Rabu, 15 April 2009

Mengembangkan Kurikulum Visioner

Ilmu pengetahuan dan teknologi berkembang begitu pesat. Sementara di sisi lain, prioritas kebijakan nasional ikut berubah. Begitu pun pola pembiayaan pendidikan serta kondisi sosial, termasuk perubahan pada tuntutan profesi serta kebutuhan dan keinginan pelanggan.

Semua itu ikut memberikan dorongan bagi penyelenggara pendidikan untuk selalu melakukan proses perbaikan, modifikasi, dan evaluasi pada kurikulum yang digunakan. Permasalahannya adalah bagaimana dan tindakan apa yang pertama diambil jika melakukan pengembangan kurikulum?

Di dalam proses pengendalian mutu, kurikulum merupakan perangkat yang sangat penting karena menjadi dasar untuk menjamin kompetensi keluaran dari proses pendidikan. Kurikulum harus selalu diubah secara periodik untuk menyesuaikan dengan dinamika kebutuhan pengguna dari waktu ke waktu.

Perubahan kurikulum, dalam arti pengembangan, tentu akan berdampak terhadap kesiapan sekolah dan guru untuk mengimplementasikan di depan kelas.

Sebab, untuk melakukan perubahan, hal yang sangat mendasar dipahami oleh guru adalah, pertama, pemahaman terhadap manajemen pengembangan kurikulum. Dalam manajemen pengembangan kurikulum, guru akan mengetahui (1) bagaimanakah definisi kurikulum dalam arti luas; (2) bagaimana mendesain dan mengembangkan kurikulum satuan pendidikan yang sesuai dengan kebutuhan peserta didik dan stakeholder; (3) bagaimana penahapan pengembangannya; (4) apa yang menjadi output dari pengembangan kurikulum tersebut; dan (5) berbagai model pengembangan kurikulum.

Kedua, bagaimana menerapkan apa yang disebut total quality management (TQM) agar dapat memberikan jaminan mutu. Dengan begitu, tujuan untuk menghasilkan keluaran untuk kebutuhan dan kepuasan konsumen dengan peningkatan/perbaikan kualitas terus-menerus dapat dilakukan.

Tahapan pengembangan

Adapun mekanisme pengembangan kurikulum dapat dilakukan sebagai berikut. Tahap pertama penguasaan manajemen pengembangan kurikulum.

Seorang guru yang akan mengembangkan kurikulum dituntut menguasai manajemen pengembangan kurikulum. Dalam mengembangkan kurikulum, setidaknya guru akan menemui delapan problem. Pertama, bagaimana membatasi ruang lingkup atau keluasan materi. Kedua, bagaimana mengaitkan relevansi materi dengan kompetensi yang dibutuhkan. Ketiga, bagaimana memilih materi agar ada keseimbangan untuk peserta didik maju dan yang lamban belajar, keseimbangan antara tuntutan pembangunan daerah dan nasional. Keempat, bagaimana mengintegrasikan materi yang satu dengan materi lainnya sehingga tidak terjadi duplikasi.

Problem kelima, bagaimana mengurutkan materi dan kompetensi yang diperlukan. Keenam, bagaimana agar materi atau kompetensi berkesinambungan dan berjenjang. Ketujuh, bagaimana merealisasikan artikulasi materi atau kompetensi secara menyeluruh. Terakhir, bagaimanakah materi atau kompetensi yang diberikan dapat menjangkau masa depan alias memiliki daya guna bagi kehidupan peserta didik.

Bandingkan kedelapan problem tersebut dengan Peraturan Mendiknas Nomor 22 Tahun 2006 tentang Standar Isi, khususnya pada bagian prinsip pengembangan kurikulum. Namun, apabila guru hanya disodori buku panduan penyusunan kurikulum yang dibuat Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP), tanpa diberi pelatihan untuk mengembangkan kurikulum tingkat satuan pendidikan, jelas guru akan bingung.

Oleh karena itu, guru harus diberi pelatihan bagaimanakah langkah-langkah yang harus dilakukan untuk menyusun kurikulum sekolah itu sesuai prinsip-prinsip delapan problem pengembangan kurikulum. Kemudian, pelatihan seyogianya diberikan oleh pakar kurikulum dari perguruan tinggi, bukan oleh Lembaga Penjamin Mutu Pendidikan (LPMP) atau dinas pendidikan provinsi/kota/kabupaten, seperti yang tertuang dalam buku panduan penyusunan kurikulum terbitan BSNP.

Bergantung cara pandang

Tahap kedua, pemahaman cara pandang kurikulum. Selama ini ada dua cara pandang kurikulum, yaitu kurikulum diartikan dalam arti sempit dan luas.

Cara pandang kurikulum dalam arti sempit adalah bahwa kurikulum hanya berupa struktur kurikulum atau sekumpulan daftar mata pelajaran yang harus diajarkan kepada peserta didik. Adapun cara pandang kurikulum dalam arti luas adalah bahwa kurikulum di samping berupa daftar kumpulan mata pelajaran, juga harus diartikan sebagai kegiatan belajar dan sebagai pengalaman belajar peserta didik.

Jadi, jika guru memandang kurikulum dalam arti sempit, mereka akan berpedoman secara ketat pada Garis Besar Program Pengajaran alias GBPP atau standar isi, bukan pada proses pembelajaran demi penguasaan kompetensi yang dibutuhkan oleh peserta didik. Orientasi pembelajarannya pun akan didominasi guru.

Akibat kurikulum dipahami dalam arti sempit, yang terjadi adalah pencapaian target penyelesaian dengan domain kognitif semata. Tentunya cara pandang kurikulum yang demikian akan cocok jika tujuan akhirnya adalah semata-mata untuk memperoleh nilai baik dalam ujian nasional (UN). Padahal, dalam Permendiknas Nomor 23 Tahun 2006 tentang Standar Kompetensi Lulusan (SKL) dikatakan bahwa SKL digunakan sebagai pedoman penilaian dalam menentukan kelulusan.

Berbeda dengan cara pandang kurikulum dalam arti luas. Cara pandang ini menuntut kreativitas guru, mengaitkan perilakunya di depan kelas dengan konteks pembelajaran yang menjadi pengalaman dan dibutuhkan oleh peserta didik sehingga orientasi pembelajarannya berpusat pada peserta didik.

Literatur menunjukkan, ada banyak metode/cara pendekatan yang telah dikembangkan untuk pembuatan, perbaikan, dan modifikasi kurikulum. Metode tersebut sebagian bersifat heuristik, yang lainnya bersifat analitis.

Sulit untuk mengatakan bahwa metode yang satu lebih efektif dan lebih mudah digunakan dibandingkan yang lain. Perkembangan yang cepat pada ilmu pengetahuan dan teknologi serta berbagai persoalan yang membutuhkan penyelesaian antardisiplin ilmu menambah kesulitan untuk merancang atau mengembangkan suatu kurikulum yang efektif. Prosedur dan perangkat proses pembuatan dan pengembangan kurikulum, seperti yang telah diuraikan dalam delapan problem pengembangan kurikulum di atas mencoba mengurangi kesulitan tersebut dengan langkah-langkah atau tahapan-tahapan yang logis.

Hal yang perlu ditekankan di sini adalah bahwa cara tersebut bukanlah resep siap pakai untuk membuat atau mengembangkan kurikulum. Delapan problem pengembangan kurikulum di atas harus dipandang sebagai penahapan agar suatu proses dapat dijalankan dan diikuti. Dengan begitu proses penjaminan mutunya lebih mudah.

Fleksibilitas dan adaptabilitas (adaptability) akan membuat penahapan ini menjadi berguna bagi pihak yang peduli akan pengembangan kurikulum yang bermutu. Oleh karena itu, pada kedua tahap itulah letak pentingnya manajemen pengembangan kurikulum yang harus dikuasai oleh guru.

Tahap ketiga yang tidak kalah penting adalah penguasaan TQM. Pada tahap ini, penerapan TQM memberikan tujuan untuk menghasilkan keluaran untuk kebutuhan dan kepuasan konsumen dengan perbaikan kualitas terus-menerus terhadap kurikulum tingkat satuan pendidikan alias kurikulum sekolah.

Proses perbaikan tersebut melibatkan semua komponen pada sistem dengan menggunakan cara perbaikan yang saintifik, sistematis, serta mudah dipahami dan dapat dilakukan.

Mudah dimengerti kiranya bahwa untuk penerapan TQM tersebut sangat diperlukan riset konsumen. Riset ini digunakan sebagai landasan untuk pembuatan, perbaikan atau modifikasi dari setiap komponen atau perangkat yang berpengaruh terhadap proses maupun penyesuaian yang diperlukan pada sisi masukan maupun pemasok.

Penerapan jaminan mutu dalam sistem pendidikan saat ini sudah menjadi keharusan, sesuai tuntutan dan kebutuhan para pemangku kepentingan pendidikan. Gerakan mutu secara luas dan mendalam telah banyak dikembangkan dan dipraktikkan pada dunia industri untuk sistem produksi. Walaupun harus diakui bahwa sistem pendidikan jauh lebih kompleks dibandingkan dengan sistem produksi.

Oleh sebab itu, setelah guru mampu mengembangkan kurikulum, tentunya diperlukan verifikasi/validasi secara terus-menerus agar materi yang dikembangkan selalu up to date untuk kebutuhan pasar. Di sinilah letak pentingnya pemahaman TQM oleh guru agar selalu mampu melakukan plan, do, check, action (PDCA) agar kurikulum sekolah yang telah tersusun menjadi kurikulum yang visioner.

Surjanto Budiwalujo
Guru SMK YP 17-1 Madiun

Tidak ada komentar:

Posting Komentar