Rabu, 06 Mei 2009

Sekolah Murah Dari Lereng Merbabu


Aug 22, '08 6:17 AM

for everyone

Tak ada seragam. Tak Ada kelas. Tak ada kurikulum. Siswa-siswi menguasai berbagai keterampilan mulai dari kemampuan berbahasa Inggris, membuat film hingga menulis novel.

Sang Surya belum sepenuhnya tampakkan diri, saat sekelompok anak usia belasan tahun, sebagian besar memakai seragam biru putih, dari desa Kalibening menuju sebuah bangunan berlantai 3 yang masih dalam tahap pembangunan. Mereka menuju lantai dasar bangunan tersebut menuju sebuah ruangan mirip aula, berukuran kurang lebih lima kali sepuluh meter yang di pinggirnya tertata beberapa unit komputer. Di ruangan itu ada juga satu set drum, buku yang dipajang dan peralatan lainnya.

Nampaknya mereka bukanlah yang pertama kali datang. Di ruangan tersebut sudah ada beberapa orang anak yang lain. Diantara mereka ada yang memakai seragam ada yang tidak. Lukman, empatbelas tahun, salah satu dari anak yang berada di ruangan itu. Dengan memakai sarung dan peci khas pesantren ia asyik menjelajah dunia maya. Tampak ia sedang mengutak-atik sebuah situs pertemanan di dunia maya. Sementara anak-anak yang lain juga asyik dengan komputernya masing-masing. Karena jumlah unit komputernya masih terbatas yang tidak kebagian berdiri dan ada yang duduk di samping rekan mereka menikmati bersama-sama.

Seperti itulah suasana sehari-hari di sekolah alternatif Qoryah Thayyibah. Sekolah berbasis komunitas yang terletak lereng gunung Merbabu tepatnya di desa Kalibening, Kota Salatiga. Kurang lebih 3 kilometer dari terminal Tingkir Salatiga.

Sekolah alternatif Qoryah Thayyibah didirikan oleh Ahmad Bahruddin, lelaki kelahiran Salatiga empatpuluhtiga tahun yang lalu. Ia merupakan putra dari pendiri pondok pesantren Hidayatul Mubtadiin KH. Abdul Halim. Pondok pesantren ini juga berlokasi di desa kalibening. Sebagai putra tokoh ternama kharisma sang ayah ternyata ada juga pada dirinya maka tak heran jika ia begitu disegani apalagi ia adalah sarjana lulusan STAIN Salatiga.

Sekolah komunitas yang didirikan bulan Juli tahun 2003 lalu oleh Bahruddin terbilang unik. Membandingkannya dengan sekolah formal terdapat perbedaan yang sangat kentara. Di sekolah ini tak ada kewajiban memakai seragam seperti sekolah pada umumnya, jika ada itu dasarnya kesepakatan dari anak-anak. Kelaspun juga tak ada begitu pula dengan guru pengajar. Waktu belajar mereka juga fleksibel, tanpa kurikulum dan peraturan-peraturan seperti sekolah biasa.

Menurut Bahruddin Qoryah Thayyibah bukanlah sekolah tapi lebih ke komunitas belajar. ”Kami lebih suka memaknai pendidikan itu sebagai belajar. ”Belajar”nya itu sebenarnya sehingga anak-anak itu bena-benar menjadi subyek belajar bukan obyek pengajaran. Salah satunya memang melalui lembaga persekolahan,” kata Bahruddin.

Bagi alumni STAIN Salatiga saat ini yang terjadi lembaga persekolahan justru lebih dominan menyelenggarakan pengajaran, bukan pembelajaran. Prakteknya sekolah tidak memfasilitasi proses pembelajaran yang dilakukan oleh peserta didik tapi justru terjebak ke proses pengajaran. ”Maka kami sangat senang dengan pendidikan Non Formal karena itu memang sejak Ki Hajar Dewantoro dulu itu menjadi salah satu pilihan bahwa pendidikan itu ada Formal dan Non Formal,” katanya.

Saat ini ada 138 anak yang belajar di Qoryah Thayyibah. Mereka merupakan siswa dari 6 tingkatan mulai dari setara SMP kelas 1 hingga SMA kelas 3. Untuk SMA oleh para siswa juga sering disebut SMU. SMU yang dimaksud bukanlah Sekolah Menengah Umum tapi Sekolah Menengah Universal.

Sebagai sekolah komunitas siswa Q-Tha sebagian besar berasal dari daerah desa kalibening. Ada juga dari desa sekitar. Namun Bahrudin selalu menghimbau siswa dari luar untuk sekolah di desanya masing-masing karena desa sebelah juga menyelenggarakan komunitas belajar. ”Alhamdulillah kini sudah ada 15 titik di desa sebelah. Ada juga yang bilang ya tempat kami belum ada kami belum bisa menyelenggarakan mungkin tahun depan. Okelah kalau begitu,” kata Bahruddin.

Selain dari desa kalibening dan sekitarnya ada juga siswa yang berasal dari luar kota. Mereka berasal dari berbagai kota seperti Jakarta, temanggung, Yogyakarta, Cilacap dan Cirebon. Latar belakang orang tua mereka juga beragam ada yang jadi pengusaha, dosen, pegawai negeri hingga pedagang. Siswa yang berasal dari luar daerah tinggal di pondok pesantren di desa Kalibening atau ”kos” di rumah orang tua siswa yang asli dari desa ini.

Satu diantaranya adalah Muhamad Fajar, 15 tahun. Ia adalah anak asli Jakarta. Dulu ia pernah sekolah di SMPN 189 Jakarta. Karena tidak betah dan tidak kerasan ia memilih keluar. Awalnya hendak mendaftar ke pesantren namun ternyata sudah pada tutup semua pendaftaran pesantren ia mencari alternatif lain. ”Tak sengaja pas baca koran saya melihat sekolah alternatif Qoryah Thayyibah. Saya kemudian bilang sama bapak. Pak saya mau sekolah di sini. Sudah coba dulu siapa tahu cocok,” kata Fajar. Orang tua Fajar kemudian kemudian menghubungi Bahrudin. Ia diberi masa satu minggu untuk percobaan dan ternyata ia betah. Di sini Fajar belajar banyak hal. Suatu saat ia ingin menjadi seorang sutradara handal.


BERMULA DARI MAHALNYA BIAYA SEKOLAH

Sekolah ini awalnya merupakan bagian dari Paguyuban Petani yang memiliki nama sama yaitu Serikat Paguyuban Petani Qoryah Thayyibah. Salah satu kegiatan adalah mengadakan pendidikan murah bagi warga, meski dulunya hanya berupa kursus dan pelatihan.

Sekolah Alternatif Qoryah Thayyibah didirikan pada bulan Juli tahun 2003. Waktu itu Bahruddin yang hendak menyekolahkan anaknya Mustaghis Hilmy ke SMP terpana melihat biaya sekolah yang kian mahal. Sebenarnya anaknya sudah mendapat tempat di salah satu SMP favorit di Salatiga. Mengeluarkan biaya sekolah anaknya bagi dirinya tak jadi soal namun ia resah ketika mendengar keluh kesah dari tetangga kesulitan mereka mengeluarkan biaya untuk sekolah anak. Berawal dari hal itu ia yang juga sebagai ketua RW mengajak tetangga-tetangga untuk mengadakan pertemuan untuk mendapatkan alternatif penyelesaian.

Dalam rembugan itu ternyata banyak keluh kesah tentang tingginya biaya yang harus mereka keluarkan untuk menyekolahkan anak-anak mereka ke SMP. Dari forum yang ingin mencari solusi mengatasi tingginya biaya akhirnya yang terjadi bukan sekedar mengantisipasi tapi justru keinginan untuk menyelenggarakan pendidikan sendiri. ”Nanti dengan dengan mendirikan sekolah sendiri bisa suka-suka kita. Mahal atau murah ya suka-suka kami. Wong yang mendirikan juga kami sendiri,” kenang Bahruddin.

Waktu itu ada 30 orang yang menghadiri pertemuan pertemuan warga tersebut. Dari mereka yang hadir 12 diantaranya ikut bergabung. ”Jadi lebih banyak yang menolak. Alasanya ya ini ga jelas, masa sekolah kok coba-coba. Sangat masuk akal. Justru yang waras-waras itu yang menolak,” kata Bahruddin.

Kenang Bahruddin selain kesepakatan dalam pertemuan dengan warga hal yang membuat dia mantap membentuk sekolah alternatif Qoryah Thayyibah adalah persetujuan dari anaknya Hilmy. ”Seandainya anak saya tidak mau sekolah ini tidak akan berdiri. Makanya anak saya itulah sejarah dari Qoryah Thayyibah. Karena ia bilang ya. Coba kalau bilang tidak tidak lahir Q-Tha,” katanya.

Bahruddin memahami ide membuat sekolah sendiri memang hal yang aneh. Makanya ia sangat memahami jika ada warga desa yang menolak. Banya warga yang menolak dengan idenya dengan beralasan ”Aku masih bisa menyekolahkan anak di sekolah formal,” ia menirukan ucapan salah satu warga.

Sekolah itu menempati dua ruangan di rumah Bahruddin, yang sebelumnya digunakan untuk Sekretariat Organisasi Tani Qaryah Thayyibah. Jumlah guru yang mengajar sembilan orang, semuanya lulusan Institut Agama Islam Negeri dan sebagian besar di antaranya para aktivis petani. Sekolah itu akhirnya terus berkembang hingga saat ini.

Dengan kesepakatan akhirnya sekolahpun dibentuk. Sekolah itu konsepnya seperti SMP Terbuka dan menginduk pada SMP 10 Salatiga. Awalnya pembelajaran masih konvensional seperti sekolah formal. Ada yang mengajar, dan mereka benar-benar seorang guru. ”Gurunya aktivis-aktivis itu organisasi tani. Mereka tak ada beban. Mengajar kan malah senang,” kata Bahruddin. Sekolah juga dijadwal.

Dibanding sekolah reguler bahkan jam pelajaran di Qoryah Thayyibah lebih banyak. Jika di sekolah reguler 42 jam di Q-Tha hingga 54 jam. Waktu itu dengan jumlah murid 12, gurunya ada 15. Makanya tak mengherankan waktu diuji tanding dengan siswa dari sekolah induk justru mereka menang. ”Pernah diuji tanding mata pelajaran. Kenapa? Anak-anak kan peluangnya lebih banyak. Di saat-saat lagi nunggu angkot anak-anak sini sudah english morning. Kesempatan belajarnya lebih banyak. Makanya saat diuji tanding dengan kakak-kakak sekolah induknya itu menang anak-anak untuk seluruh mata pelajaran,” kata Bahruddin.

Mengenai biaya sekolah juga tidak dipatok berapa semuanya berdasarkan kesepakatan yang tidak memberatkan orang tua siswa. Saat ini menurut Bahruddin masing-masing kelas besarnya belum tentu sama bergantung haisl kesepakatan namun ia menyebutkan rata-rata 10 ribu perbulan. Selain dari uang sumbangan itu sewaktu berdiri sebagai SMP Terbuka mendapat bantuan dari APBD ada juga dari donatur yang seringkali datang ke Q-Tha.

Keberadaan dari sekolah Qoryah Thayyibah bukannya tanpa halangan. Bahruddin bahkan sempat marah ketika ia datang ke provinsi dan disuruh untuk membubarkan sekolahnya. Alasanya karena semestinya jumlah peserta belajar untuk sebuah SMP Terbuka minimal 20, sedangkan di Q -Tha hanya ada 12. Ia diminta untuk gabung saja ke SMP yang ada. Namun Bahrudin tetap pada keyakinannya dan jalan terus. ”Wong penyelenggaraan ini karena persoalan transportasi kok harus dikembalikan kesana. Alasanya karena tidak mampu menjangkau kok dipaksa menjangkau,” kata Bahrudin.

MEMPELAJARI BERBAGAI MACAM ILMU PENGETAHUAN

Untuk menjadi siswa sekolah komunitas Qoryah Thayyibah tak ada persyaratan seperti ketika hendak mendaftar sekolah formal. ”Tidak ada persyaratan ijazah .Tidak punya ijazah sekolah dasar juga tidak apa-apa. Tapi jangan coba-coba kalau daftar dulu ke sekolah lain, meski nilai bagus, kaya, tidak akan diterima di sini. Di sini pendaftaran ditutup sebelum sekolah lain buka pendaftaran,” kata Bahruddin. Hal seperti itu menurutnya lebih untuk menegaskan sekolah di Q-Tha adalah sebuah pilihan bukan karena terpaksa atau malah buangan.

Di Q-Tha untuk siswa kelas 1 hingga kelas 3 secara umum seperti sekolah biasa. Ada pendamping dan mempelajari pelajaran yang seperti sekolah umum. ”Kalau di sekolah formal kan terlalu tertekan. Kalau di sini tidak,” Kata Fajar salah seorang siswa kelas 2 SMP yang pernah sekolah di sebuah SMP di Jakarta.

Kurikulum yang dipakai di Qoryah Thoyyibah adalah KBK. Tapi jangan salah mengartikan dulu, KBK yang dimaksud bukanlah Kurikulum Berbasis Kompetensi namun menurut Bahruddin adalah Kurikulum Berbasis Kebutuhan. Siswa belajar apa yang mereka butuhkan. ”Tidak terbayang kalau anak-anak kecil sudah ingin tahu tentang filsafat. Seperti itu bisa terjadi di sini. Kedokteran kenapa tidak? Apalagi kedokteran itu menjadi penting sekali. Anak ada yang belajar bagaimana mendiagnosis penyakit melalui petak iris, belajar iridiologi misalnya seperti itu. Hal itu bisa terjadi,” kata Bahruddin.

Secara umum seperti sekolah non formal lain mereka belajar secara mandiri. Untuk anak usia SMP masih ada semacam pendamping namun untuk setingkat SMA sudah tidak ada. ”Usia SMA dianggap sudah bisa membedakan mana yang buruk dan mana yang benar,” kata Puji Astusti siswa kelas 1 SMU Q-Tha yang ingin menggeluti bidang olah vokal ini.

Kata Bahruddin di sini metode pembelajarannya seorang guru tak boleh mengarahkan. Yang diperbolehkan hanyalah memberi, menyampaikan ide atau gagasan. ”Karena orang usul itu posisi tertinggi setara. Tetap yang lebih tinggi itu si anak. Yang menentukan itu yang lebih tinggi. Tapi kalau mengarahkan kita sudah memposisikan di tas. Jadi kalau anak-anak tidak mengikuti apa yang kita arahkan gagal kan,” katanya.

TAK ADA SISTEM RANGKING

Berbeda dengan sekolah umum, di Q-Tha tak ada sistem rangking dan nilai yang selama ini sering dijadikan sebagai ukuran capaian belajar siswa. Ujian akhir semester dan ujian tengah semester juga tak ada. Gantinya jika di sekolah umum siswa mendapat rapot disini siswa membuat report. Berbeda dengan rapor, report dibuat oleh masing-masing siswa. Report berisi laporan capaian siswa selama satu semester yang dibuat oleh masing-masing siswa. ” Dalam report itu dicantumkan kami sudah mendapat apa, bisa melakukan apa,” kata Puji Astuti siswa setara kelas 1 SMA Qoryah Thayyibah.

Menurut Bahruddin dulu awalnya Qoryah Thayibah juga menerapkan sistem nilai dan peringkat seperti sekolah-sekolah formal pada umumnya. Namun dalam perkembangannya sistem tersebut menimbulkan persaingan yang tak sehat bahkan ada siswa yang berkelahi gara-gara sebuah persaingan. Kekeluargaanpun menjadi terganggu. Setelah sistem peringkat diganti ternyata hasilnya sangat menggemberikan masalah-masalah diatas tak pernah terjadi lagi.

HASILKAN BERBAGAI KARYA MULAI DARI NOVEL HINGGA GEDUNG

Sudah begitu banyak raihan prestasi yang dicapai oleh siswa-siswi Qoryah thayyibah. Ada berbagai torehan baik di bidang akademik maupun non akademik. Ada berbagai buku, video, karya ilmiah yang dihasilkan bahkan ada yang sudah diterbitkan dan dijual di toko-toko buku. Sebut saja nama Fina Af’idatussofa, siswa kelas 3 SMA Q-Tha yang telah mengeluarkan 8 buah buku.

Tak hanya itu saja jika kita berkunjung ke Qoryah Thayyibah ada sebuah gedung berlantai 3 yang disebut sebagai resource center merupakan hasil desain dari Mustaghis Hilmi siswa kelas 3. Bahkan mereka sedang mengerjakan proyek ambisius menggambar sebagian besar rumah di desa ini untuk dijadikan peta 3 dimensi dengan program Auto Cad. Rencananya nanti diupload ke program google earth. ”kalau sudah berhasil nanti satu-satunya di dunia ya anak-anak ini yang melakukannya,” kata Bahruddin.

Mochamad Fathoni Arief (SALATIGA)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar