Rabu, 15 April 2009

Prasarana dan Sarana Pendidikan Umum

Perbincangan tentang pendidikan di Indonesia pada umumnya dan di Provinsi Riau pada khususnya sudah ada sejak manusia lahir di dunia, namun masalah tersebut selalu menarik untuk dipersoalkan. Proses belajar dan mengajar itu berkembang terus seperti masyarakat, jadi wajar jika setiap saat perlu ada upaya untuk meninjau kembali proses belajar dan mengajar yang dibuat dan disusun oleh pemerintah.

Perkembangan proses belajar-mengajar para guru dan dosen akan beruntung karena dapat ikut menerapkan sistem pendidikan yang sesuai dengan keperluan pasar. Untuk memajukan perkembangan pendidikan diperlukan teknologi yang sesuai dengan keperluan masyarakat terutama bagi pengguna hasil yang dibuat. Dengan teknologi pendidikan yang sesuai dengan pasar akan terdapat suatu kegiatan yang bersifat peningkatan keterampilan anak didik. Selama sekolah baru menerapkan sistem dan kurikulum yang bersifat pasif, dan kurang mengacu kepada kepentingan pasar.

Model belajar dan pengajar selama ini masih menggunakan paradigma lama. Agar sistem belajar dan mengajar lebih baik dari kondisi masa lalu diperlukan suatu model intervensi sistem belajar pada lembaga pendidikan yang formal. Selama ini masyarakat awam berpandangan bahwa untuk belajar itu harus melalui suatu lembaga yang bernama “sekolah”, dan yang berkewajiban untuk mendidik atau mengajar adalah “guru”, sedangkan pihak orang tua hanya menyediakan dana pendidikan. Setelah sekolah anaknya tidak akan pernah disentuh dengan sistem pengajaran yang bersifat informal untuk meningkatkan keterampilan sesuai dengan bakat anaknya.

Untuk mencapai keberhasilan pendidikan dan peningkatan keterampilan lembaga sekolah harus mampu menggali dan menyusun kurikulum yang berdimensi lokal. Kurikulum yang baik mengacu pada potensi lokal yaitu potensi pasar dan lapangan kerja yang ada di daerah di mana sekolah itu beroperasi. Proses pendidikan yang dilakukan oleh pemerintah bukan hanya mencetak anak yang pandai untuk membaca teks tetapi mencetak anak yang dapat membaca keperluan baik pada tingkat daerah maupun pada tingkat nasional. Ini artinya bahwa pendidikan sekarang ini akan mengarahkan anak-anak menjadi terampil baik dari segi fisik maupun non fisik. Pemerintah dalam membentuk lembaga pendidikan sudah dapat memperkirakan secara kuantitatif terhadap anak yang mampu untuk melanjutkan dan anak yang tidak mampu untuk melanjutkan serta anak yang putus sekolah. Pada masa Orde Baru pemerintah daerah diberikan kewenangan untuk mengelola SDMnya sendiri, hal ini sesuai dengan PP No. 25 tahun 1999 tentang penyerahan wewenang dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah kabupaten/kota. Kewenangan pemerintah yang diserahkan pada daerah dalam rangka desentralisasi harus diikuti dengan penyerahan dan pengalihan pembiayaan, sarana dan prasarana serta SDM.

Untuk meningkatkan sumber daya manusia yang bermutu diperlukan sistem pendidikan yang lebih baik dan tenaga pengajar yang berkualitas serta didukung sarana dan parasarana yang memadai baik negeri maupun swasta. Peningkatan mutu tidak dihitung dengan kualitas sekolah yang tersebar akan tetapi bagaimana menciptakan sekolah yang berkualitas. Hal ini sesuai dengan Misi Pembangunan Provinsi Riau khusus pendidikan, yaitu (1) mewujudkan masyarakat Riau yang beriman dan bertagwa, berkualitas, sehat, cerdas, terampil dan sejahtera serta menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi; (2) Meningkatkan peran lembaga pendidikan sekolah maupun luar sekolah guna membentuk karakter, moral dan etika masyarakat yang agamis dan (3) Meningkatkan hubungan kerjasama antar kabupaten/kota, antar provinsi serta luar negeri.

www.balitbang.riau.go.id

Sarana Sekolah Untuk Meningkatkan Kualitas Pendidikan

Jakarta, Pelita

Sarana dan prasarana sekolah turut andil di dalam meningkatkan mutu pendidikan di sebuah sekolah. Namun pada kenyataannya masih banyak sekolah yang tidak memiliki sarana dan prasarana yang lengkap.
Seperti masih adanya sekolah yang tidak miliki laboratorium. Padahal laboratorium adalah salah satu sarana prasarana yang cukup penting untuk meningkatkan kualitas pendidikan terutama setingkat SMA.
Kualitas pendidikan tidak sekedar bergantung pada guru, tetapi juga sarana dan prasarana pendidikan yang memadai utamanya laboratoium dimana siswa bisa berpraktik, ujar Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Sarana Pendidikan Indonesia (APSPI) Iskandar Zulkarnain di Jakarta, Rabu (22/8).
Lebih lanjut Iskandar Zulkarnain banyaknya sekolah yang tidak memiliki sarana yang lengkap dikarenakan banyak faktor, diantaranya mahalnya alat sarana dan prasarana. Terlebih untuk harga peralatan laboratorium merupakan faktor yang paling banyak dikeluhkan pihak sekolah.
Apalagi kalau SMA itu milik swasta, boleh dikatakan sangat jarang yang memiliki laboratorium. Kalaupun ada sifatnya hanya seadanya atau asal ada saja. Padahal peralatan laboratorium sudah menjadi suatu keharusan bagi siswa SMA untuk memperdalam ilmunya.
Karena itu APSPI lanjut Iskandar akan mengambil peran aktif untuk meningkatkan kualitas pendidikan di Indonesia melalui penyediaan alat peraga pendidikan ini. APSPI beranggotakan pengusaha sarana pendidikan yang meliputi pengusaha alat peraga pendidikan, multimedia pendidikan serta pengusaha laboratorium bahasa dan komputer.
Dalam kegiatannya nanti, APSPI berusaha menjembatani antara kepentingan sekolah, pemerintah dan pengusaha alat pendidikan.Jadi peralatan apa yang dibutuhkan sekolah, kami akan coba bantu untuk memenuhinya,kata Iskandar.
Sedangkan tujuan dari APSPI itu sendiri yaitu mewujudkan cita-cita bangsa dan negara secara aktif dalam nasional guna mencapai masyarakat yang adil dan makmur berlandaskan Undang-undang Dasar 1945.
Kemudian menghimpun, membina dan mengembangkan para anggotanya untuk dapat lebih berperan serta di dalam meningkatkan pembangunan perekonomian sosial. Selain itu melindungi kepentingan anggota dan mencegah timbulnya persaingan usaha yang tidak sehat dalam dunia usaha sarana pendidikan.

www.hupelita.com

Lengkapi dulu sarana dan prasarana

Pukul 14.00 WIB, Sekolah Dasar (SD) Babakan Surabaya 1, 2, dan 3 di Jln. Kiaracondong Belakang, Kota Bandung masih ramai. Sebagian besar murid belajar di kelas, yang lainnya berada di luar menanti jam masuk sekolah yang tinggal 15 menit lagi. Sambil menunggu, mereka bermain di lapangan. Namun, beberapa murid tampak tak sabar, sesekali matanya mengintip ke dalam kelas.

Itulah suasana sehari-hari yang dialami sekolah ini. Sekolah itu nyaris tak pernah sepi karena sepanjang hari ada saja murid yang tengah belajar dan orang tua yang menunggui anaknya di luar gerbang sekolah.

Rupanya sekolah ini melaksanakan kegiatan belajar-mengajar yang panjang, sejak pukul 6.30 WIB hingga 18.00 WIB. Akan tetapi, tentu saja yang mengikutinya bukanlah murid dari satu kelas saja, melainkan dari tiga kelas yang berbeda. Jadi, satu ruang dipakai oleh murid dari tiga sekolah secara bergantian tanpa ada jeda.

Kelas pagi dimulai pukul 6.30-10.15 WIB, kelas siang berlangsung pukul 10.15-4.15 WIB, kelas terakhir pada pukul 14.15-18.00 WIB. Aktivitas belajar seperti itu terpaksa dijalani karena ruang kelas yang dimiliki SD Babakan Surabaya hanyalah 15 ruang. Itu pun tiga ruang tidak terpakai karena atapnya roboh, 11 Maret lalu.

Kejadian itu membuat sekolah ini dikenal karena media massa memberitakan untuk waktu yang lama. Sejak saat itu, sekolah ini tampaknya mengalami "sengsara membawa nikmat" karena para pimpinan daerah segera berbondong-bondong mengunjungi sekolah ini. Perombakan pun banyak dilakukan. Sekolah yang semula berjumlah delapan sekolah kemudian digabung menjadi tiga sekolah saja untuk efisiensi pengelolaan sekolah.

Tidak hanya itu, bangunan sekolah yang sejak 1977 tidak pernah direhab total ini pun rencananya dibuat bertingkat. Padahal, sebelumnya sekolah ini sudah berkali-kali mengajukan perbaikan sekolah, tetapi tidak pernah mendapat tanggapan dari pemerintah.

Bersamaan dengan itu, sejak tahun ajaran 2008/2009 sekolah ini menjadi sekolah gratis di Bandung. "Kami sangat berterima kasih kepada pemerintah karena setelah musibah ini sekolah kami sangat diperhatikan," kata Euis Faridawati, S.Pd., Kepala Sekolah Dasar Babakan Surabaya 2.

**

KENDATI demikian, penyelenggaraan sekolah gratis tidaklah berjalan terlalu mulus. Pencairan dana program sekolah gratis (PSG) Rp 200.000,00/siswa/tahun baru cair pada 8 Agustus 2008, padahal aktivitas sekolah telah dimulai pada Juli 2008. Begitu juga dana BOS Rp 254.000,00/siswa/tahun, hingga saat ini belum juga cair.

"Oleh karena itu, selama dana itu belum cair, kami meminjam ke koperasi dan memakai uang pribadi untuk biaya operasional termasuk membeli alat tulis kantor dan sekolah," kata Euis.

Tidak hanya itu, problematika yang dialami sekolah ini sejak menjadi gratis adalah membeludaknya peminat murid baru yang pada tahun ajaran kali ini menjadi 400-an murid. Padahal sebelumnya, sewaktu sekolah ini masih berjumlah delapan, sekolah hanya menerima pendaftaran dari sekitar 200 murid.

"Kami akhirnya sepakat untuk menerima 320 murid saja. Kami menghitungnya dari jumlah sekolah kami yang semula delapan dikalikan jumlah murid 40 orang per kelas," kata Euis.

Tingginya penerimaan murid baru itu menjadikan penggabungan sekolah ini belum memberikan perubahan berarti. Sekolah ini masih heurin dengan tidak seimbangnya jumlah ruang kelas dengan jumlah murid yang justru bertambah banyak.

Menyikapi hal itu, guru SD Babakan Surabaya 3, Maman menyatakan, seharusnya pemerintah terlebih dahulu menyediakan sarana dan prasarana yang memadai sebelum membuat kebijakan sekolah gratis.

"Sekolah ini bisa dibilang sekolah darurat. Jangankan perpustakaan, untuk ruang kelas saja kami kekurangan. Menurut aturan, harusnya sekolah negeri itu masuknya pagi, tidak seperti ini," katanya.

Pendapat Maman tampaknya bisa juga dibenarkan. Meskipun sekolah ini sudah mendapatkan bantuan untuk perbaikan bangunan, nyatanya belum ada ruang tambahan yang sudah jadi.

Sumber "Pikiran Rakyat"

Dengan segala keterbatasan yang ada, guru-guru di sekolah ini memiliki semangat untuk mendidik siswanya. Untuk mengelola kegiatan belajar-mengajar yang berlangsung panjang itu, tak jarang pengajar dan kepala sekolah harus sudah berada di sekolah sejak pagi buta dan pulang saat malam hari.

Lewat celah-celah reruntuhan atap kelas, para pendidik itu menyimpan harapan kualitas sekolah ini dapat ditingkatkan dengan realisasi anggaran pendidikan 20%.

TERSINGKIRNYA SARANA PENDIDIKAN DARI DUNIA PENDIDIKAN

24 Januari 2008

Kalau kita mendengar prasarana dan sarana pendidikan di Jakarta Pusat, langsung dibenak kita terlintas ada sebuah sekolah dengan fasilitas lengkap dan serba modern. Sebuah sekolah yang megah, lengkap dengan semua ruang / lokal yang dibutuhkan untuk proses belajar mengajar, fasilitas sarana dan prasarana yang canggih, bangku yang kondisinya bagus, papan tulis white board dan slide yang dilengkapi dengan proyektor yang canggih, berjejernya beberapa unit computer dengan akses internet yang cepat dengan operator yang kompeten. Termasuk didalamnya tenaga pendidik dan operator computer sebagai sumber daya manusia utama yang cerdas dan selalu mengikuti arus informasi.

Namun ternyata kondisi itu tidak semuanya seperti yang kita bayangkan. Usaha Pemerintah untuk menyediakan sarana dan prasarana pendidikan yang bertujuan sebagai sarana penunjang pendidikan dan peningkatan mutu serta meningkatkan perluasana akses memperoleh pendidikan ternyata tidak semua dapat digunakan sebagaimana mestinya. Di Jakarta Pusat terdapat 145 Sekolah Menengah Umum dan Kejuruan. Dari jumlah tersebut terdapat 27 sekolah negeri yang terdiri dari 13 Sekolah SMA negeri dan 14 Sekolah SMK Negeri, dan sisa dari jumlah tersebut atau sekitar 118 sekolah adalah SMA dan SMK Swasta. Pemerintah Daerah melalui Dinas Pendidikan Menengah dan Tinggi Provinsi DKI Jakarta Anggaran Belanja Tahun 2004 telah mengalokasikan dana / memberikan subsidi langsung kepada seluruh SMA dan SMK Negeri di Jakarta Pusat seperangkat unit computer lengkap dengan program aplikasi yang dapat menunjang program pembelajaran sekolah jarak jauh (ICT) dan sistem administrasi sekolah atau sering disebut dengan SAS. Namun dari hasil data survei lapangan bahwa ternyata baru 25 % dari sekolah yang diberikan fasilitas dan sarana lengkap tersebut yang mengoperasikan dan menggunakan dengan maksimal, dan 75 % lainnya sekolah yang mendapatkan bantuan subsidi perangkat keras dan lunak computer tersebut belum maksimal menggunakannya. Atau hanya sekitar 7 sekolah negeri yang baru dapat memfaatkan dengan benar atau sekitar 20 sekolah negeri lainnya masih belum dapat memanfaatkan dengan benar. Sehingga computer dengan perangkat software dan hardware yang canggih tersebut menjadi barang pajangan di pojok ruang sekolah karena tidak ada seorang guru atau siswapun yang menggunakannya.

mazzbuddy.multiply.com

Perpustakaan Sekolah

Oleh IDHAM HAMDANI

DALAM KBK (kurikulum berbasis kompetensi), perpustakaan, mempunyai peran penting dalam pelaksanaan pembelajaran. Perpustakaan sekolah tidak hanya sebagai penyedia bacaan siswa di kala senggang. Perpustakaan menjadi sumber, alat, dan sarana untuk belajar. Perpustakaan harus siap setiap saat untuk menunjang dan terlibat dalam pelaksanaan proses pembelajaran, baik di dalam jam pelajaran maupun di luar jam pelajaran.

Karena itu, pengelolaan perpustakaan sekolah harus dilakukan profesional. Pengelola harus serius melaksanakan kegiatannya demi tercapainya kemajuan dan proses pembelajaran di sekolah. Maka, tidak bisa dibantah, perlu ada pustakawan yang siap sedia mengelola perpustakaan secara profesional.

Dalam kenyataan sekarang, banyak perpustakaan sekolah yang masih dikelola serampangan. Masih banyak perpustakaan sekolah yang hanya menjadi gudang buku-buku lama dan buku paket tidak terpakai. Bahkan, kadang-kadang ada pula perpustakaan sekolah yang tidak pernah dikenal isinya oleh siswa maupun guru.

Perpustakaan sekolah, kebanyakan belum dikelola secara baik. Biasanya, sekolah tidak ambil risiko menunjuk seorang pustakawan, khusus untuk mengelola perpustakaan. Sekolah lebih lazim menunjuk salah satu guru mata pelajaran sebagai pengelolanya. Umumnya guru bahasa Indonesia atau guru bahasa lainnya.

Penunjukan guru mata pelajaran sebagai pengelola perpustakaan sekolah sangat tidak efektif. Selain guru tersebut sudah memiliki tanggung jawab yang berat dalam mengelola mata pelajarannya, waktu yang tersisa untuk mengelola perpustakaan pun sangat sempit. Tidak terbayang, pada saat guru tersebut sedang mengajar, guru dan siswa mata pelajaran lain memerlukan perpustakaan sebagai sarana belajar.

Guru mata pelajaran yang mengelola perpustakaan, juga tidak akan bisa melaksanakan tugasnya dengan optimal. Bagaimana bisa memikirkan dan melaksanakan program pelayanan perpustakaan untuk sarana pembelajaran seluruh mata pelajaran, sementara di mejanya sendiri bertumpuk pekerjaan yang berat.

Penunjukan pustakawan (khusus) pengelola perpustakaan sekolah juga tidak boleh sembarangan. Bukan hanya seseorang yang mengetahui seluk-beluk kepustakaan dan keperpustakaan yang dibutuhkan, tapi seseorang yang juga paham dan kenal dunia pendidikan. Purtakawan sekolah harus memiliki pengetahuan dan visi pendidikan. Sehingga, ia siap bekerja sama dengan siswa dan seluruh guru. Pustakawan sekolah turut bagian dan memegang peran utama dalam proses dan kesuksesan pembelajaran di sekolah.

Dapat disimpulkan, sekarang perpustakaan sekolah sudah membutuhkan pengelolaan yang sangat profesional. Dengan demikian, pengelolanya pun harus orang yang profesional. Pengelola yang paham kerjanya, punya visi pendidikan, dan punya totalitas dalam kerjanya. Kebutuhan ini sudah sangat mendesak, mengingat telah berlakunya kurikulum KBK yang menuntut hal tersebut dalam pelaksanaannya.

Akhir kata, profesionalisasi pengelola dan pengelolaan perpustakaan sekolah mutlak dilakukan, karena di era ini, perpustakaan tidak lagi hanya sebagai pelengkap atau penunjang pendidikan. Perpustakaan sekolah kini sudah menjadi urat nadi dalam proses pembejalaran dan pendidikan.

Penulis, Guru SMP Waringin, Bandung

Minim, Perpustakaan di Pendidikan Dasar

Selasa, 13 Januari 2009 | 22:52 WIB

JAKARTA, SELASA - Fasilitas perpustakaan sebagai salah satu sarana dan prasarana di sekolah yang penting untuk meningkatkan mutu pendidikan masih rendah. Kondisi perpustakaan yang memprihatinkan, baik soal ruangan perpustakaan maupun koleksi buku-buku yang tersedia, justru terjadi di tingkat pendidikan dasar.

Dari data Departemen Pendidikan Nasional, pada 2008 tercatat baru 32 persen SD yang memiliki perpustakaan, sedangkan di tingkat SMP sebanyak 63,3 persen. Pada tahun ini, pemerintah menargetkan penambahan ruang perpustakaan di sekolah-sekolah pada jenjang pendidikan dasar sekitar 10 persen.

Yanti Sriyulianti, Koordinator Education Forum, di Jakarta, Selasa (13/1), mengatakan pemenuhan sarana dan prasarana pendidikan yang sesuai standar nasional merupakan tanggung jawab pemerintah. Masyarakat bisa menuntut pemerintah pusat dan daerah jika terjadi kesenjangan mutu pendidikan akibat sarana dan prasarana yang timpang di antara perkotaan dan pedesaan atau di antara sekolah-sekolah yang ada.

Perpustakaan yang merupakan salah satu tempat untuk siswa dan guru mencari sumber belajar belum dianggap penting. Keberadaan perpustakaan hanya sekadar memenuhi syarat tanpa memperhatikan bagaimana seharusnya fasilitas perpustakaan disediakan dan bagaimana menjadikan perpustakaan sebagai tempat yang menyenangkan bagi siswa dan guru untuk menumbuhkan minat baca.

Abbas Ghozali, Ketua Tim Ahli Standar Biaya Pendidikan Badan Standar Nasional Pendidikan, mengatakan pendidikan dasar di Indonesia yang diamanatkan konstitusi untuk menjadi prioritas pemerintah masih berlangsung ala kadarnya. Pemerintah masih berorientasi pada menegejar angka statistik soal jumlah anak usia wajib belajar yang bersekolah, sedangkan mutu pendidikan dasar masih minim.

Padahal, soal sarana dan prasarana pendidikan di setiap sekolah untuk meningkatkan mutu pembelajaran itu sudah diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2007 tentang standar nasional sarana dan prasarana. Peraturan ini memberi arah soal keberadaan perpustakaan di setiap sekolah.

www.kompas.com

Pengembangan Kurikulum dan Pembelajaran

By: Purwo Sutanto

Pengertian dan fungsi kurikulum
Menurut pandangan tradisional, kurikulum adalah sejumlah pelajaran yang harus ditempuh murid di suatu sekolah. Hal ini menimbulkan kesan seolah-olah belajar di sekolah hanya sekedar mempelajari buku-buku teks yang sudah ditentukan sebagai bahan pelajaran. Kurikulum tradisional membeda-bedakan kegiatan belajar yang termasuk ke dalam kegiatan kurikulum, kegiatan penyertaan kurikulum dan kegiatan di luar kurikulum. Kegiatan-kegiatan belajar selain mempelajari sejumlah mata pelajaran yang sudah ditentukan, bukan termasuk pada kegiatan kurikulum. Bila kegiatan itu merupakan penunjang atau penyertaan dalam mempelajari suatu mata pelajaran tertentu dan kurikulum, ini dianggap sebagai kurikulum penyerta (co-cunicular activities). Contohnya kegiatan praktek kimia, ftsika, atau biologi di laboratorium; kunjungan ke suatu museum untuk pembelajaran sejarah, dan sebagainya. Bila kegiatan itu tidak termasuk pelajaran dan juga bukan penyerta, maka dimasukkan pada kegiatan di luar kurikulum (extracurricular activities), seperti pramuka, olahraga, dan sebagainya.
Sedangkan menurut pandangan modem, kurikulum lebih dan sekedar rencana pelajaran. Kurikulum di sini dianggap sebagai sesuatu yang nyata terjadi dalam proses pendidikan di sekolah. Pandangan ini bertolak dari sesuatu yang bersifat aktual sebagai suatu proses. Dalam pendidikan kegiatan yang dilakukan murid dapat memberikan pengalaman belajar, antara lain mulai dari mempelajari sejumlah mata pelajaran, berkebun, olahraga, pramuka, bahkan pergaulan sesama murid maupun guru dan petugas sekolah dapat memberikan pengalaman belajar yang bermanfaat. Semua pengalaman belajar yang diperoleh dari sekolah itu dipandang sebagai kurikulum. Atas dasar ini, inti kurikulum sebenarnya adalah pengalaman belajar. Pengalaman belajar itu banyak kaitannya dengan melakukan berbagai kegiatan, interaksi sosial di lingkungan sekolah, proses kerja sama dalam kelompok, bahkan interaksi dengan lingkungan fisik, seperti gedung sekolah, tata ruang sekolah, murid memperoleh berbagai pengalaman. Dengan demikian pengalaman itu bukan sekedar mempelajari mata pelajaran, tetapi yang terpenting adalah pengalaman kehidupan. Semua ini dicakup dalam pengertian kurikulum.
Kurikulum resmi sebenarnya meruipakan sesuatu yang ideal. Setiap idealitas ada yang dapat tercapai dan ada juga yang tidak. Keberhasilan suatu upaya ditentukan oleh berbagai faktor. Faktor yang paling mendasar adalah kemampuan seseorang melakukan upaya dalam mewujudkan apa yang diinginkan. Orang yang bertanggungjawab langsung dalam mewujudkan apa yang tertuang dalam kurikulum resmi adalah guru. Hal ini disebabkan guru merupakan orang yang bertuga melaksanakan serta mengembangkan kurikulum di kelas. Dengan adanya kurikulum resmi seorang guru diharapkan dapat merumuskan bahan sesuai dengan apa yang telah diprogramkan. Dengan demikian kurikulum ebrfungsi sebagai pedoman bagi guru dalam melaksanakan tugasnya sehari-hari di sekolah.
Para guru setiap berkecimpung dengan tugas hariannya di sekolah sangat erat dengan buku teks atau buku pelajaran. Ada yang berpendapat bahwa kurikulum itu lebih dulu ada daripada buku teks, ada pula yang berpendapat sebaliknya. Pada kenyataannya, buku teks adalah sarana belajar yang biasa digunakan disekolah-sekolah untuk menunjang suatu program pembelajaran dalam rangka mewujudkan tujuan kurikulum. Ibarat masakan, kurukulum adalah resep masakan, buku teks adalah bahan masakan dan juru masaknya adalah para guru.

Isi kurikulum

Menurut Taba bahwa suatu kurikulum terdiri dari atas ; tujuan, isi/materi, pola/ strategi pembelajaran, dan evaluasi.
Tujuan kurikulum menggambarkan kualitas manusia yang diharapkan terbina dari suatu proses pendidikan. Dengan demikian suatu tujuan memberikan petunjuk mengenai arah perubahan yang dicita-citakan dari suatu kurikulum. Tujuan yang jelas akan memberi petunjuk yang jelas pula terhadap pemilihan isi/bahan ajar, strategi pembelajaran, media, dan evaluasi. Bahkan dalam berbagai model pengembangan kurikulum, tujuan dianggap sebagai dasar, arah, dan patokan dalam menentukan komponen-komponen yang lainnya. Tujuan yang harus dicapai dalam pendidikan di Indonesia bersifat hierarkis, yang terdiri atas Tujuan Pendidikan Nasional, Tujuan Institusional, Tujuan Mata Pelajaran, dan Tujuan Instruksional (Umum dan Khusus).
Isi kurikulum yaitu pengalaman belajar yang diperoleh siswa dari sekolah. Dalam hal ini siswa melakukan berbagai kegiatan dalam rangka memperoleh pengalaman tersebut. Pengalaman-pengalaman ini dirancang dan diorganisasikan sedemikian rupa sehingga apa yang diperoleh siswa sesuai dengan tujuan. Isi kurikulum menempati posisi yang penting dan turut menentukan kualitas pendidikan. Secara umum isi/materi kurikulum merupakan pengetahuan ilmiah yang terdiri atas fakta, konsep, prinsip, dan keterampilan yang perlu diberikan kepada siswa. Pengetahuan ilmiah tersebut jumlahnya sangat banyak dan tidak mungkin semuanya dijadikan sebagai isi kurikulum. Oleh karena itu, perlu diadakan pilihan-pilihan. Untuk menentukan pengetahuan mana saja yang akan dijadikan isi kurikulum, diperlukan berbagai kriteria.
Ada beberapa kendala yang sering menyebabkan kegagalan dalam pelaksanaan kurikulum di sekolah, yakni guru dalam proses pembelajaran hanya menyampaikan materi yang bersifat fakta, tidak bersifat prinsip. Memang tidak mudah untuk menentukan mana prinsip, mana yang bersifat fakta. Untuk itu dalam menentukan isi kurikulum diperlukan keahlian seseorang dalam sesuatu bidang atau mata pelajaran tertentu. Dengan keahlian itulah dapat dikaji struktur bahan yang menjadi isi kurikulum.
Metode atau proses pembelajaran yaitu cara siswa memperoleh pengalaman belajar untuk mencapai tujuan. Metode berkenaan dengan proses pencapaian tujuan sedangkan proses itu sendiri bertaliana dengan bagaimana pengalaman belajar atau isi kurikulum diorganisasikan. Setiap bentuk organisasi yang digunakan membawa dampak terhadap proses memperoleh pengalaman yang dilaksanakan. Untuk itu perlu ada kriteria pola organisasi kurikulum yang efektif. Kriteria dalam merumuskan organisasi kurikulum yang efektif menurut Tyler adalah; berkesinambungan, berurutan dan keterpaduan.
Berkesinambungan yaitu adanya pengulangan kembali unsur-unsur utama kurikulum secara vertikal. Sebagai contoh jika dalam pelajaran Bahasa Indonesia, pengembangan ketrampilan membaca dipandang sebagai sesuatu yang sangat penting maka latihan membaca perlu dilakukan secara terus-menerus. Dengan demikian ketrampilan siswa dalam membaca dapat berkembang secara efektif melalui pelajaran di sekolah.
Berurutan artinya bahwa isi kurikulum diorganisasikan dengan cara mengurutkan bahan pelajaran sesuai dengan tingkat kedalaman atau keluasan yang dimiliki. Dikembangkan dari yang sederhana menuju ke yang lebih komplek sejalan dengan tingkat-tingkatannya.
Keterpaduan yaitu adanya penggabungan yang menunjukkan hubungan horisontal pengalaman belajar yang menjadi isi kurikulum sehingga dapat membantu siswa memperoleh pengalaman itu dalam satu kesatuan. Dengan demikian ketrampilan yang diperoleh sebagai pengalaman belajar tidak berdiri sendiri, melainkan dapat diterapkan dalam berbagai bidang.
Pada dasarnya ada dua jenis strategi pembelajaran, yaitu strategi pembelajaran yang berorientasi kepada guru (teacher oriented) dan yang berorientasi kepada siswa (student oriented). Strategi pertama disebut model ekspositori atau model informasi, sedangkan strategi kedua disebut model inkuiri atau problem solving. Strategi mana yang digunakan atau dipilih biasanya diserahkan sepenuhnya kepada guru dengan mempertimbangkan hakikat tujuan, sifat bahan/isi, dan kesesuaian dengan tingkat perkembangan siswa.
Evaluasi kurikulum yaitu cara untuk mengetahui apakah sasaran yang ingin dituju dapat tercapai atau tidak di damping itu, evaluasi juga berguna untuk menilai apakah proses kurikulum berjalan secara optimal atau tidak Komponen evaluasi ditujukan untuk menilai pencapaian tujuan kurikulum dan menilai proses implementasi kurikulum secara keseluruhan. Hasil evaluasi kurikulum dapat dijadikan umpan balik untuk mengadakan perbaikan dan penyempurnaan kurikulum. Selain itu, hasil evaluasi dapat dijadikan sebagai masukan dalam penentuan kebijakan-kebijakan pengambilan keputusan tentang kurikulum dan pendidikan. Gambaran yang komprehensif mengenai kualitas suatu kurikulum, dapat dilihat dari komponen program, komponen proses pelaksanaan, dan komponen hasil yang dicapai.
Evaluasi kurikulum harus dilaksanakan secara terus-menerus. Untuk itu, terlebih dahulu perlu ditetapkan secara jelas apa yang akan dievaluasi, dengan menggunakan acuan dan kriteria yang jelas pula. Sehubungan itu perlu ditetapkan dua sasaran utama dalam evaluasi yaitu; evaluasi terhadap produk kurikulum dan evaluasi terhadap proses kurikulum. Kedua macam evaluasi ini sangat penting untuk peninjauan kembali (revisi) terhadap pelaksanaan kurikulum sehingga mencapai hasil yang optimal.
Menurut Tyler, ada empat pertanyaan yang perlu dijawab dalam peroses pengembangan kurilukum dan pembelajaran, yaitu:
1. Apa tujuan yang ingin dicapai?
2. Pengalaman belajar apa yang perlu disiapkan untuk mencapai tujuan?
3. Bagaimana pengalaman belajar itu diorganisasikan secara efektif?
4. Bagaimana menentukan keberhasilan pencapaian tujuan itu.
Menurut Tyler tersebut maka pembelajaran tidah sebatas hanya pada proses pembelajaran terhadap satu bahan tertentu saja, melainkan dapat pula diterapkan dalam pembelajaran untuk satu bidang studi atau pembelajaran di sekolah. Sehingga kita dapat mengembangkan kurikulum untuk sekolah, kurikulum bidang studi ataupun kurikulum untuk bahan pelajaran tertentu.
Atas dasar pandangan Tyler ini, sebagai guru dapat mengembangkan kurikulum untuk berbagai tujuan. Namun satu hal yang perlu dijadikan dasar dalam pengembangan kurikulum yaitu bahwa semua keputusan yang dibuat haruslah mempunyai landasan berpijak yang kokah. Ini dimaksudkan agar kurikulum yang dibuat dapat menuntun siswa mencapai tujuan jangka pendek. Pencapaian tujuan jangka pendek ini dapat dijakikan alat untuk mencapai tujuan pendidikan jangka panjang.

Landasan Pengembangan Kurikulum
Landasan pengembangan kurikulum pada hakikatnya merupakan faktor yang harus diperhatikan dan dipertimbangkan pada waktu mengembangkan suatu kurikulum lembaga pendidikan, baik di lingkungan sekolah maupun luar sekolah. Secara umum terdapat tiga aspek pokok yang mendasari pengembangan kurikulum tersebut, yaitu landasan filosofis, landasan psikologis, dan landasan sosiologis.
Landasan filosofis berkaitan dengan pentingnya filsafat dalam membina dan mengembangkan kurikulum pada suatu lembaga pendidikan. Filsafat ini menjadi landasan utama bagi landasan lainnya. Perumusan tujuan dan isi kurikulum pada dasarnya bergantung pada pertimbangan-pertimbangan filosofis. Pandangan filosofis yang berbeda akan mempengaruhi dan mendorong aplikasi pengembangan kurikulum yang berbeda pula. Berdasarkan landasan filosofis ini ditentukan tujuan pendidikan nasional, tujuan institusional, tujuan bidang studi, dan tujuan instruksional.
Landasan psikologis terutama berkaitan dengan psikologi/teori belajar (psychology/ theory of learning) dan psikologi perkembangan (developmental psychology). Psikologi belajar memberikan kontribusi dalam hal bagaimana kurikulum itu disampaikan kepada siswa dan bagaimana pula siswa harus mempelajarinya. Dengan kata lain, psikologi belajar berkenaan dengan penentuan strategi kurikulum. Sedangkan psikologi perkembangan diperlukan terutama dalam menentukan isi kurikulum yang diberikan kepada siswa agar tingkat keluasan dan kedalamannya sesuai dengan taraf perkembangan siswa tersebut.
Landasan sosiologis dijadikan sebagai salah satu aspek yang harus dipertimbangkan dalam pengembangan kurikulum karena pendidikan selalu mengandung nilai atau norma yang berlaku dalam masyarakat. Di samping itu, keberhasilan suatu pendidikan dipengaruhi oleh lingkungan kehidupan masyarakat, dengan segala karakteristik dan kekayaan budayanya yang menjadi dasar dan acuan bagi pendidikan/kurikulum. Ilmu pengetahuan dan teknologi (Iptek) sebagai produk kebudayaan diperlukan dalam pengembangan kurikulum sebagai upaya menyelaraskan isi kurikulum dengan perkembangan dan kemajuan yang terjadi dalam dunia Iptek.

Pendekatan dan Model Pengembangan Kurikulum
Secara umum, model pendekatan pengembangan kurikulum terdiri atas (a) pendekatan administratif (administrative approach), yaitu pendekatan pengembangan kurikulum dengan sistem komando dari atas ke bawah (top-down), dan (b) pendekatan akar rumput (grassroots approach), yaitu pendekatan pengembangan kurikulum yang diawali oleh inisiatif dari bawah lalu disebarluaskan pada tingkat yang lebih luas (bottom up).
Pada dimensi lain, pendekatan pengembangan kurikulum terdiri atas (a) pendekatan mata pelajaran, yang bertolak dari disiplin ilmu, (b) pendekatan interdisipliner, yang mencoba menggabungkan beberapa mata pelajaran sejenis dalam bentuk broadfield, dan (c) pendekatan integratif, yang memadukan seluruh mata pelajaran dalam bentuk yang tidak terpisah-pisah.
Model pengembangan kurikulum pada intinya merupakan proses pembuatan keputusan untuk merevisi suatu program kurikulum. Tyler mengembangkan suatu model pengembangan kurikulum melalui empat komponen fundamental yang berhubungan dengan: (a) tujuan pendidikan yang ingin dicapai, (b) pengalaman belajar untuk mencapai tujuan, (c) pengorganisasian pengalaman belajar, dan (d) pengembangan evaluasi. Hilda Taba menitikberatkan model pengembangan kurikulum sebagai suatu proses perbaikan dan penyempurnaan kurikulum, dengan lima langkah sebagai berikut. (a) Mengembangkan pilot unit; (b) Uji coba unit eksperimen untuk memperoleh data validasi; (c) Revisi dan konsolidasi unit eksperimen; (d) Mengembangkan kerangka kurikulum; dan (e) Implementasi dan diseminasi kurikulum.
Oliva memunculkan model pengembangan kurikulum yang memiliki sifat sederhana, komprehensif dan sistematik. Model Oliva ini bisa digunakan untuk keperluan (a) penyempurnaan kurikulum sekolah dalam bidang-bidang khusus seperti bidang studi tertentu di sekolah, baik dalam tataran perencanaan kurikulum maupun dalam proses pembelajarannya, (b) pembuatan keputusan dalam merancang suatu program kurikulum, dan (c) pengembangan program pembelajaran secara lebih khusus. Sedangkan Beauchamp mengembangkan model kurikulum dengan lima langkah sebagai berikut. (a) Penetapan area perubahan kurikulum; (b) Penetapan pihak-pihak yang akan terlibat dalam proses pengembangan kurikulum; (c) Penetapan prosedur yang akan ditempuh; (d) Implementasi kurikulum; dan (e) Pelaksanaan evaluasi kurikulum.

Langkah-langkah Pengembangan Kurikulum
Ada beberapa langkah yang harus dikembangkan dalam pengembangan kurikulum, yaitu analisis dan diagnosis kebutuhan, perumusan tujuan, pemilihan dan pengorganisasian materi, pemilihan dan pengorganisasian pengalaman belajar, dan pengembangan alat evaluasi.
Analisis dan diagnosis kebutuhan dilakukan dengan mempelajari tiga hal, yaitu kebutuhan siswa, tuntutan masyarakat/dunia kerja, dan harapan-harapan dari pemerintah. Adapun caranya dapat dilakukan melalui survei kebutuhan, studi kompetensi, dan analisis tugas. Langkah pengembangan kurikulum selanjutnya setelah seperangkat kebutuhan tersusun adalah perumusan tujuan, pemilihan dan pengorganisasian materi, pemilihan dan pengorganisasian pengalaman belajar, serta pengembangan alat evaluasi.

Tingkatan Dalam Pengembangan Kurikulum
Pengembangan kurikulum berlaku pada tingkat institusional, tingkat mata pelajaran, dan tingkat operasional.
Pengembangan kurikulum pada tingkat institusional meluputi kegiatan pengembangan tujuan-tujuan institusional dan struktur program. Yang dimaksud dengan pengembangan tujuan institusional adalah pengembangan tujuan lembaga pendidikan yang bersangkutan. Misalnya tujuan pendidikan SD, tujuan pendidikan SMP dan sebagainya. Yang dimaksud dengan pengembangan struktur program adalah pengembangan jenis-jenis program pendidikan , jenis mata pelajaran, sebaran masing-masing mata pelajaran pada berbagai tingkatan kelas, dan alokasi waktu setiap bidang studi.
Setelah bidang studi atau mata pelajaran ditentukan, tingkat selanjutnya adalah mengembangkan Garis Besar Program Pengajaran (GBPP) tiap matapelajaran. Berikut ini beberapa langkah yang dapat ditempuh dalam mengembangan kurikulum pada tingkat mata pelajaran.
1. Menetapkan tujuan-tujuan kurikuler dan Tujuan Instruksional Umum (TIU) tiap bidang studi/ mat apelajaran.
2. Mengidentifikasi topik-topik atau pokok bahasan yang diperkirakan dapat dijadikan bahan untuk dipelajari siswa agar mencapai tujuan yang telah dirumuskan. Cara yang ditempuh untuk mengidentifikasi topik-topik yang hendak dijadikan bahan adalah:
a. Menganalisis setiap tujuan untuk mengetahui hakekat yang ingin dicapai dan menganalisis sumber tujuan dari tujuan yang lebih umum atau lebih tinggi.
b. Mengidentifikasi topik yang diperkirakan dapat dijadikan bahan dalam proses pencapaian tujuan.
3. Memilih topik-topik atau pokok bahasan yang paling relevan, fungsional, efektif, dan komprehensif bagi pencapaian tujuan yang telah diidentifikasi. Yang dimaksud dengan topik yang relevan adalah topik yang benar-benar berisi hal-hal yang dimaksud oleh suatu atau beberapa tujuan pembelajaran umum. Untuk mendapatkan topik yang fungsional dan efektif kita harus mempertanyakan apakah topik-topik tersebut benar-benar berfungsi secara efektif dalam mencapai tujuan. Sedangkan yang dimaksud dengan komprehensif adalah bahwa topik-topik yang dipilih hendaknya cukup luas lingkupnya.
4. Menetapkan metode dan sumber belajar untuk tiap kelompok pokok bahasan.
Proses pengembangan lebih lanjut dari topik-topik tersebut di atas adalah pengembangan program pembelajaran. Dalam proses pengembangan ini akan terlihat betapa penguasaan terhadap konsep-konsep dan generalisasi atau prinsip yang terdapat di dalam tiap bidang studi sangat diperlukan. Uraian tentang pengembangan tingkat operasional ini lebih ditekankan pada usaha guru dalam pengembangan lebih lanjut ga GBPP. Bila semua topik sudah dijabarkan menjadi sub topik, langkah selanjutnya adalah mengorganisasikan sub-sub topik ke dalam unit bahan pelajaran catur wulan/ semester.
Pengembangan kurikulum pada tingkat pembelajaran lebih spesifik merupakan kegiatan guru yang bersifat rutin. Sebagaimana pengembangan pada tingkat bidang studi, guru terlebih dahulu harus menjabarkan tujuan instruksional umum (TIU) ke dalam tujuan instruksional khushus (TIK). Selanjutnya berdasarkan rumusan TIK, guru mengembangkan alat evaluasi serta bahan atau sub bahan pelajaran. Setelah iru, barulah dipilih metode dan kegiatan yang sesuai untuk mencapai tujuan-tujuan pembelajaran khusus. Apabila hal itu telah dieujudkan, bahan-bahan atau program tersebut siap untuk dilaksanakan di dalam kelas.

Prinsip-prinsip Pengembangan Kurikulum
Ada beberapa prinsip yang dapat dijadikan acuan dalam pengembangan kurikulum, antara lain prinsip berorientasi pada tujuan, prinsip kontinuitas, prinsip fleksibilitas, dan prinsip integritas.
Prinsip berorientasi pada tujuan berkenaan bahwa setiap komponen yang dikembangkan dalam pengembangan kurikulum harus mengacu pada tujuan. Prinsip kontinuitas berkenaan dengan adanya kesinambungan materi pelajaran antar berbagai jenis dan jenjang sekolah serta antar tingkatan kelas.
Prinsip fleksibilitas berkenaan dengan kebebasan/keluwesan yang dimiliki guru dalam mengimplementasikan kurikulum dan adanya alternatif pilihan program pendidikan bagi siswa sesuai dengan minat dan bakatnya. Prinsip integritas berkenaan dengan kurikulum harus mampu membentuk manusia yang utuh.
Untuk membentuk manusia yang utuh, kurikulum diharapkan dapat mengembangkan keterampilan hidup (life skills) yang meliputi (a) keterampilan mengenal diri sendiri (self awareness) atau keterampilan personal (personal skill), (b) keterampilan berpikir rasional (thinking skill), (c) keterampilan sosial (social skill), dan (d) keterampilan akademik (academic skill), serta (e) keterampilan vokasional (vocational skill).

Sumber : Suciati, dkk. 2005. Modul Belajar dan Pembelajaran II, Jakarta Universitas Terbuka.

Mengembangkan Kurikulum Visioner

Ilmu pengetahuan dan teknologi berkembang begitu pesat. Sementara di sisi lain, prioritas kebijakan nasional ikut berubah. Begitu pun pola pembiayaan pendidikan serta kondisi sosial, termasuk perubahan pada tuntutan profesi serta kebutuhan dan keinginan pelanggan.

Semua itu ikut memberikan dorongan bagi penyelenggara pendidikan untuk selalu melakukan proses perbaikan, modifikasi, dan evaluasi pada kurikulum yang digunakan. Permasalahannya adalah bagaimana dan tindakan apa yang pertama diambil jika melakukan pengembangan kurikulum?

Di dalam proses pengendalian mutu, kurikulum merupakan perangkat yang sangat penting karena menjadi dasar untuk menjamin kompetensi keluaran dari proses pendidikan. Kurikulum harus selalu diubah secara periodik untuk menyesuaikan dengan dinamika kebutuhan pengguna dari waktu ke waktu.

Perubahan kurikulum, dalam arti pengembangan, tentu akan berdampak terhadap kesiapan sekolah dan guru untuk mengimplementasikan di depan kelas.

Sebab, untuk melakukan perubahan, hal yang sangat mendasar dipahami oleh guru adalah, pertama, pemahaman terhadap manajemen pengembangan kurikulum. Dalam manajemen pengembangan kurikulum, guru akan mengetahui (1) bagaimanakah definisi kurikulum dalam arti luas; (2) bagaimana mendesain dan mengembangkan kurikulum satuan pendidikan yang sesuai dengan kebutuhan peserta didik dan stakeholder; (3) bagaimana penahapan pengembangannya; (4) apa yang menjadi output dari pengembangan kurikulum tersebut; dan (5) berbagai model pengembangan kurikulum.

Kedua, bagaimana menerapkan apa yang disebut total quality management (TQM) agar dapat memberikan jaminan mutu. Dengan begitu, tujuan untuk menghasilkan keluaran untuk kebutuhan dan kepuasan konsumen dengan peningkatan/perbaikan kualitas terus-menerus dapat dilakukan.

Tahapan pengembangan

Adapun mekanisme pengembangan kurikulum dapat dilakukan sebagai berikut. Tahap pertama penguasaan manajemen pengembangan kurikulum.

Seorang guru yang akan mengembangkan kurikulum dituntut menguasai manajemen pengembangan kurikulum. Dalam mengembangkan kurikulum, setidaknya guru akan menemui delapan problem. Pertama, bagaimana membatasi ruang lingkup atau keluasan materi. Kedua, bagaimana mengaitkan relevansi materi dengan kompetensi yang dibutuhkan. Ketiga, bagaimana memilih materi agar ada keseimbangan untuk peserta didik maju dan yang lamban belajar, keseimbangan antara tuntutan pembangunan daerah dan nasional. Keempat, bagaimana mengintegrasikan materi yang satu dengan materi lainnya sehingga tidak terjadi duplikasi.

Problem kelima, bagaimana mengurutkan materi dan kompetensi yang diperlukan. Keenam, bagaimana agar materi atau kompetensi berkesinambungan dan berjenjang. Ketujuh, bagaimana merealisasikan artikulasi materi atau kompetensi secara menyeluruh. Terakhir, bagaimanakah materi atau kompetensi yang diberikan dapat menjangkau masa depan alias memiliki daya guna bagi kehidupan peserta didik.

Bandingkan kedelapan problem tersebut dengan Peraturan Mendiknas Nomor 22 Tahun 2006 tentang Standar Isi, khususnya pada bagian prinsip pengembangan kurikulum. Namun, apabila guru hanya disodori buku panduan penyusunan kurikulum yang dibuat Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP), tanpa diberi pelatihan untuk mengembangkan kurikulum tingkat satuan pendidikan, jelas guru akan bingung.

Oleh karena itu, guru harus diberi pelatihan bagaimanakah langkah-langkah yang harus dilakukan untuk menyusun kurikulum sekolah itu sesuai prinsip-prinsip delapan problem pengembangan kurikulum. Kemudian, pelatihan seyogianya diberikan oleh pakar kurikulum dari perguruan tinggi, bukan oleh Lembaga Penjamin Mutu Pendidikan (LPMP) atau dinas pendidikan provinsi/kota/kabupaten, seperti yang tertuang dalam buku panduan penyusunan kurikulum terbitan BSNP.

Bergantung cara pandang

Tahap kedua, pemahaman cara pandang kurikulum. Selama ini ada dua cara pandang kurikulum, yaitu kurikulum diartikan dalam arti sempit dan luas.

Cara pandang kurikulum dalam arti sempit adalah bahwa kurikulum hanya berupa struktur kurikulum atau sekumpulan daftar mata pelajaran yang harus diajarkan kepada peserta didik. Adapun cara pandang kurikulum dalam arti luas adalah bahwa kurikulum di samping berupa daftar kumpulan mata pelajaran, juga harus diartikan sebagai kegiatan belajar dan sebagai pengalaman belajar peserta didik.

Jadi, jika guru memandang kurikulum dalam arti sempit, mereka akan berpedoman secara ketat pada Garis Besar Program Pengajaran alias GBPP atau standar isi, bukan pada proses pembelajaran demi penguasaan kompetensi yang dibutuhkan oleh peserta didik. Orientasi pembelajarannya pun akan didominasi guru.

Akibat kurikulum dipahami dalam arti sempit, yang terjadi adalah pencapaian target penyelesaian dengan domain kognitif semata. Tentunya cara pandang kurikulum yang demikian akan cocok jika tujuan akhirnya adalah semata-mata untuk memperoleh nilai baik dalam ujian nasional (UN). Padahal, dalam Permendiknas Nomor 23 Tahun 2006 tentang Standar Kompetensi Lulusan (SKL) dikatakan bahwa SKL digunakan sebagai pedoman penilaian dalam menentukan kelulusan.

Berbeda dengan cara pandang kurikulum dalam arti luas. Cara pandang ini menuntut kreativitas guru, mengaitkan perilakunya di depan kelas dengan konteks pembelajaran yang menjadi pengalaman dan dibutuhkan oleh peserta didik sehingga orientasi pembelajarannya berpusat pada peserta didik.

Literatur menunjukkan, ada banyak metode/cara pendekatan yang telah dikembangkan untuk pembuatan, perbaikan, dan modifikasi kurikulum. Metode tersebut sebagian bersifat heuristik, yang lainnya bersifat analitis.

Sulit untuk mengatakan bahwa metode yang satu lebih efektif dan lebih mudah digunakan dibandingkan yang lain. Perkembangan yang cepat pada ilmu pengetahuan dan teknologi serta berbagai persoalan yang membutuhkan penyelesaian antardisiplin ilmu menambah kesulitan untuk merancang atau mengembangkan suatu kurikulum yang efektif. Prosedur dan perangkat proses pembuatan dan pengembangan kurikulum, seperti yang telah diuraikan dalam delapan problem pengembangan kurikulum di atas mencoba mengurangi kesulitan tersebut dengan langkah-langkah atau tahapan-tahapan yang logis.

Hal yang perlu ditekankan di sini adalah bahwa cara tersebut bukanlah resep siap pakai untuk membuat atau mengembangkan kurikulum. Delapan problem pengembangan kurikulum di atas harus dipandang sebagai penahapan agar suatu proses dapat dijalankan dan diikuti. Dengan begitu proses penjaminan mutunya lebih mudah.

Fleksibilitas dan adaptabilitas (adaptability) akan membuat penahapan ini menjadi berguna bagi pihak yang peduli akan pengembangan kurikulum yang bermutu. Oleh karena itu, pada kedua tahap itulah letak pentingnya manajemen pengembangan kurikulum yang harus dikuasai oleh guru.

Tahap ketiga yang tidak kalah penting adalah penguasaan TQM. Pada tahap ini, penerapan TQM memberikan tujuan untuk menghasilkan keluaran untuk kebutuhan dan kepuasan konsumen dengan perbaikan kualitas terus-menerus terhadap kurikulum tingkat satuan pendidikan alias kurikulum sekolah.

Proses perbaikan tersebut melibatkan semua komponen pada sistem dengan menggunakan cara perbaikan yang saintifik, sistematis, serta mudah dipahami dan dapat dilakukan.

Mudah dimengerti kiranya bahwa untuk penerapan TQM tersebut sangat diperlukan riset konsumen. Riset ini digunakan sebagai landasan untuk pembuatan, perbaikan atau modifikasi dari setiap komponen atau perangkat yang berpengaruh terhadap proses maupun penyesuaian yang diperlukan pada sisi masukan maupun pemasok.

Penerapan jaminan mutu dalam sistem pendidikan saat ini sudah menjadi keharusan, sesuai tuntutan dan kebutuhan para pemangku kepentingan pendidikan. Gerakan mutu secara luas dan mendalam telah banyak dikembangkan dan dipraktikkan pada dunia industri untuk sistem produksi. Walaupun harus diakui bahwa sistem pendidikan jauh lebih kompleks dibandingkan dengan sistem produksi.

Oleh sebab itu, setelah guru mampu mengembangkan kurikulum, tentunya diperlukan verifikasi/validasi secara terus-menerus agar materi yang dikembangkan selalu up to date untuk kebutuhan pasar. Di sinilah letak pentingnya pemahaman TQM oleh guru agar selalu mampu melakukan plan, do, check, action (PDCA) agar kurikulum sekolah yang telah tersusun menjadi kurikulum yang visioner.

Surjanto Budiwalujo
Guru SMK YP 17-1 Madiun

Kurikulum

Wednesday, 01 April 2009 08:10

Penyelenggaraan pendidikan di Perguruan Tinggi aspek kurikulum. Dalam kaitan ini, kurikulum perguruan tinggi menjadi perhatian dan pemikiran-pemikiran baru, sehingga mengalami perubahan-perubahan kebijakan. Dan, salah satu perubahan dalam bidang pendidikan yang sangat strategis ialah berkaitan dengan pengembangan kurikulum. Dalam hal ini, fakultas dan departemen memiliki kewenangan dalam mengembangkan atau menyusun kurikulum yang efektif sesuai dengan keadaan dan kebutuhan daerahnya dengan berlandaskan pada Standar Nasional Pendidikan. Hal ini dapat memberi harapan yang lebih nyata untuk meningkatkan mutu pendidikan demi terwujudnya sumber daya manusia berkualitas yang memiliki daya saing tinggi di tengah-tengah persaingan global yang semakin tajam. Kewenangan fakultas dan departemen dalam menyusun ataupun mengembangkan kurikulum tersebut memerlukan kesiapan sumber daya manusia yang profesional dalam implementasinya.

Sumber : ft.usu.ac.id

Tujuan Administrasi Kurikulum

Mengingat GBPP untuk setiap mata pelajaran mempunyai karakteristik, maka perlu disusun secara jelas petunjuk yang memberikan arah kepada para pelaksana pendidikan untuk merencanakan, mengorganisasikan dan melaksanakan serta menilai proses belajar mengajar agar dapat meningkatkan kualitas mengajar yang diharapkan.

Keberhasilan program pendidikan melalui proses belajar mengajar di sekolah sangat dipengaruhi oleh faktor : siswa, kurikulum, tenaga pendidik dan tenaga kependidikan, dana, sarana prasarana, pengelolaan, dan lingkungan.
Apabila semua faktor tersebut bermutu, maka diharapkan proses belajar mengajar di sekolah akan bermutu dan menghasilkan pencapaian prestasi yang bermutu.

Melihat dari sifat siswa dan tenaga kependidikan merupakan faktor dinamis dan dominan, karena kedua faktor tersebut lebih menentukan berhasil atau kurang berhasilnya suatu proses belajar mengajar di kelas. Di samping itu faktor lain yang bersifat statis sangat bergantung kepada cara menggunakannya baik oleh siswa maupun oleh tenaga kependidikan yang terlibat dalam proses belajar mengajar.

Untuk mencapai tujuan yang diharapkan seperti di atas perlu adanya suatu pengelolaan administrasi kurikulum yang dapat dijadikan pedoman dalam rangka perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan, pengendalian, serta menilai proses belajar mengajar agar dapat meningkatkan kualitas mengajar melalui pembelajaran aktif.

Tujuan
Administrasi kurikulum bertujuan untuk :

  1. Membantu para pelaksana pendidikan dalam memahami cara merencanakan, mengorganisasikan, melaksanakan, mengendalikan, serta menilai proses belajar mengajar di sekolah.
  2. Meningkatkan keterkaitan dan kesepadanan pendidikan dengan lingkungan sebagai sumber belajar dan kebutuhan siswa untuk bekal hidup di masyarakat.

Oleh Agus Zaenal

Komunikasi dalam manajemen kurikulum


11 November 2008

Kurikulum merupakan unsur vital dalam setiap program pendidikan. Selalu saja guru yang diharapkan untuk mempersiapkan perangkat pembelajaran selama satu tahun. Hal ini merupakan kegiatan rutin bagi guru sehingga banyak yang beranggapan untuk terlalu penting untuk memperbarui kurikulum yang dibuatnya.

Dalam lingkungan sekolah yang tidak terlalu besar, komunikasi bisa berjalan mulus dari pembuat kebijakan (kepala sekolah dan bagian kurikulum)kepada guru pengajar atau sebaliknya. Komunikasi intensif di sekolah kecil bisa dijalankan mulai dari penyusunan program, pelaksanaan, kontrol dan evaluasi pelaksanaan pembelajarannya. Setiap kendala yang dihadapi guru dalam pengajaran menjadi topik utama bagi guru, bagian kurikulum dan kepala sekolah. Guru tidak hanya mendapat komando di awal yang berupa pemberian jadwal dan kemudian divonis pada akhir tahun pelajaran. Pada saat siswa berhesil guru sekedarnya dipuji. Sedang jika mereka melihat siswa tidak berhasil dalam belajar, guru dicaci. Sukses belajar pada siswa merupakan sukses guru dan sekolahnya. Komunikasi kurikulum selama proses pelaksanaan pembelajaran selalu terkait dengan problem solving. Setiap kendala dalam proses pembelajaran harus cepat ditanggapi oleh pihak kurikulum.

Persoalan menjadi rumit dalam manajemen kurikulum di sekolah yang jumlah siswanya sangat besar. Sebagian dari keberhasilan dari sekolah unggul adalah solidnya kontrol terhadap pelaksanaan program kegiatan belajar mengajar selama satu tahun. Kontrol ini memang membuat bagian kurikulum sangat sibuk. Analoginya adalah: Bila di sekolah besar pihak pelaksana kurikulum tidak terlalu sibuk memegang kendali dan kontrol pengajaran di sekolah, pertanda bahwa sukses pembelajaran siswa akan tertunda. Kalau pihak pelaksana kurikulum melihat keganjilan dalam kegiatan-kegiatan yang mendukung pembelajaran, harus ada pemecahan yang cerdas dan cepat sehingga sukses siswa tidak tertunda. Guru, bagian kurikulum dan kepala sekolah wajib tanggap terutama terhadap pelaksanan program pembelajaran.

Tanggapnya unsur sekolah bukan hanya untuk membuat jadwal dan melakasanakan ujian!

From The Last Cig Burned Share

Manajemen Kurikulum : Perlu Diperbaharui?

Tinjauan secara empirik tampak jelas, unsur keputusan yang cepat dan cerdas dalam inovasi manajemen sering berperan membantu perusahaan mengembangkan keunggulan yang bertahan lama. Tampaknya tak ada faktor yang mencerminkan instrumen yang sama dalam menjamin keberhasilan persaingan jangka panjang. Artinya setiap perusahaan memiliki inovasi manajemen dengan teknik dan keunggulannya masing-masing. Suatu inovasi manajemen cenderung menghasilkan keunggulan kompetitif ketika satu atau lebih dari tiga syarat dipenuhi. Yang pertama adalah inovasi didasarkan pada prinsip manajemen baru dengan meninggalkan sisi-sisi yang orthodox; kedua bahwa inovasi merupakan suatu proses yang sistemik dari suatu proses dan metode yang digunakan; dan ketiga, inovasi merupakan bagian dari suatu program invensi jangka panjang yang tak pernah berhenti. Kemudian peran karyawan (sumberdaya manusia) sebagai inovator sekaligus agen pembaharu menjadi sangat penting dalam menciptakan keunggulan. Dalam hal ini peranan budaya kerja dan budaya inovasi sangat strategis.

Dalam menjawab tantangan global, diperlukan pembentukan paradigma kolektif. Semua satu bahasa, satu langkah, dan satu tujuan. Paradigma kerja ditampilkan ke permukaan dan diterjemahkan oleh semua pelaku bisnis dalam perusahaan. Dengan paradigma dapat dicegah terjadinya kerugian-kerugian perusahaan melalui pendekatan kerja yang efisien. Pola kerja yang sinergis antarunit di perusahaan dibentuk lewat sistem koordinasi yang efektif.

Perusahaan seharusnya merumuskan standar yang fleksibel dan bervariasi dalam hal pendekatan perubahan dan pemberian penghargaan kepada karyawan yang inovatif. Selain itu perusahaan harus juga mendengarkan kritik para pelanggan untuk bahan penyusunan perubahan yang dikehendaki para pelanggan. Umumnya suatu perusahaan, dalam kondisi persaingan tinggi, dengan kemampuan perubahan yang besar akan sangat mungkin memuaskan, bertahan dan memberi daya tarik kepada para pelanggan.

Bisnis dan Keberlanjutan merefleksikan terjadinya saling kebergantungan dengan beragam aspek unsur manusia. Pertumbuhan ekonomi adalah penting bagi kemanfaatan individu dan masyarakat keseluruhan. Namun jangan melupakan nilai-nilai kemanusiaan seperti kehidupan keluarga, perkembangan intelektual, moral, dan pengembangan spirit. Mengapa? Karena bisnis yang berdimensi berkelanjutan mengandung arti bahwa pada setiap upaya mencapai tujuannya baru akan berhasil jika ada pelanggan atau konsumen yang aktif. Dengan demikian agar bisnis bisa hidup berkembang maka ia harus berorientasi pula pada kepentingan aspirasi ekonomi dan non-ekonomi masyarakat (sosial dan lingkungan). Lalu dimana peran perguruan tinggi?

Seharusnya perguruan tinggi yang memiliki program studi manajemen mampu membaca peluang pasar misalnya sehubungan dengan pertumbuhan ekonomi domestik dan internasional yang meningkat. Disinilah perguruan tinggi harus mampu memperlebar jangkauan jejaring kerjasamanya dengan pihak industri domestik dan global. Antara lain dalam rangka meninjau kembali kurikulum manajemen. Pertanyaannya adalah apakah kurikulum ilmu-ilmu manajemen memang perlu diperbaharui? Alasan –alasan berikut mungkin dapat dijadikan pertimbangan:

(1) Rumpun ilmu-ilmu manajemen mengalami fluktuasi yang relatif cepat. Semua perubahan yang terjadi di dunia ini akan sangat berpengaruh terhadap munculnya pemahaman dan konsep di dalam ilmu-ilmu manajemen yang baru.

(2) Observasi kecenderungan mengindikasikan perubahan eksternal khususnya perubahan pada ilmu pengetahuan dan teknologi, inovasi manajemen, paradigma kerja, pembangunan berkelanjutan, pasar kerja dan profesi, dan lintas budaya seharusnya mendorong terjadinya perubahan kurikulum agar tiap lulusan ilmu manajemen dapat diserap dan dimanfaatkan masyarakat; dengan kata lain kurikulum harus relevan dengan kebutuhan pasar.

(3) Konteks sosial yang semakin luas dan mengglobal maka orang mulai menyadari betapa pentingnya manajemen perubahan, mutu sumberdaya manusia, pemahaman lintas budaya, dan inovasi manajemen. Selanjutnya karena keterbatasan sumberdaya yang semakin dirasakan maka telah mendorong manusia untuk berpikir melakukan efisiensi dalam manajemen. Dengan tema pembangunan berkelanjutan maka perusahaan terdorong untuk peduli pada lingkungan dan sosial. Disini kurikulum ilmu manajemen seharusnya mengandung unsur kandungan kepekaan terhadap masalah-masalah sosial ekonomi masyarakat.



by sjafri mangkuprawira



Impelmentasi Pengelolaan Kesiswaan

Penelitian tentang pengelolaan kesiswaan ini bertujuan untuk mengungkapkan bagaimana peran yang dimainkan oleh warga sekolah dalam melakukan pembinaan kesiswaan yang meliputi perencanaan, pelaksanaan dan pengawasan. Metode penelitian yang digunakan adalah penelitian kualitatif dengan pertimbangan untuk mengungkapkan realitas dan persepsi seluruh warga sekolah tentang pelaksanaan manajemen kesiswaan.

1. Pengertian Manajemen Pembinaan Kesiswaan

Siswa merupakan masukan mentah (raw input) dalam manjemen persekolahan. Ketercapaian tujuan pendidikan dimanifestasikan dalam perubahan pribadi siswa dengan segala aspeknya. Oleh karena itu, sebenarnya semua sumber dana dan daya pada akhirnya bermuara pada kepentingan siswa itu.[1]

Pada dasarnya siswa merupakan pusat utama dalam konsepsi persekolahan, dan kesiswaan itu sendiri juga menepati posisi strategis dalam administrasi pendidikan pada tingkat persekolahan. Apapun yang dilakukan sekolah, program apapun yang dirancang sekolah, ujung-ujungnya adalah untuk kepentingan siswa itu sendiri. Dan prestasi siswa akan menjadi ukuran keberhasilan program pendidikan di suatu sekolah.

Namun walaupun kedudukan siswa begitu penting dan strategisnya, buku-buku literature atau kajian-kajian tentang kesiswaan dalam konsep manajemen pendidikan itu sendiri tidak terlalu banyak dan sepertinya kurang mendapat perhatian lebih. Holmes & Wynne mengungkapkan :

Books and university courses on educational administration do not give much direct attention to students, whose education is the justification for the administrator’s existence. The explanation is that, supposedly, everything educational administrators do is for and about pupils, directly indirectly. Therefore, by the account, addressing them separately isolates only afew factors of importance to them. The problem with mainstream approaches is that discussion of organizational theory and principal/teacher relation provides little evidence or argument to the effect that a particular approach will benefit students. Students are central in our conception of the school.[2]


Mengingat bahwa siswa merupakan salah satu elemen penting dalam pendidikan dan merupakan sasaran utama dalam peningkatan kualitas pendidikan yang nantinya akn berkontribusi terhadap upaya peningkatan kualitas hidup bagi masyarakat suatu bangsa melalui peningkatan kualitas sumber daya manusia serta peningkatan derajat sosial masyarakat bangsa, maka siswa perlu dikelola, dimenej, diatur, ditata, dikembangkan dan diberdayakan agar dapat menjadi produk pendidikan yang bermutu, baik ketika siswa itu masih berada dalam lingkungan sekolah, maupun setelah berada dalam lingkungan masyarakat. Untuk itulah diperlukan adanya manajemen kesiswaan.

2. Ruang lingkup Aktivitas Manajemen Kesiswaan.

Sebagai salah satu bidang harapan manajemen pendidikan pada tingkat persekolahan, ruang lingkup aktifitas Manajemen kesiswaan juga mengacu kepada fungsi-fungsi manajemen secara umum. Dalam penelitian ini, fungsi-fungsi manajemen yang dimaksud mengacu kepada fungsi-fungsi manajemen sebagaimana yang diungkapkan oleh Engkoswara, yaitu meliputi fungsi perencanaan, pelaksanaan, dan pengawasan.[1]

Sementara itu, Sutjipto & Mukti mengemukakan bahwa ada beberapa kegiatan yang dilaksanakan dalam rangka manajemen pembinaan kesiswaan, yaitu : 1) penerimaan siswa, 2) pembinaan siswa, 3) promosi dan mutasi, dan 4) pemberhentian siswa dari sekolah.[2]

Dari kedua pendapat di atas, maka kita bisa mengambil sebuah alur aktifitas manajemen kesiswaan, yaitu:

a. Langkah pertama adalah perencanaan yang dilakukan untuk memperoleh atau menyusun program/rencana kerja.

b. Langkah kedua adalah pelaksanaan berupa implementasi dari program/rencana kerja yang telah ditetapkan dalam tahap perencanaan. Pelaksanaannya itu sendiri terdiri atas aktifitas-aktifitas ; penerimaan siswa (rekrutmen, seleksi, orientasi, penempatan dan pengelompokkan), pembinaan siswa (akademik dan non-akademik), evaluasi hasil (output) dan dampak (outcome).

c. Langkah ketiga adalah pengawasan yang dilakukan secara menyeluruh terhadap keseluruhan proses dan hasil pembinaan kesiswaan.
Langkah-langkah tersebut masing-masing akan dibahas secara lebih rinci berikut ini :

a. Perencanaan

Langkah awal dalam sebuah proses manajemen adalah melakukan proses perencanaan. Nanang Fatah mengartikan perencanan sebagai tindakan menetapkan terlebih dahulu apa yang akan dikerjakan, bagaimana mengerjakannya, apa yang harus dikerjakan dan siapa yang mengerjakannya.[3] Perencanaan sering juga disebut jembatan yang menghubungkan kesenjangan atau jurang antara keadaan masa kini dan keadaan yang diharapkan terjadi pada masa yang akan datang.

Selanjutnya Nanang Fatah juga menyebutkan bahwa dalam setiap perencanaan selalu terdapat tiga kegiatan yang meskipun dapat dibedakan, tetapi tidak dapat dipisahkan antara satu dengan yang lainnya dalam proses perencanaan. Ketiga kegiatan itu adalah (1) perumusan tujuan yang ingin dicapai; (2) pemilihan program untuk mencapai tujuan itu; (3) identifikasi dan pengerahan sumber yang jumlahnya selalu terbatas.

Masih berkaitan dengan pengertian perencanaan, Bateman & Snell mendefinsikan perencanaan sebagai berikut :

“Planning is the conscious, sistematic process of making decisions about goals and activities that an individual, group, work unit, or organization will pursue in the future.”[4]

Berdasarkan definisi tersebut, perencanaan diartikan sebagai usaha sadar berupa proses yang sistematik dalam membuat keputusan tentang aktifitas-aktifitas dan tujuan-tujuan yang akan dicapai oleh individu, kelompok, unit kerja, atau organisasi pada masa yang akan datang.

Berkaitan dengan perencanaan, Bateman & Snell menyebutkan bahwa karena perencanaan adalah sebuah proses pengambilan keputusan, maka perencanaan harus dilakukan melalui proses tertentu.[5] Proses perencanaan oleh Bateman & Snell dibagi dalam enam tahapan, yaitu :

Langkah pertama adalah analisis keadaan (situational analysis). Pada tahap ini, seorang perencana mengumpulkan, menginterpretasikan, dan menyimpulkan semua informasi yang relevan dengan isu-isu perencanaan yang dipertanyakan.

Langkah kedua adalah menetapkan alternatif tujuan dan rencana (alternative goals and plans). Pada langkah ini, berdasarkan analisis keadaan yang telah dirumuskan, proses perencanaan harus membuat alternatif-alternatif umum dari tujuan-tujuan yang hendak dicapai dan rencana-rencana kerja yang akan dilakukan untuk mencapai tujuan tersebut.

Langkah ketiga adalah mengevaluasi tujuan dan rencana (goal an plan evaluation). Pada langkah ini, pengambil keputusan harus mengevaluasi keuntungan, kerugian, dan dampak-dampak yang mungkin timbul dari setuap alternatif tujuan dan rencana yang ada.

Langkah keempat adalah memilih tujuan dan rencana (goal and plan selection). Pada langkah ini, seorang perencana berada dalam posisi untuk memilih alternatif tujuan dan rencana yang paling memungkinkan bisa mencapai harapan yang diinginkan.

Langkah kelima adalah mengimplementasikannya (implementation). Pada langkah ini, rencana-rencana kerja dengan tujuan-tujuan yang telah dipilih harus dilaksanakan.

Langkah keenam adalah memonitor dan mengontrol pelaksanaan ( monitor and control). Sebagai langkah terakhir, semua aktifitas implementasi dari rencana dan tujuan yang telah ditetapkan harus dimonitor dan dikontrol secara ketat supaya tidak terjadi penyimpangan dan penyelewengan yang bisa berakibat tidak tercapainya harapan yang dituju.[6]

Secara legalitas formal, pemerintah telah menetapkan standar kompetensi siswa dan indikator pencapaian keberhasilannya bagi siswa pada tingkat SMA sebagai standar yang harus dijadikan rujukan sekolah/lembaga/dinas terkait dalam penyelenggraan pendidikan pada jenjang SMA. Berdasarkan Standar Kompetensi Siswa yang ditetapkan pemerintah melalui Keputusan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia Nomor 053/U/2001 tentang Pedoman Penyusunan Standar Pelayanan Minimal Penyelenggaraan Persekolahan Bidang Pendidikan Dasar dan Menengah, siswa SMA diharapkan memiliki:

1. Akhlak dan budi pekerti yang luhur

2. Pengetahuan dan keterampilan dasar yang sesuai dengan kurikulum yang berlaku

3. Kesehatan dan kebugaran, apresiasi seni, dan dasar-dasar olah raga yang sesuai bakat dan minatnya

4. Kemampuan melanjutkan pendidikan kejenjang pendidikan yang lebih tinggi

Standar kompetensi tersebut kemudian diukur berdasarkan indikator keberhasilan (lembaga/sekolah) sebagai berikut :

1. Angka Pendaftaran Siswa mengalami peningkatan

2. Angka Putus Sekolah (APS) mengalami penurunan

3. Angka Mengulang (AMK) mengalami penurunan

4. Kelangsungan belajar siswa mengalami peningkatan

5. Prosentase kelulusan mencapai 90%

Mengacu kepada berbagai pandangan tentang efektivitas manajemen pembinaan kesiswaan, maka peneliti menetapkan indicator-indikator yang merupakan hasil kolaborasi dari berbagai pandangan tersebut untuk dijadikan ukuran efektivitas Manajemen kesiswaan pada jenjang SMA. Indikator-indikator tersebut terbagi ke dalam indikator efektivitas perencanaan, indikator efektivitas pelaksanaan, dan indikator efektivitas pengawasan.

1. Indikator Efektivitas Perencanaan :

Mengacu kepada berbagai pandangan tentang efektivitas manajemen pembinaan kesiswaan sebagaimana telah diuraikan sebelumnya, maka perencanaan pembinaan kesiswaan yang efektif ditandai dengan indikator-indikator sebagai berikut :

a) keterlibatan para personil yang berkompeten dalam penyusunan rencana

b) Proses penyusunan rencana sesuai dengan waktu yang telah ditetapkan

c) Penyusunan rencana kerja tidak menggunakan biaya terlalu banyak (sesuai anggaran)

d) Pemanfaatan sarana dan prasarana yang ada dapat memenuhi kebutuhan proses penyusunan rencana.

e) Penyusunan perencanaan memenuhi unsur-unsur dan langkah-langkah proses penyusunan perencanaan

f) Proses penyusunan perencanaan menghasilkan visi, misi, dan tujuan pembinaan kesiswaan yang jelas

g) Proses penyusunan perencanaan menghasilkan program/rencana kegiatan siswa yang jelas, terarah dan terstruktur

h) Proses penyusunan perencanaan menghasilkan struktur organisasi dan mekanisme pembagian tugas yang jelas dalam pembinaan kesiswaan

i) Proses penyusunan perencanaan menghasilkan program/rencana kegiatan siswa yang mencakup seluruh domain siswa

j) Proses penyusunan perencanaan menghasilkan standard dan target prestasi siswa yang diharapkan

2. Indikator Efektivitas Pelaksanaan :

Mengacu berbagai pandangan tentang efektivitas Manajemen kesiswaan sebagaimana yang telah diuraikan sebelumnya, maka pelaksanaan pembinaan kesiswaan yang efektif ditandai dengan indikator-indikator sebagai berikut :

a) Realisasi kegiatan sesuai dengan program kerja

b) Realisasi kegiatan memenuhi ketentuan-ketentuan yang berlaku

c) Realisasi kegiatan bersifat terbuka dan dapat diketahui oleh masyarakat

d) Realisasi kegiatan dipertanggungjawabkan kepada masyarakat

e) Realisasi kegiatan bersifat tidak diskriminatif

f) Penggunaan sumber daya dan biaya dapat mencapai tujuan

g) Adanya keterlibatan guru dan orang tua siswa terhadap kemajuan prestasi siswa

h) Adanya pendelegasian dan pembagian tugas serta tanggung jawab yang jelas dan tegas dari kepala sekolah kepada pembantunya

i) Adanya konsistensi dan kesepahaman antara para guru/ pembina/pelatih kegiatan siswa dalam merealisasikan program-program kegiatan sekolah

j) Adanya suasana belajar yang kondusif bagi para siswa untuk aktif terlibat

k) Adanya komunikasi yang aktif antara guru/Pembina/ pelatih kegiatan siswa dengan siswa

l) Adanya peraturan sekolah yang jelas, konsekuensi yang jelas, dan penerapan secara seragam

m) Realisasi kegiatan menghasilkan peningkatan prestasi siswa

n) Adanya penghargaan terhadap prestasi siswa

o) Adanya dokumen tentang kemajuan siswa dalam seluruh domainnya

p) Hasil dari realisasi kegiatan dapat diketahui oleh seluruh pihak yang berkompeten

q) Hasil kegiatan berdampak pada peningkatan Angka Pendaftaran Siswa

r) Hasil kegiatan berdampak pada menurunnya Angka Putus Sekolah (APS)

s) Hasil kegiatan berdampak pada menurunnya Angka Mengulang (AMK)
t) Hasil kegiatan berdampak pada meningkatnya kelangsungan belajar siswa


3. Indikator Efektivitas Pengawasan

Mengacu kepada berbagai kegiatan tentang efektivitas Manajemen kesiswaan sebagaimana telah diuraikan sebelumnya, maka pengawasan pembinaan kesiswaan yang efektif ditandai dengan indikator-indikator sebagai berikut :

a) Adanya standar pengukuran prestasi

b) Relevansi pelaksanaan pengawasan program kerja

c) Penggunaan sumber daya dan biaya dapat mencapai tujuan

d) Pengawasan mengacu kepada tindakan perbaikan

e) Pengawasan diarahkan pada penemuan fakta-fakta tentang bagaiman tugas-tugas dijalankan

f) Pengawasan yang dilakukan bersifat fleksibel preventif

g) Sistem pengawasan dapat dipakai oleh orang-orang yang terlibat dalam pengawasan

h) Pelaksanaan pengawasan mempermudah tercapainya tujua-tujuan

i) Tercapai target

j) Ditindaklanjuti

BY: Ahmad Abrar

GURU-GURU INDONESIA KINI SAATNYA BERWAWASAN GLOBAL

GURU-GURU INDONESIA KINI SAATNYA BERWAWASAN GLOBAL

Bahan ini cocok untuk Informasi / Pendidikan Umum bagian KESISWAAN / STUDENTS & LEARNING.
Nama & E-mail (Penulis): UMI MAIMANAH,S.Pd
Saya Guru di Kab.Pacitan Tawa Timur
Topik: PENTINGNYA PENGUASAAN TERHADAP TEKNOLOGI INFORMASI
Tanggal: 11 Mei 2008

OLEH: UMI MAIMANAH,S.Pd

Melalui forum ini Penulis termotivasi untuk menampilkan kembali Artikel dengan Tema tersebut diatas yaitu Pentingnya Penguasaan Tehnologi Infornasi Dan Komunikasi.Penulis sempat menulis cuplikan artikel tersebut pada Webb KTI Guru On-Line yang diselenggarakan oleh Direktur Profesi Pendidik dan Direktorat Jenderal Peningkatan Mutu Pendidik Dan Tenaga Kependidikan ( PMPTK )

Pada intinya guru sebagai pelaku Pendidikan hendaknya mempunyai kesadaran yang tinggi akan kompetensi dirinya dalam peningkatan sumber daya manusia dan tentunya kualitas pendidikan secara umum.Sehubungan dengan tuntutan jaman, pendidikan juga dihadapkan pada masalah baik yang bersifat lokal,nasional bahkan internasional.

Menyadari akan keadaan yang seperti itu tidaklah timbul dalam nurani seorang guru untuk lebih memiliki wawasan yang luas demi menjawab segala permasalahan tersebut.Untuk itu marilah kita sebagai guru harus bangkit dan merubah paradigma kita, ternyata dunia pendidikan di Indonesia ini sudah berkompetisi pada tahap yang GLOBALISASI.

Dengan situasi yang demikian ini sebagi guru kita harus mengembangkan cara pembelajaran kita untuk mengedepankan pendekatan materi yang bersumber pada tehnologi informasi dan komunikasi yang ada.

Penggunaan internet sebagai alat dan sumber materi pembelajaran hendaknya selalu menyertai kita sebagai guru dalam kegiatan Pembelajaran. Tetapi tentunya untuk menguasai internet harus mahir dulu dalam hal penguasaan operasional komputer paling tidak bisa menguasai program Microsoft Word.

Ternyata dengan berwawasan global ini Penulis mendapatkan banyak pengalaman yang sangat bermanfaat sekali baik demi peningkatan kompetensi sebagai guru dan tentunya akan memberikan imbas pada peningkatan Pembelajaran di Kelas dan secara Umum bagi Peningkatan Kualitas Pendidikan di Indonesia ini.

Selain itu guru-guru harus perlu meningkatkan kompetensi terhadap penguasaan Bahasa Inggris sebagai bahasa Internasional, karena banyak materi pelajaran yang ditulis dengan bahasa Inggris misalnya: mencari Lesson Plan ( Rencana Pembelajaran ) hanpir semua ditulis dengan menggunakan Bahasa Inggris.

Namun kita tidak usah pesimistis selama ada niat dan usaha pasti Tuhan akan menolong kita dan memberikan jalan keluar dengan beberapa kemudahan-kemudahan. Bukanlah dalam kesulitan teredapat kemudahan.Setelah kesulitan akan ada kemudahan ( Q.S. Alam Nasyrah ayat: 5-6 ).

Peran Sekolah Atasi Perilaku Membolos pada Remaja

Rabu, 18 Februari 2009 | 23:56 WIB

PERGI ke sekolah bagi remaja merupakan suatu hak sekaligus kewajiban sebagai sarana mengenyam pendidikan dalam rangka meningkatkan kehidupan yang lebih baik. Sayang, kenyataannya banyak remaja yang enggan melakukannya tanpa alasan yang dapat dipertanggungjawabkan. Banyak yang akhirnya membolos.

Perilaku yang dikenal dengan istilah truancy ini dilakukan dengan cara, siswa tetap pergi dari rumah pada pagi hari dengan berseragam, tetapi mereka tidak berada di sekolah. Perilaku ini umumnya ditemukan pada remaja mulai tingkat pendidikan SMP.

Salah satu penyebabnya terkait dengan masalah kenakalan remaja secara umum. Perilaku tersebut tergolong perilaku yang tidak adaptif sehingga harus ditangani secara serius. Penanganan dapat dilakukan dengan terlebih dahulu mengetahui penyebab munculnya perilaku membolos tersebut.

Karena berbagai sebab
Faktor pendukung munculnya perilaku membolos sekolah pada remaja ini dapat dikelompokkan menjadi 3, faktor sekolah, personal, serta keluarga. Faktor sekolah yang berisiko meningkatkan munculnya perilaku membolos pada remaja antara lain kebijakan mengenai pembolosan yang tidak konsisten, interaksi yang minim antara orang tua siswa dengan pihak sekolah, guru-guru yang tidak suportif, atau tugas-tugas sekolah yang kurang menantang bagi siswa.

Faktor personal misalnya terkait dengan menurunnya motivasi atau hilangnya minat akademik siswa, kondisi ketinggalan pelajaran, atau karena kenakalan remaja seperti konsumsi alkohol dan minuman keras.

Sedangkan faktor keluarga meliputi pola asuh orang tua atau kurangnya partisipasi orang tua dalam pendidikan anak (Kearney, 2001). Ketiga faktor tersebut dapat muncul secara terpisah atau berkaitan satu sama lain. Pemahaman terhadap sumber penyebab utama sangat penting untuk mengatasi masalah ini.

Sekolah penyebab
Tanpa disadari, pihak sekolah bisa jadi menyebabkan perilaku membolos pada remaja, karena sekolah kurang memiliki kepedulian terhadap apa yang terjadi pada siswa. Awalnya barangkali siswa membolos karena faktor personal atau permasalahan dalam keluarganya. Kemudian masalah muncul karena sekolah tidak memberikan tindakan yang konsisten, kadang menghukum kadang menghiraukannya.

Ketidakkonsistenan ini akan berakibat pada kebingungan siswa dalam berperilaku sehingga tak jarang mereka mencoba-coba membolos lagi. Jika penyebab banyaknya perilaku membolos adalah faktor tersebut, maka penanganan dapat dilakukan dengan melakukan penegakan disiplin sekolah. Peraturan sekolah harus lebih jelas dengan sangsi-sangsi yang dipaparkan secara eksplisit, termasuk peraturan mengenai presensi siswa sehingga perilaku membolos dapat diminimalkan.

Selanjutnya, faktor lain yang perlu diperhatikan pihak sekolah adalah kegiatan belajar mengajar yang berlangsung di sekolah. Dalam menghadapi siswa yang sering membolos, pendekatan individual perlu dilakukan oleh pihak sekolah. Selain terkait dengan permasalahan pribadi dan keluarga, kepada siswa perlu ditanyakan pandangan mereka terhadap kegiatan belajar di sekolah, apakah siswa merasa tugas-tugas yang ada sangat mudah sehingga membosankan dan kurang menantang atau sebaliknya sangat sulit sehingga membuat frustasi.

Tugas pihak sekolah dalam membantu menurunkan perilaku membolos adalah mengusahakan kondisi sekolah hingga nyaman bagi siswa-siswanya. Kondisi ini meliputi proses belajar mengajar di kelas, proses administratif serta informal di luar kelas.

Dalam seting sekolah, guru memiliki peran penting pada perilaku siswa, termasuk perilaku membolos. Jika guru tidak memperhatikan siswanya dengan baik dan hanya berorientasi pada selesainya penyampaian materi pelajaran di kelas, peluang perilaku membolos pada siswa semakin besar karena siswa tidak merasakan menariknya pergi ke sekolah.

Salah satu cara yang dapat dilakukan guru untuk memperhatikan siswa sehingga mereka tertarik datang dan merasakan manfaat sekolah adalah dengan melakukan pengenalan terhadap apa yang menjadi minat tiap siswa, apa yang menyulitkan bagi mereka, serta bagaimana perkembangan mereka selama dalam proses pembelajaran.

Dengan perhatian seperti itu siswa akan terdorong untuk lebih terbuka terhadap guru sehingga jika ada permasalahan, guru dapat segera membantu. Dengan suasana seperti itu siswa akan tertarik pergi ke sekolah dan perilaku membolos yang mengarah pada kenakalan remaja dapat dikurangi.

Tentu saja, pendekatan dari pihak sekolah ini hanya menjadi salah satu faktor saja. Faktor lainnya seperti faktor personal dan faktor keluarga juga tak kalah penting dan memberi kontribusi besar dalam perilaku membolos, sehingga pencarian mengenai penyebab yang pasti dari perilaku membolos perlu dilakukan terlebih dahulu sebelum kita menetapkan pihak mana yang layak melakukan intervensi.

Y. Titik Kristiyani, S.Psi. Staf pengajar Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma

Manajemen Kesiswaan

Sekolah Sebagai Suatu Sistem

Sekolah sebagai suatu sistem memiliki tiga aspek pokok yang sangat berkaitan erat dengan mutu sekolah, yakni: proses belajar mengajar, kepemimpinan dan manajemen sekolah, serta kultur sekolah.
Program aksi untuk peningkatan mutu sekolah secara konvensional senantiasa menekankan pada aspek pertama, yakni meningkatkan mutu proses belajar mengajar, sedikit menyentuh aspek kepemimpinan dan manajemen sekolah, dan sama sekali tidak pernah menyentuh aspek kultur sekolah. Sudah barang tentu pilihan tersebut tidak terlalu salah, karena aspek itulah yang paling dekat dengan prestasi siswa. Namun, sejauh ini bukti-bukti telah menunjukkan, bahwa sasaran peningkatan kualitas pada aspek PBM saja tidak cukup. Dengan kata lain perlu dikaji untuk melakukan pendekatan in-konvensional yakni, meningkatkan mutu dengan sasaran mengembangkan kultur sekolah.

Selain itu, sebagai suatu sistem, sekolah mempunyai komponen inti yang terdiri dari input, proses, dan output. Dimana ketiganya merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Karena perubahan pada satu komponen akan berpengaruh pada komponen yang lainnya. Jadi jika ingin mencapai tujuan yang diinginkan, ketiga komponen tersebut harus terlaksana dengan baik dan berjalan secara seimbang.


Ruang Lingkup Manajemen Kesiswaan

Pengelolaan siswa sebagai salah satu komponen dalam melaksanakan pendidikan ternyata sangat kompleks. Bila mengelola kurikulum atau sarana dan prasarana, contohnya, semua aspek yang tercakup dapat diprediksi dengan perhitungan-perhitungan eksak, tidak demikian halnya dalam menangani siswa. Sangat mungkin siswa baru dengan Nilai Ujian Nasional yang tinggi pada awalnya rajin sekolah, namun ketika sudah setengah tahun atau setahun bersekolah ada banyak perubahan yang terjadi dalam dirinya. Dari anak yang rajin menjadi pemalas dan semula anak alim, tahu-tahun menjadi suka berkelahi.

Ungkapan sederhana itu menggambarkan bahwa menangani siswa dibutuhkan kejelian, kepekaan, dan kemauan untuk mencurahkan perhatian secara khusus, sementara itu jumlah siswa mungkin sangat banyak. Untuk kepentingan itulah hal-hal yang bersangkut paut dengan permasalahan siswa harus dikuasai oleh pengelola sekolah.

Ada tugas-tugas yang cukup berat terkait mengelola kesiswaan. Di satu sisi sekolah harus mengembangkan dan meningkatkan potensi siswa yang dibawa dari rumah dan sengaja dititipkan ke sekolah agar dikelola dengan baik, sementara itu di sisi lain, sekolah juga menghadapi banyak kendala yang bertentangan dengan kemauan mulia tadi. Di satu sisi setelah seluk beluk penerimaan siswa baru dilaksanakan dengan baik anak akan dikembangkan bakat, minat, kreatifitas dan kemampuannya secara maksimal dengan melalui tata tertib dan kedisiplinan sebagai jembatan yang harus dilaluinya, tetapi di sisi sebaliknya pengaruh negatif yang datang dari televisi, bacaan, dan pergaulan masyarakat mereduksi upaya mulia itu. Untuk menangkal kondisi tidak ideal tadi, kegiatan belajar mengajar harus ditegakkan dengan baik, dan sistem laporan harus diberikan kepada orang tua, demi siswa terantar ke tujuan yang dicita-citakan. Semua komponen itu secara bersungguh-sungguh harus dikuasai pengeloa sekolah.

Kompetensi yang harus dipersiapkan dalam manajemen kesiswaan adalah :

  1. Penerimaan Siswa Baru
  2. Kegiatan Ekstrakurikuler
  3. Disiplin Siswa
  4. Kesiapan Belajar
  5. Sistem Pelaporan Perkembangan Siswa
www.scribd.com

Senin, 13 April 2009

ANALISIS ALAT EVALUASI PEMBELAJARAN DALAM BENTUK TEST TERTULIS BIDANG STUDI MAIL HANDLING

”ANALISIS ALAT EVALUASI PEMBELAJARAN DALAM BENTUK TEST TERTULIS BIDANG STUDI MAIL HANDLING (Observasi Terhadap Siswa Kelas X Program Keahlian Administrasi Perkantoran Sekolah Menengah Kejuruan Negeri 3 Bandung)”.

1.2. Batasan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah diatas maka penulis membatasi permasalahan, yaitu cara mengukur alat evaluasi.

1.3. Rumusan Permasalahan
Maka berdasarkan batasan masalah yang dibuat, rumusan masalah yang akan melandasi penulisan makalah ini adalah bagaimanakah cara mengukur alat evaluasi?

1.4. Maksud dan Tujuan Penulisan Laporan
Maksud dari observasi ini adalah untuk memperoleh pengetahuan dan melakukan kajian secara ilmiah tentang pengukuran alat evaluasi di Sekolah Menengah Kejuruan Negeri 3 Bandung. Secara terperinci tujuan yang ingin dicapai melalui observasi ini adalah untuk mengetahui bagaimana cara mengukur alat evaluasi.

BAB II
TINJAUAN TEORI

2.1 Tujuan atau Fungsi Penilaian
Dengan mengetahui makna penilaian ditinjau dari berbagai segi dalam sistem pendidikan, maka dengan cara lain dapat dikatakan dalam tujuan atau fungsi penilaian ada beberapa hal:
a. Penilaian berfungsi selektif
Guru mempunyai cara mengadakan seleksi atau penilaian terhadap siswanya. Penilaian sendiri mempunyai berbagai tujuan, antara lain:
1) Untuk memilih siswa yang dapat diterima di sekolah tertentu
2) Untuk memilih siswa yang dapat naik kelas atau tingkat berikutnya.
3) Untuk memilih siswa yang seharusnya mendapat beasiswa.
4) Untuk memilih siswa yang sudah berhak meninggalkan sekolah dan sebagainya.

b. Penilaian berfungsi diagnostik
Apabila alat yang digunakan dalam penilaian cukup memenuhi persyaratan, maka dengan melihat hasilnya, guru akan mengetalui kelemahan siswa. Di samping itu, diketahui pula sebab-musabab kelemahan itu. Jadi dengan mengadakan penilaian, sebenarnya guru mengadakan diagnosis kepada siswa tentang kebaikan dan kelemahannya. Dengan diketahuinya sebab-sebab kelemahan ini, akan lebih mudah mencari cara untuk mengatasinya.

c. Penilaian berfungsi sebagai penempatan
Sistem baru yang kini banyak dipopulerkan di negara barat, adalah sistem belajar sendiri. Belajar sendiri dapat dilakukan dengan cara mempelajari sebuah paket belajar, baik itu berbentuk modul maupun paket belajar yang lain. Sebagai alasan dari timbulnya sistem ini adalah adanya pengakuan yang besar terhadap kemampuan individual. Setiap siswa sejak lahirnya telah membawa bakat sendiri-sendiri sehingga pelajaran akan lebih efektif apabila disesuaikan dengan pembawaan yang ada. Akan tetapi disebabkan karena keterbatasan sarana dan tenaga, pendidikan yang bersifat individual kadang-kadang sukar sekali di laksanakan. Pendekatan yang lebih bersifat melayani perbedaan kemampuan adalah pengajaran secara kelompok. Untuk dapat menentukan dengan pasti di kelompok mana seorang siswa harus ditempatkan, maka digunakan suatu penilaian. Sekelompok siswa yang mempunyai hasil penilaian yang sama, akan berada dalam kelompok yang sama dalam belajar.

d. Penilaian berfungsi sebagai pengukur keberhasilan
Fungsi keempat dari penilaian ini dimaksudkan untuk mengetahui sejauh mana suatu program berhasil diterapkan. Keberhasilan program ditentukan oleh beberapa faktor yaitu faktor guru, metode mengajar, kurikulum, sarana, dan sistem administrasi.

KEGAGALAN GURU DALAM MELAKUKAN EVALUASI

Nama (Penulis): afdhee
E-mail (Penulis): afdhee@yahoo.com
Saya Mahasiswa di Pekanbaru
Tanggal: 15 Mei 2007

KEGAGALAN GURU DALAM MELAKUKAN EVALUASI SETIAP AKHIR PROSES PEMBELAJARAN DALAM KELAS

Kalau kita perhatikan dunia pendidikan, kita akan mengetahui bahwa setiap jenis atau bentuk pendidikan pada waktu-waktu tertentu selama satu periode pendidikan, selalu mengadakan evaluasi. Artinya pada waktu-waktu tertentu selama satu periode pendidikan, selalu mengadakan penilaian terhadap hasil yang telah dicapai, baik oleh pihak terdidik maupun oleh pendidik.

Demikian pula dalam satu kali proses pembelajaran, guru hendaknya menjadi seorang evaluator yang baik. Kegiatan ini dimaksudkan untuk mengetahui apakah tujuan yang telah dirumuskan itu tercapai atau belum, dan apakah materi pelajaran yang diajarkan sudah tepat. Semua pertanyaan tersebut akan dapat dijawab melalui kegiatan evaluasi atau penilaian.

Dengan menelaah pencapaian tujuan pengajaran, guru dapat mengetahui apakah proses belajar yang dilakukan cukup efektif memberikan hasil yang baik dan memuaskan atau sebaliknya. Jadi jelaslah bahwa guru hendaknya mampu dan terampil melaksanakan penilaian, karena dengan penilaian guru dapat mengetahui prestasi yang dicapai oleh siswa setelah ia melaksanakan proses belajar.

Dalam fungsinya sebagai penilai hasil belajar siswa, guru hendaknya terus menerus mengikuti hasil belajar yang telah dicapai oleh siswa dari waktu ke waktu. Informasi yang diperoleh melalui evaluasi ini merupakan umpan balik (feed back) terhadap proses belajar mengajar. Umpan balik ini akan dijadikan titik tolak untuk memperbaiki dan meningkatkan proses belajar mengajar selanjutnya. Dengan demikian proses belajar mengajar akan terus dapat ditingkatkan untuk memperoleh hasil yang optimal.

Khusus untuk mata pelajaran matematika hampir semua guru telah melaksanakan evaluasi di akhir proses belajar mengajar di dalam kelas. Namun hasil yang diperoleh kadang-kadang kurang memuaskan. Kadang-kadang hasil yang dicapai dibawah standar atau di bawah rata-rata.

Pada mata pelajaran yang lainnya kadang dilaksanakan pada akhir pelajaran, dan ada juga pada saat proses belajar mengajar berlangsung. Kapan waktu pelaksanaan evaluasi tersebut tidak menjadi masalah bagi guru yang penting dalam satu kali pertemuan ia telah melaksanakan penilaian terhadap siswa di kelas.

Tetapi ada juga guru yang enggan melaksanakan evaluasi di akhir pelajaran, karena keterbatasan waktu, menurut mereka lebih baik menjelaskan semua materi pelajaran sampai tuntas untuk satu kali pertemuan, dan pada pertemuan berikutnya di awal pelajaran siswa diberi tugas atau soal-soal yang berhubungan dengan materi tersebut.

Ada juga guru yang berpendapat, bahwa penilaian di akhir pelajaran tidak mutlak dengan tes tertulis. Bisa juga dengan tes lisan atau tanya jawab. Kegiatan dirasakan lebih praktis bagi guru, karena guru tidak usah bersusah payah mengoreksi hasil evaluasi anak. Tetapi kegiatan ini mempunyai kelemahan yaitu anak yang suka gugup walaupun ia mengetahui jawaban dari soal tersebut, ia tidak bisa menjawab dengan tepat karena rasa gugupnya itu. Dan kelemahan lain tes lisan terlalu banyak memakan waktu dan guru harus punya banyak persediaan soal. Tetapi ada juga guru yang mewakilkan beberapa orang anak yang pandai, anak yang kurang dan beberapa orang anak yang sedang kemampuannya utnuk menjawab beberapa pertanyaan atau soal yang berhubungan dengan materi pelajaran itu.

Cara mana yang akan digunakan oleh guru untuk evaluasi tidak usah dipermasalahkan, yang jelas setiap guru yang paham dengan tujuan dan manfaat dari evaluasi atau penialaian tersebut.

Karena ada juga guru yang tidak mengiraukan tentang kegiatan ini, yang penting ia masuk kelas, mengajar, mau ia laksanakan evaluasi di akhir pelajaran atau tidak itu urusannya. Yang jelas pada akhir semester ia telah mencapai target kurikulum.

Akhir-akhir ini kalau kita teliti di lapangan, banyak guru yang mengalami kegagalan dalam melaksanakan evaluasi di akhir pelajaran. Hal ini tentu ada faktor penyebabnya dan apakah cara untuk mengatasinya.

Penulisan makalah kritikan ini bertujuan untuk mengkritik kegagalan persekolah oleh guru dalam melakukan evaluasi di akhir pelajaran. Mencari faktor penyebabnya dan cara untuk mengatasinya.

Dalam makalah kritikan ini pembatasan masalahnya adalah :

- Kondisi permasalahan evaluasi di akhir pelajaran dipersekolahan pada saat ini
- Telaah teori/pendapat ahli
- Kegagalan pelaksanaan evaluasi di akhir pelajaran
- Kesimpulan kritikan dan saran

Menurut Drs. Moh. Uzer Usman dalam bukunya (Menjadi Guru Profesional hal 11) menyatakan bahwa :

Tujuan penilaian adalah :

1. Untuk mengetahui keberhasilan pencapaian tujuan
2. Untuk mengetahui penguasaan siswa terhadap materi pelajaran
3. Untuk mengetahui ketepatan metode yang digunakan
4. Untuk mengetahui kedudukan siswa di dalam kelompok/kelas
5. Untuk mengaklasifikasikan seorang siswa apakah termasuk dalam kelompok yang pandai, sedang, kurang atau cukup baik dibandingkan dengan teman-teman sekelasnya.

Dan menurut buku Mengukur Hasil Belajar (hal 72-74) yang di susun oleh Drs. Azhari Zakri menyatakan evaluasi bermanfaat bagi guru untuk :

1. Mengukur kompetensi atau kapabalitas siswa, apakah mereka telah merealisasikan tujuan yang telah ditentukan.

2. Menentukan tujuan mana yang belum direalisasikan sehingga dapat menentukan tindakan perbaikan yang cocok yang dapat diadakan

3. Memutuskan ranking siswa, dalam hal kesuksesan mereka mencapai tujuan yang telah disepakati.

4. Memberikan informasi kepada guru tentang cocok tidaknya strategi mengajar yang digunakan.

5. Merencanakan prosedur untuk memperbaiki rencana pengajaran dan menentukan apakah sumber belajar tambahan perlu digunakan.

6. Memberikan umpan balik kepada kita informasi bagi pengontrolan tentang sesuai tidaknya pengorganisasian belajar dan sumber belajar.

7. Mengetahui dimana letak hambatan pencapaian tujuan tersebut.

Atas dasar ini, faktor yang paling penting dalam evaluasi itu bukan pada pemberian angka. Melainkan sebagai dasar feed back (catu balik). Catu balik itu sendiri sangat penting dalam rangka revisi. Sebab proses belajar mengajar itu kontinyu, karenanya perlu selalu melakukan penyempurnaan dalam rangkan mengoptimalkan pencapaian tujuan.

Bila evaluasi merupakan catu balik sebagai dasar memperbaiki sistem pengajaran, sesungguhnya pelaksanaan evaluasi harus bersifat kontinyu. Setiap kali dilaksanakan proses pangajaran, harus dievaluasi (formatif). Sebaliknya bila evaluasi hanya dilaksanakan di akhir suatu program (sumatif) catu balik tidak banyak berarti, sebab telah banyak proses terlampaui tanpa revisi.

Oleh karena itu, agar evaluasi memberi manfaat yang besar terhadap sistem pengajaran hendaknya dilaksanakan setiap kali proses belajar mengajar untuk suatu topik tertentu. Namun demikian evaluasi sumatif pun perlu dilaksanakan untuk pengembangan sistem yang lebih luas.

Dari tujuan dan manfaat evaluasi yang di atas, masih ada pendapat lain dari manfaat evaluasi seperti yang dikemukakan oleh Noehi Nasution dalam bukunya Materi Poko Psikologi Pendidikan hal 167, menjelaskan bahwa kegiatan penilaian tidak hanya untuk mengisi raport anak didik, tetapi juga untuk :

1. Menseleksi anak didik
2. Menjuruskan anak didi
3. Mengarahkan anak didik kepada kegiatan yang lebih sesuai denganpotensi yang dimilikinya.
4. Membantu orang tua untuk menentukan hal yang paling baik untuk anaknya, untuk membina dan untuk mempersiapkan dirinya untuk masa depan yang lebih baik.

Dari tujuan dan manfaat evaluasi yang telah diikemukakan oleh para ahli di atas, yang penting dengan mengadakan evaluasi sebagai guru dapat mengetahui kelemahan-kelemahan atau kekurangannya dalan menyampaikan materi pelajaran. Sehingga ia dapat menata kembali atau menggunakan strategi baru dalam proses pembelajaran sehingga akan mendapatkan hasil yang lebih baik dari sebelumnya.

Di dalam telaah teori dan berdasarkan pendapat para ahli, telah mencantumkan tujuan serta manfaat evaluasi di akhir pelajaran. Selain menilai hasil belajar murid, evaluasi juga menilai hasil mengajar guru dengan kata lain, guru dapat menilai dirinya sendiri dimana kekurangan dan kelemahannya dalam mengajar, sehingga memperoleh hasil yang sesuai dengan apa yang diharapkan.

Jika dalam suatu kegiatan belajar, tujuan sudah diidentifikasi, biasanya dapat disusun suatu ters atau ujian yang akan digunakan untuk menentukan apakah tujuan tersebut dicapai atau tidak. Mager pernah mengatakan bahwa jika kita mempelajari dengan teliti semua tahap yang telah dibicarakan sampai saat ini, maka siswa sudah harus dapat melakukan apa yang telah direncanakan untuk mereka lakukan. Hasil dari penialaian dapat mendorong guru untuk memperbaiki keterampilan profesional mereka, dan juga membantu mereka mendapat pasilitas serta sumber belajar yang lebih baik.

Di dalam suatu tes belajar, sebagian besar nilai berdistribusi normal (yakni beberapa murid hasilnya baik, beberapa buruk, tetapi sebagian besar menunjukkan rata-rata). Dalam ter kriteria, sebagian tes berada di bagian atas. Hal ini lumrah, karena jika seorang guru memberikan tujuan yang berjumlah 10, misalnya, maka ia akan kecewa jika para siswa hanya merealisasikan 50% saja.

Tes dan ujian yang mengukur pencapaian tujuan, belum mendapat perhatian yang serius oleh guru dan instruktur, kecuali akhir-akhir ini. Program pendidikan dan latihan sebelum ini telah dianggap sudah berhasil tanpa perlu ada evaluasi. Sikap ini disebabkan oleh empat kesulitan utama yakni :

1. Tidak adanya kerangka konseptual yang sesuai bagi evaluasi.
2. Kurangnya ketepatan dalam perumusan tujuan dalam pendidikan
3. Kesulitan yang meliputi pengukuran pendidikan
4. Sifat program pendidikan itu sendiri.

Namun dengan adanya investasi besar-besaran dalam pendidikan, telah dirasakan kebutuhan akan suatu bentuk evaluasi.

Evaluasi dapat mengambil dua macam bentuk :

1. Ia dapat menilai cara mengajar seorang guru (dengan mengukur variabel-variabel seperti suatu kebiasaan-kebiasaan, humor, kepribadian, penggunaan papan tulis, teknik bertanya, aktivitas kelas, alat bantu audiovisual, strategi mengajar dan lain-lain.

2. Ia dapat menilai hasil belajar (yakni pencapaian tujuan belajar.

Selama ini guru mengadakan penilaian hanya untuk mencari angka atau nilai untuk anak didik. Apabila anak banyak memperoleh nilai dibawah 6 (enam), maka guru menganggap bahwa anak didiklah yang gagal dalam menyerap materi pelajaran atau materi pelajaran terlalu berat, sehingga sukar dipahami oleh anak. Kalau anak yang memperoleh nilai dibawah 6 mencapai 50% dari jumlah anak, hal ini sudah merupakan kegagalan guru dalam melaksanakan evaluasi di akhir pelajaran.

Apa penyebab hal ini bisa terjadi ?

1. Guru kurang menguasi materi pelajaran.
Sehingga dalam menyampaikan materi pelajaran kepada anak kalimatnya sering terputus-putus ataupun berbelit-belit yang menyebabkan anak menjadi bingung dan sukar mencerna apa yang disampaikan oleh guru tersebut.

Tentu saja di akhir pelajaran mareka kewalahan menjawab pertanyaan atau tidak mampu mengerjakan tugas yang diberikan. Dan akhirnya nilai yang diperoleh jauh dari apa yang diharapkan.

2. Guru kurang menguasai kelas,
Guru yang kurang mampu menguasai kelas mendapat hambatan dalam menyampaikan materi pelajaran, hal ini dikarenakan suasana kelas yang tidak menunjang membuat anak yang betul-betul ingin belajar menjadi terganggu.

3. Guru enggan mempergunakan alat peraga dalam mengajar.
Kebiasaan guru yang tidak mempergunakan alat peraga memaksa anak untuk berpikir verbal sehingga membuat anak sulit dalam memahami pelajaran dan otomatis dalam evaluasi di akhir pelajaran nilai anak menjadi jatuh.

4. Guru kurang mampu memotivasi anak dalam belajar sehingga dalam menyampaikan materi pelajaran, anak kurang menaruh perhatian terhadap materi yang disampaikan oleh guru, sehingga ilmu yang terkandung di dalam materi yang disampaikan itu berlalu begitu saja tanpa ada perhatian khusus dari anak didik.

5. Guru menyamaratkan kemampuan anak di dalam menyerap pelajaran.
Setiap anak didik mempunyai kemampuan yang berbeda dalam menyerap materi pelajaran. Guru yang kurang tangkap tidak mengetahui bahwa ada anak didinya yang daya serapnya di bawah rata-rata mengalami kesulitan dalam belajar.

6. Guru kurang disiplin dalam mengatur waktu.
Waktu yang tertulis dalam jadwal pelajaran, tidak sesuai dengan praktek pelaksanaannya,. Waktu untuk memulai pelajaran selalu telat, tetapi waktu istirahat dan jam pulang selalu tepat atau tidak pernah telat.

7. Guru enggan membuat persiapan mengajar atau setidaknya menyusun langkah-langkah dalam mengajar, yang disertai dengan ketentuan-ketentuan waktu untuk mengawali pelajaran, waktu untuk kegiatan proses dan ketentuan waktu untuk akhir pelajaran.

8. Guru tidak mempunyai kemajuan untuk nemambah atau menimba ilmu misalnya membaca buku atau bertukar pikiran dengan rekan guru yang lebih senior dan profesional guna menambah wawasannya.

9. Dalam tes lisan di akhir pelajaran, guru kurang trampil mengajukan pertanyaan kepada murid, sehingga murid kurang memahami tentang apa yang dimaksud oleh guru.

10. Guru selalu mengutamakan pencapaian target kurikulum.
Guru jarang memperhatikan atau menganalisa berapa persen daya serap anak terhadap materi pelajaran tersebut