Jumat, 13 Maret 2009

Perguruan Tinggi BHMN: Kwalitas Lokal, Pembiayaan ala Amerika? - Brawijaya Forum

Postingan: 3 Mei 2007 07:04


Peringatan hari pendidikan nasional tanggal 2 Mei kemarin, diwarnai demo-demo mahasiswa dan anak-anak SMU yang menantang komersialisasi dan kapitalisme pendidikan yang mulai marak di Indonesia. Nuansa pendidikan mahal dan cenderung komersil, memang mulai dirasakan masyarakat kita terutama sejak Perguruan Tinggi papan atas (ITB, UGM, UI dan IPB) berstatus semi-swasta. Dengan status yang disebut BHMN (Badan Hukum Milik Negara), perguruan-perguruan tinggi itu diperbolehkan swakelola atas dana-dana yang diperolehnya dari masyarakat dan Negara.

Pada awalnya idea yang dimaksudkan untuk lebih meningkatkan kinerja Perguruan Tinggi di Indonesia itu, diterima wajar-wajar saja oleh masyarakat. Tetapi ketika mereka mulai menyadari konsekwensi perubahan itu pada akhirnya bermuara pada mahalnyya biaya untuk masuk ke pendidikan tinggi, masyarakat pun mulai bereaksi. Kini untuk masuk perguruan tinggi itu, tak cukup bermodal otak encer dengan cadangan dana pendidikan yang pas-pasan saja. Dibutuhkan dana puluhan juta rupiah untuk bisa masuk ITB, UI dan UGM misalnya. Teman saya contohnya, harus menyediakan uang masuk sekitar Rp 45 juta untuk memasukkan anaknya di ITB yang sudah diterima dengan jalur resmi. Bahkan, ada pula yang harus menyediakan dana hingga Rp 150 juta untuk memasukkan anaknya ke fakultas kedokteran.

Bila dibandingkan sekolah di luar negeri, katakanlah ke Singapore atau Malaysia, memang biaya studi ke sekolah favorit ini tak begitu mahal. Tapi sangatlah tidak proporsional membandingkan dua hal dimaksud, mengingat daya beli dan kemiskinan rakyat kita yang masih parah. Bagimanapun, sebenarnya tugas negaralah yang harus menyediakan pendidkan murah dan berkwalitas. Tujuan mulia NKRI didirikan, bukankah salah satunya adalah untuk mencerdaskan kehidupan bangsa? Ketika biaya mahal itu terjadi di perguruan Tinggi Swasta, rakyat masih bisa memaklumi. Tapi saat hal itu terjadi pula pada sekolah yang disediakan Negara, mereka tentu saja jadi sulit untuk memahaminya.

Sebenarnya di dunia ini ada dua model atau sistem penyelenggaraan pengelolaan pendidikan untuk masyarakat. Model Amerika dan model Eropa. Model Amerika penyelenggaraan pendidikan sepenuhnya dikelola masyarakat dan swasta, sehingga Negara tak banyak mencampuri urusan pembiayaan pendidikan disana (meskipun masih ada juga sekolah milik negara dengan label "State University" yang umumnya lebih murah karena ada subsidi pemerintah disana). Sementara model Eropa agak lebih konservatif, dimana Negara sepenuhnya memikul beban pembiayaan penyelenggaraan pendidikan masyarakatnya. Itulah sebabnya di beberapa negara Eropa, seperti Jerman dan Prancis, sekolah sampai lulus doktor sekalipun, bisa didapatkan dengan gratis. Makanya banyak mahasiswa Indonesia yang nekad cari sekolahan di negara-negara tersebut, terutama di Jerman misalnya.

Indonesia pasca reformasi sekarang ini, tampaknya ada gejala kalau Pemerintah mendorong arah pembiayaan pendidikan kita ke model Amerika. Biaya penyelenggaraan pendidikan sepenuhnya mau diserahkan kepada masyarakat dan swasta tanpa melihat dulu apakah prasyarat untuk menuju kesana sudah dipenuhi secara wajar. Di Amerika, perguruan tinggi yang dikelola swasta penuh memang mahal, apalagi yang top tentunya. Tetapi perguruan tinggi itu tak sepenuhnya menggantungkan biaya penyelenggaraan pendidikannya dari uang pangkal dan ung SPP mahasiswa. Pemasukan pihak universitas banyak datang dari para donatur dan orang-orang kaya disana yang peduli pendidikan serta dari perusahaan-perusahaan Amerika yang berskala dunia. Mereka juga mencari dana dari unit "profit center" universitas, antara lain dari hasil penjualan kepemilikan atas hak intelektual kampus ke dunia industri dan ke Pemerintahan.

Lain halnya di Indonesia, perguruan tinggi yang sudah merubah statusnya menjadi BHMN itu, umumnya mencari dana dengan mengandalkan sepenuhnya dari pemasukan yang berasal dari kantong mahasiswanya dan keluarganya. Akibatnya uang pangkal dan SPP pun mencapai puluhan bahkan ratusan juta rupiah untuk bisa diterima disana. Di Indonesia saat ini belum ada orang-orang kaya (semacam Bakrie, Jusuf Kalla, atau Tommy Soeharto) yang mau menjadi donatur tetap untuk universitas disini. Juga hampir tidak ada perusahaan nasional yang mau menyisihkan sebagian labanya untuk kepentingan pendidikan di negeri ini (coba saja tanya Gudang Garam, Sampoerna, Indofood dll, berapa sumbangan mereka untuk pergruan tinggi kita setahunnya?).

Juga kondisi internal perguruan tinggi itu sendiri, belum banyak yang mampu mengelola kekayaan intelektualnya untuk dijual keluar (atau memang produk yang bisa dijual dan dihasilkan itu yang memang minim sekali jumlahnya?). Dalam beberapa kasus, bahkan yang terjadi staff PT kita "mengelola sendiri" hasil temuan mereka dengan membuat perusahaan kecil-kecilan, lalu dijual ke luar. Padahal risetnya sepenuhnya dilakukan di laboratorium kampus yang notabene adalah milik negara.

Inilah yang saya maksudkan bahwa kita belum mempersiapkan prasyarat kondisi lingkungan perguruan tinggi kita seperti di Amerika, tapi langsung asal jiplak model itu dari sana tanpa pikir panjang. Hal ini hampir sama dengan kejadian ketika Perguruan Tinggi kita menjiplak sistem pendidikan model stratum ala Amerika di tahun 1980-an, tapi karena prakondisinya tidak dipersiapkan, akibatnya baru dirasakan sekarang dimana produksi sarjana di dalam negeri bagaikan kacang goreng jumlahnya, tapi sulit dijual ke pasar.

Begitu pula bila komersialisasi penyelenggaraan pendidikan yang sedang dirintis saat ini tak dikendalikan secara hati-hati. Akibatnya bisa fatal juga. Bukan tidak mungkin dimasa depan pendidikan kita kembali seperti zaman penjajahan Belanda dulu, hanya anak amtenaar dan orang berduit saja yang bisa menyekolahkan anak-anaknya di Perguruan Tinggi.

Dua tahun yang lalu (2005) kita pernah menolak RUU BHMPN ini. Tapi nampaknya mereka tidak begitu sayang dengan mahasiswa yang notabene anak-anaknya sendiri. Buktinya, diingatkan seperti itu mereka tetap adem ayem dan jalan terus menerapkan BHMN di Brawijaya hingga hari ini.

Yang bisa disimpulkan adalah, mereka dengan sadar telah membuat bodoh anak-anaknya sendiri. Gimana gak bodoh kalo gak bisa sekolah? Mau sekolah biayanya mahal khan? Padahal kita tahu bersama bahwa salah satu kunci masa depan bangsa terletak di tingkat pendidikan masyarakatnya, terutama generasi muda yang akan meneruskan tongkat estafet kepemimpinan ini. Hal itu berarti, dengan sangat terprogram dan terkonsep secara sistematis, bangsa ini sangat bersemangat untuk menghancurkan masa depannya sendiri..











Tidak ada komentar:

Posting Komentar