Rabu, 15 April 2009

Lengkapi dulu sarana dan prasarana

Pukul 14.00 WIB, Sekolah Dasar (SD) Babakan Surabaya 1, 2, dan 3 di Jln. Kiaracondong Belakang, Kota Bandung masih ramai. Sebagian besar murid belajar di kelas, yang lainnya berada di luar menanti jam masuk sekolah yang tinggal 15 menit lagi. Sambil menunggu, mereka bermain di lapangan. Namun, beberapa murid tampak tak sabar, sesekali matanya mengintip ke dalam kelas.

Itulah suasana sehari-hari yang dialami sekolah ini. Sekolah itu nyaris tak pernah sepi karena sepanjang hari ada saja murid yang tengah belajar dan orang tua yang menunggui anaknya di luar gerbang sekolah.

Rupanya sekolah ini melaksanakan kegiatan belajar-mengajar yang panjang, sejak pukul 6.30 WIB hingga 18.00 WIB. Akan tetapi, tentu saja yang mengikutinya bukanlah murid dari satu kelas saja, melainkan dari tiga kelas yang berbeda. Jadi, satu ruang dipakai oleh murid dari tiga sekolah secara bergantian tanpa ada jeda.

Kelas pagi dimulai pukul 6.30-10.15 WIB, kelas siang berlangsung pukul 10.15-4.15 WIB, kelas terakhir pada pukul 14.15-18.00 WIB. Aktivitas belajar seperti itu terpaksa dijalani karena ruang kelas yang dimiliki SD Babakan Surabaya hanyalah 15 ruang. Itu pun tiga ruang tidak terpakai karena atapnya roboh, 11 Maret lalu.

Kejadian itu membuat sekolah ini dikenal karena media massa memberitakan untuk waktu yang lama. Sejak saat itu, sekolah ini tampaknya mengalami "sengsara membawa nikmat" karena para pimpinan daerah segera berbondong-bondong mengunjungi sekolah ini. Perombakan pun banyak dilakukan. Sekolah yang semula berjumlah delapan sekolah kemudian digabung menjadi tiga sekolah saja untuk efisiensi pengelolaan sekolah.

Tidak hanya itu, bangunan sekolah yang sejak 1977 tidak pernah direhab total ini pun rencananya dibuat bertingkat. Padahal, sebelumnya sekolah ini sudah berkali-kali mengajukan perbaikan sekolah, tetapi tidak pernah mendapat tanggapan dari pemerintah.

Bersamaan dengan itu, sejak tahun ajaran 2008/2009 sekolah ini menjadi sekolah gratis di Bandung. "Kami sangat berterima kasih kepada pemerintah karena setelah musibah ini sekolah kami sangat diperhatikan," kata Euis Faridawati, S.Pd., Kepala Sekolah Dasar Babakan Surabaya 2.

**

KENDATI demikian, penyelenggaraan sekolah gratis tidaklah berjalan terlalu mulus. Pencairan dana program sekolah gratis (PSG) Rp 200.000,00/siswa/tahun baru cair pada 8 Agustus 2008, padahal aktivitas sekolah telah dimulai pada Juli 2008. Begitu juga dana BOS Rp 254.000,00/siswa/tahun, hingga saat ini belum juga cair.

"Oleh karena itu, selama dana itu belum cair, kami meminjam ke koperasi dan memakai uang pribadi untuk biaya operasional termasuk membeli alat tulis kantor dan sekolah," kata Euis.

Tidak hanya itu, problematika yang dialami sekolah ini sejak menjadi gratis adalah membeludaknya peminat murid baru yang pada tahun ajaran kali ini menjadi 400-an murid. Padahal sebelumnya, sewaktu sekolah ini masih berjumlah delapan, sekolah hanya menerima pendaftaran dari sekitar 200 murid.

"Kami akhirnya sepakat untuk menerima 320 murid saja. Kami menghitungnya dari jumlah sekolah kami yang semula delapan dikalikan jumlah murid 40 orang per kelas," kata Euis.

Tingginya penerimaan murid baru itu menjadikan penggabungan sekolah ini belum memberikan perubahan berarti. Sekolah ini masih heurin dengan tidak seimbangnya jumlah ruang kelas dengan jumlah murid yang justru bertambah banyak.

Menyikapi hal itu, guru SD Babakan Surabaya 3, Maman menyatakan, seharusnya pemerintah terlebih dahulu menyediakan sarana dan prasarana yang memadai sebelum membuat kebijakan sekolah gratis.

"Sekolah ini bisa dibilang sekolah darurat. Jangankan perpustakaan, untuk ruang kelas saja kami kekurangan. Menurut aturan, harusnya sekolah negeri itu masuknya pagi, tidak seperti ini," katanya.

Pendapat Maman tampaknya bisa juga dibenarkan. Meskipun sekolah ini sudah mendapatkan bantuan untuk perbaikan bangunan, nyatanya belum ada ruang tambahan yang sudah jadi.

Sumber "Pikiran Rakyat"

Dengan segala keterbatasan yang ada, guru-guru di sekolah ini memiliki semangat untuk mendidik siswanya. Untuk mengelola kegiatan belajar-mengajar yang berlangsung panjang itu, tak jarang pengajar dan kepala sekolah harus sudah berada di sekolah sejak pagi buta dan pulang saat malam hari.

Lewat celah-celah reruntuhan atap kelas, para pendidik itu menyimpan harapan kualitas sekolah ini dapat ditingkatkan dengan realisasi anggaran pendidikan 20%.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar