Jumat, 13 Maret 2009

Pembiayaan Pendidikan dalam Islam

Orang miskin dilarang sekolah!” Demikian jeritan pilu masyarakat saat
ini menanggapi mahalnya biaya pendidikan, khususnya biaya pendidikan
tinggi. Betapa tidak, pembiayaan sejumlah PTN yang berformat BHMN
(Badan Hukum Milik Negara) tak lagi sepenuhnya ditanggung negara.
Perguruan tinggi BHMN harus mencari biaya sendiri. Pembiayaan
pendidikan lalu dibebankan kepada mahasiswa. Sebagai contoh, untuk
masuk fakultas kedokteran sebuah PTN melalui “jalur khusus”, ada
mahasiswa yang harus membayar Rp 250 juta bahkan Rp 1 miliar
(www.wikimu.com).

Mahalnya biaya pendidikan itu buah dari kebijakan Pemerintah yang
mengadopsi ideologi penjajah kafir khususnya AS, yakni neo-
liberalisme. Sebagai salah satu varian Kapitalisme—seperti Keynesian
yang mengutamakan intervensi Pemerintah—neo-liberalisme justru
sebaliknya. Neo-liberalisme merupakan bentuk baru liberalisme klasik
dengan tema-tema pasar bebas, peran negara yang terbatas, dan
individualisme (Adams, 2004).

Sayang sekali. Pemerintah yang semestinya bertindak bagaikan
penggembala, telah berubah fungsi menjadi serigala buas yang tega
menghisap darah rakyatnya sendiri. Di tengah kesulitan hidup yang
berat karena kemiskinan, pendidikan mahal akibat tunduk pada agenda
neo-liberalisme global semakin melengkapi kegagalan Pemerintah sekular
saat ini.

Pendidikan Tanggung Jawab Negara

Beda dengan neo-liberalisme, dalam Islam pembiayaan pendidikan untuk
seluruh tingkatan sepenuhnya merupakan tanggung jawab negara. Seluruh
pembiayaan pendidikan, baik menyangkut gaji para guru/dosen maupun
infrastruktur serta sarana dan prasarana pendidikan, sepenuhnya
menjadi kewajiban negara. Ringkasnya, dalam Islam pendidikan
disediakan secara gratis oleh negara (Usus at-Ta‘lîm al-Manhaji, hlm.
12).

Mengapa demikian? Sebab, negara berkewajiban menjamin tiga kebutuhan
pokok masyarakat: pendidikan, kesehatan, dan keamanan. Berbeda dengan
kebutuhan pokok individu (sandang, pangan, dan papan) yang dijamin
secara tak langsung oleh negara, pendidikan, kesehatan dan keamanan
dijamin secara langsung oleh negara. Maksudnya, tiga kebutuhan ini
diperoleh secara cuma-cuma sebagai hak rakyat atas negara (Abdurahman
al-Maliki, 1963).

Dalilnya adalah as-Sunnah dan Ijmak Sahabat. Nabi saw. bersabda:

الإِمَامُ رَاعٍ وَهُوَ مَسْؤُوْلٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ

Imam bagaikan penggembala dan dialah yang bertanggung jawab atas
gembalaannya itu. (HR Muslim).

Setelah Perang Badar, sebagian tawanan musush yang tidak sanggup
menebus pembebasannya diharuskan mengajarkan baca tulis kepada sepuluh
anak-anak Madinah sebagai ganti tebusannya (Al-Mubarakfuri, 2005;
Karim, 2001).

Ijmak Sahabat juga telah terwujud dalam hal wajibnya negara menjamin
pembiayaan pendidikan. Khalifah Umar dan Utsman memberikan gaji kepada
para guru, muazin, dan imam shalat jamaah. Khalifah Umar memberikan
gaji tersebut dari pendapatan negara (Baitul Mal) yang berasal dari
jizyah, kharaj (pajak tanah), dan usyur (pungutan atas harta non-
Muslim yang melintasi tapal batas negara) (Rahman, 1995; Azmi, 2002;
Muhammad, 2002).

Sejarah Islam pun telah mencatat kebijakan para khalifah yang
menyediakan pendidikan gratis bagi rakyatnya. Sejak abad IV H para
khalifah membangun berbagai perguruan tinggi dan berusaha
melengkapinya dengan berbagai sarana dan prasarananya seperti
perpustakaan. Setiap perguruan tinggi itu dilengkapi dengan
“iwan” (auditorium), asrama mahasiswa, juga perumahan dosen dan ulama.
Selain itu, perguruan tinggi tersebut juga dilengkapi taman rekreasi,
kamar mandi, dapur, dan ruang makan (Khalid, 1994).

Di antara perguruan tinggi terpenting adalah Madrasah Nizhamiyah dan
Madrasah al-Mustanshiriyah di Baghdad, Madrasah an-Nuriyah di
Damaskus, serta Madrasah An-Nashiriyah di Kairo. Madrasah
Mustanshiriyah didirikan oleh Khalifah al-Mustanshir abad VI H dengan
fasilitas yang lengkap. Selain memiliki auditorium dan perpustakaan,
lembaga ini juga dilengkapi pemandian dan rumah sakit yang dokternya
siap di tempat (Khalid, 1994).

Pada era Khilafah Utsmaniyah, Sultan [Khalifah] Muhammad al-Fatih (w.
1481 M) juga menyediakan pendidikan secara gratis. Di Konstantinopel
(Istanbul) Sultan membangun delapan sekolah. Di sekolah-sekolah ini
dibangun asrama siswa, lengkap dengan ruang tidur dan ruang makan.
Sultan memberikan beasiswa bulanan untuk para siswa. Dibangun pula
sebuah perpustakaan khusus yang dikelola oleh pustakawan yang cakap
dan berilmu (Shalabi, 2004).

Namun, perlu dicatat, meski pembiayaan pendidikan adalah tanggung
jawab negara, Islam tidak melarang inisiatif rakyatnya, khususnya
mereka yang kaya, untuk berperan serta dalam pendidikan. Melalui wakaf
yang disyariatkan, sejarah mencatat banyak orang kaya yang membangun
sekolah dan universitas. Hampir di setiap kota besar seperti Damaskus,
Baghdad, Kairo, Asfahan, dan lain-lain terdapat lembaga pendidikan dan
perpustakaan yang berasal dari wakaf (Qahaf, 2005).

Di antara wakaf ini ada yang bersifat khusus, yakni untuk kegiatan
tertentu atau orang tertentu; seperti wakaf untuk ilmuwan hadis, wakaf
khusus untuk dokter, wakaf khusus untuk riset obat-obatan, wakaf
khusus untuk guru anak-anak, wakaf khusus untuk pendalaman fikih dan
ilmu-ilmu al-Quran. Bahkan sejarah mencatat ada wakaf khusus untuk
Syaikh Al-Azhar atau fasilitas kendaraannya. Selain itu, wakaf juga
diberikan dalam bentuk asrama pelajar dan mahasiswa, alat-alat tulis,
buku pegangan, termasuk beasiswa dan biaya pendidikan (Qahaf, 2005).

Walhasil, dengan Islam rakyat akan memperoleh pendidikan formal yang
gratis dari negara. Adapun melalui inisiatif wakaf dari anggota
masyarakat yang kaya, rakyat akan memperoleh pendidikan non-formal
yang juga gratis atau murah bagi rakyat.

Pembiayaan Pendidikan Dalam Khilafah

Sistem pendidikan formal yang diselenggarakan Negara Khilafah
memperoleh sumber pembiayaan sepenuhnya dari Negara (Baitul Mal).
Dalam sejarah, pada masa Khalifah Umar bin al-Khaththab, sumber
pembiayaan untuk kemaslahatan umum (termasuk pendidikan) berasal dari
jizyah, kharaj, dan usyur (Muhammad, 2002).

Terdapat 2 (dua) sumber pendapatan Baitul Mal yang dapat digunakan
membiayai pendidikan, yaitu: (1) pos fai’ dan kharaj—yang merupakan
kepemilikan negara—seperti ghanîmah, khumuûs (seperlima harta rampasan
perang), jizyah, dan dharîbah (pajak); (2) pos kepemilikan umum
seperti tambang minyak dan gas, hutan, laut, dan hima (milik umum yang
penggunaannya telah dikhususkan). Adapun pendapatan dari pos zakat
tidak dapat digunakan untuk pembiayaan pendidikan, karena zakat
mempunyai peruntukannya sendiri, yaitu delapan golongan mustahik zakat
(QS 9 : 60). (Zallum, 1983; an-Nabhani, 1990).

Jika dua sumber pendapatan itu ternyata tidak mencukupi, dan
dikhawatirkan akan timbul efek negatif (dharar) jika terjadi penundaan
pembiayaannya, maka Negara wajib mencukupinya dengan segera dengan
cara berhutang (qardh). Utang ini kemudian dilunasi oleh Negara dengan
dana dari dharîbah (pajak) yang dipungut dari kaum Muslim (Al-Maliki,
1963).

Biaya pendidikan dari Baitul Mal itu secara garis besar dibelanjakan
untuk 2 (dua) kepentingan. Pertama: untuk membayar gaji segala pihak
yang terkait dengan pelayanan pendidikan seperti guru, dosen,
karyawan, dan lain-lain. Kedua: untuk membiayai segala macam sarana
dan prasana pendidikan, seperti bangunan sekolah, asrama,
perpustakaan, buku-buku pegangan, dan sebagainya. (An-Nabhani, 1990).

Potensi Sumber Pembiayaan Pendidikan Saat ini

Telah dibahas sebelumnya ketentuan normatif mengenai sumber pembiayaan
pendidikan gratis dalam Khilafah. Pertanyaannya, mampukah kita
menggratiskan pendidikan sekarang dengan potensi sumber-sumber
pembiayaan saat ini?

Dalam APBN 2007, anggaran untuk sektor pendidikan adalah sebesar Rp
90,10 triliun atau 11,8 persen dari total nilai anggaran Rp 763,6
triliun. (www.tempointeraktif.com, 8/1/2007). Angka Rp 90,10 triliun
itu belum termasuk pengeluaran untuk gaji guru yang menjadi bagian
dari Dana Alokasi Umum (DAU) dan Dana Alokasi Khusus (DAK) untuk
bidang pendidikan, serta anggaran kedinasan.

Misalkan kita ambil angka Rp 90,1 triliun sebagai patokan anggaran
pendidikan tahun 2007 yang harus dipenuhi. Dengan melihat potensi
kepemilikan umum (sumber daya alam) yang ada di Indonesia, dana
sebesar Rp 90,1 triliun akan dapat dipenuhi, asalkan penguasa mau
menjalankan Islam, bukan neo-liberalisme. Berikut perhitungannya yang
diolah dari berbagai sumber:

Potensi hasil hutan berupa kayu [data 2007] sebesar US$ 2.5 miliar
(sekitar Rp 25 triliun).

Potensi hasil hutan berupa ekspor tumbuhan dan satwa liar [data 1999]
sebesar US$ 1.5 miliar (sekitar Rp 15 triliun).

Potensi pendapatan emas di Papua (PT. Freeport) [data 2005] sebesar US
$ 4,2 miliar (sekitar Rp 40 triliun)

Potensi pendapatan migas Blok Cepu pertahun sebesar US$ 700 juta – US$
1,2 miliar (sekitar Rp 10 triliun)

Dari empat potensi di atas saja setidak-tidaknya sudah diperoleh total
Rp 90 triliun. Kalau masih kurang, jalankan penegakan hukum dengan
tegas, insya Allah akan diperoleh tambahan sekitar Rp 54 triliun.
Sepanjang tahun 2006, ICW (Indonesia Corruption Watch) mencatat angka
korupsi Indonesia sebesar Rp 14,4 triliun. Nilai kekayaan hutan

Indonesia yang hilang akibat illegal logging tahun 2006 sebesar Rp 40
triliun.

Jadi, mewujudkan pendidikan gratis di Indonesia sebenarnya sangatlah
dimungkinkan. Yang menjadi masalah sebenarnya bukan tidak adanya
potensi pembiayaan, melainkan ketidakbecusan Pemerintah dalam
mengelola negara. Pendidikan mahal bukan disebabkan tidak adanya
sumber pembiayaan, melainkan disebabkan kesalahan Pemerintah yang
bobrok dan korup.

Pemerintah seperti ini jelas tidak ada gunanya. Yang dibutuhkan rakyat
adalah pemerintah yang amanah, yang setia pada Islam dan umatnya;
bukan pemerintah yang tidak becus, yang hanya puas menjadi komprador
asing dengan menjalankan neoliberalisme yang kafir. [KH M. Shiddiq Al-
Jawi]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar