gangguan. Karenanya tenaga kependidikan perlu ”pengakuan” dan penghargaan atas kinerjanya. Tenaga kependidikan – sebagaimana pendidik – juga perlu kejelasan hukum yang mengatur mereka. Tenaga kependidikan tidak akan berfungsi selama penghargaan tidak sesuai dengan usaha yang dilakukan.
Jika kontroversi antara pendidik dan tenaga kependidikan tidak segera dituntaskan maka permasalahan pendidikan tidak akan terselesaikan. Bahkan akan menciptakan kesenjangan antara keduanya. Akhirnya menghambat percepatan peningkatan mutu pendidikan.

smpn29.wordpress.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar