Jumat, 22 Mei 2009

Memprihatinkan, Aktivitas Belajar Mengajar 'Senin-Kamis'


Melirik SD Negeri 18 Kampung Bunut Tayan Hilir

PRIHATIN: Beginilah kondisi salah satu ruang kelas dari beberapa lokal yang ada di SDN 18 Kampung Bunut.  FOTO ANDRI JANUARDI/PONTIANAK POST

Sanggau,- Sulit untuk mempercayai ada sebuah sekolah yang melaksanakan pendidikan berlangsung 'Senin-Kamis', dalam artian dilaksanakan kapan sempat dan kapan mau dilangsungkan proses belajar mengajar tersebut. Namun kenyataannya, hal itu nyata dan dapat dijumpai di Kampung Bunut Kecamatan Tayan Hilir.

Laporan ANDRI JANUARDI, Sanggau

DI Kampung Bunut, berdiri sebuah sekolah negeri tingkat dasar yakni SD Negeri 18. Sepintas lalu tampaknya bangunan sekolah yang terdiri dari beberapa lokal tersebut, tidak tampak seperti bangunan yang memprihatinkan. Bangunannya dari kejauhan tampak kokoh, dengan ciri khas sekolah-sekolah di pedesaan Namun saat wartawan Pontianak Post bertandang dan melihat-lihat ke dalamnya, barulah tampak potret sekolah yang begitu memprihatinkan itu. Ada beberapa lokal yang nyaris tidak memiliki atap, sementara bagian yang lain tidak memiliki dek. Sekolah ini memang merupakan potret sekolah pedesaan pada umumnya, dibangun dengan dinding papan dan beratapkan seng.

Ada beberapa bagian yang mulai nampak keropos, seperti beberapa lantai yang dibiarkan jebol begitu saja, serta atap yang ditambal sulam.

Ketika melihat ke salah satu lokal sekolah yang luasnya mungkin hanya berkisar 3 x 5 meter, sulit untuk menemukan ruangan tersebut menimbulkan kenyamanan ketika belajar di dalamnya. Bangku-bangku yang ada terkesan dibuat seadanya, ditambah suasana pengab karena himpitan ruangan untuk kelas yang refresentatif begitu sempit.

Bagaimana dengan kegiatan belajar mengajar di sekolah ini? Menurut salah satu penjaga sekolah serta juru kunci sekolah, yang sayangnya tidak mau menyebutkan namanya mengatakan, kegiatan belajar mengajar seperti 'hidup segan mati tak mau'. Jika ada gurunya, maka ada kegiatan tersebut, namun jika guru tidak datang, maka bisa dipastikan pada hari itu tidak ada aktivitas pada sekolah yang berada di tengah pemukiman penduduk di kampung itu, dan terletak di tepi Sungai Segelam.

"Saya hanya juru kunci dan mengawasi sekolah ini, kalau ada yang mengajar maka saya bukakan, kalau tidak ada ya dibiarkan begini saja," jawabnya. Namun jawaban tersebut merupakan gambaran keputus asaan dengan kondisi sarana untuk menciptakan anak-anak berpendidikan di kampung itu. Beginilah kondisi pendidikan di pedesaan, di mana pendidikan sebetulnya merupakan hak seluruh warga negara, namun dengan fasilitas dan keadaan yang kurang memadai, bagaimana mampu menciptakan generasi muda terpelajar kelak.

Tentunya yang sangat dibutuhkan, kepedulian serta perhatian semua pihak atas sarana pendidikan yang mungkin merupakan wakil dari beberapa sarana pendidikan yang mengalami nasib sama, di beberapa pedesaan di kabupaten ini.**

< Sulit untuk mempercayai ada sebuah sekolah yang melaksanakan pendidikan berlangsung 'Senin-Kamis', dalam artian dilaksanakan kapan sempat dan kapan mau dilangsungkan proses belajar mengajar tersebut. Namun kenyataannya, hal itu nyata dan dapat dijumpai di Kampung Bunut Kecamatan Tayan Hilir.

Laporan ANDRI JANUARDI, Sanggau

DI Kampung Bunut, berdiri sebuah sekolah negeri tingkat dasar yakni SD Negeri 18. Sepintas lalu tampaknya bangunan sekolah yang terdiri dari beberapa lokal tersebut, tidak tampak seperti bangunan yang memprihatinkan. Bangunannya dari kejauhan tampak kokoh, dengan ciri khas sekolah-sekolah di pedesaan Namun saat wartawan Pontianak Post bertandang dan melihat-lihat ke dalamnya, barulah tampak potret sekolah yang begitu memprihatinkan itu. Ada beberapa lokal yang nyaris tidak memiliki atap, sementara bagian yang lain tidak memiliki dek. Sekolah ini memang merupakan potret sekolah pedesaan pada umumnya, dibangun dengan dinding papan dan beratapkan seng.

Ada beberapa bagian yang mulai nampak keropos, seperti beberapa lantai yang dibiarkan jebol begitu saja, serta atap yang ditambal sulam.

Ketika melihat ke salah satu lokal sekolah yang luasnya mungkin hanya berkisar 3 x 5 meter, sulit untuk menemukan ruangan tersebut menimbulkan kenyamanan ketika belajar di dalamnya. Bangku-bangku yang ada terkesan dibuat seadanya, ditambah suasana pengab karena himpitan ruangan untuk kelas yang refresentatif begitu sempit.

Bagaimana dengan kegiatan belajar mengajar di sekolah ini? Menurut salah satu penjaga sekolah serta juru kunci sekolah, yang sayangnya tidak mau menyebutkan namanya mengatakan, kegiatan belajar mengajar seperti 'hidup segan mati tak mau'. Jika ada gurunya, maka ada kegiatan tersebut, namun jika guru tidak datang, maka bisa dipastikan pada hari itu tidak ada aktivitas pada sekolah yang berada di tengah pemukiman penduduk di kampung itu, dan terletak di tepi Sungai Segelam.

"Saya hanya juru kunci dan mengawasi sekolah ini, kalau ada yang mengajar maka saya bukakan, kalau tidak ada ya dibiarkan begini saja," jawabnya. Namun jawaban tersebut merupakan gambaran keputus asaan dengan kondisi sarana untuk menciptakan anak-anak berpendidikan di kampung itu. Beginilah kondisi pendidikan di pedesaan, di mana pendidikan sebetulnya merupakan hak seluruh warga negara, namun dengan fasilitas dan keadaan yang kurang memadai, bagaimana mampu menciptakan generasi muda terpelajar kelak.

Tentunya yang sangat dibutuhkan, kepedulian serta perhatian semua pihak atas sarana pendidikan yang mungkin merupakan wakil dari beberapa sarana pendidikan yang mengalami nasib sama, di beberapa pedesaan di kabupaten ini.

arsip.pontianakpost.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar