Senin, 13 April 2009

Pembiayaan Pendidikan Tinggi

Oleh Ahmad Rafsanjani

Selasa, 21 November 2006

TIDAK ada satu pun tradisi pemikiran yang meminggirkan peran pendidikan. Mulai dari Plato sampai Bill Gates, yang mengklaim pendidikan sebagai agen peradaban dan sumber daya strategis di masa depan. Narasi pendidikan masa kini berkembang semakin kompleks. Domainnya meliputi metode, output, tujuan, falsafah sampai dana untuk pendidikan. Yang terakhir, masalah sumber finansial dalam pendidikan (terutama pendidikan tinggi) menjadi salah satu topik perdebatan utama.

Pendidikan (tinggi) dihakimi mulai bergeser ke arah jasa, bukan lagi hak warga negara yang mesti dipenuhi oleh negara. Sama seperti yang diinginkan oleh penganjur ''komersialisasi'' pendidikan, yang biasanya diwakili dalam konsensus Hongkong Round, dengan menempatkan pendidikan sebagai komponen GATS (General Agreement of Trade Services).

Di Indonesia, kenyataan ini diperkuat ketika subsidi negara untuk pendidikan tinggi mulai dikurangi di tengah kebutuhan pendanaan yang makin tinggi, dan angin otonomi sedang diembuskan, yang kemudian mendesak perguruan tinggi (negeri) seakan berlomba meningkatkan pendapatan.

Salah satu sumber pendapatan adalah dari peserta didik. Imbasnya terasa panjang, dari mahalnya pendidikan sampai dugaan diskriminasi. Mahalnya biaya pendidikan tinggi saat ini seperti fenomena retrospektif, kembali ke masa lalu. Masa ketika terdapat pembedaan antara sekolah rakyat dengan sekolah Belanda, antara sekolah orang miskin dengan sekolah kaum berduit.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar