Jumat, 13 Maret 2009

Pembiayaan Pendidikan Perlu Diatur Lebih Tegas

Rabu, 5 Maret 2008 | 20:39 WIB

JAKARTA, RABU - Pembiayaan pendidikan masih harus diatur lebih tegas lagi. Terutama dengan adanya istilah pendidikan gratis yang kian mencuat, terutama dalam kampanye-kampanye pemilihan pejabat.

Hal ini terungkap dalam diskusi publik bertajuk Membedah Persfektif Pembiayaan Pendidikan, Rabu (5/3). Salah satu pembicara, pengamat pendidikan sekaligus Sekretaris Jenderal Dewan Pendidikan DKI Jakarta, Agus Suradika mengungkapkan, terdapat kesenjangan yang lebar terhadap pemaknaan "pendidikan gratis." Masyarakat mempersepsi pendidikan gratis sebagai gratis untuk semua keperluan pendidikan mulai dari SPP, buku, tas, pakaian, bahkan ongkos ke sekolah.

Pemerintah sendiri tidak mendefinisikan dengan jelas makna dari pendidikan gratis. Pemerintah pusat mengimplementasikannya dalam bentuk BOS atau Bantuan Operasional Sekolah. Sedangkan, pemerintah daerah seperti di DKI Jakarta melaksanakannya dalam bentuk BOP atau Biaya Operasional Pendidikan. Pendidikan gratis di DKI Jakarta diterjemahkan sebagai BOS ditambah BOP, tanpa dirinci biaya dan bantuan itu untuk pembiayaan apa saja.

Agus Suradika mengatakan, sebetulnya jika pemerintah mewajibkan warga negara untuk belajar melalui program wajib belajar pendidikan dasar, berarti pendidikan merupakan barang publik. Dengan diposisikan sebagai barang publik, pemerintah berwenang untuk mengatur. Namun, agar memiliki kekuatan memaksa, pemerintah sudah seharusnya menanggung bagian terbesar dari dana pendidikan.

www.siskawulandari.co.cc

Anggaran Pendidikan RAPBN 2009 Akhirnya Capai 20%

Jakarta - Alokasi dana pendidikan dalam RAPBN 2009 akhirnya mendapat porsi yang sesuai dengan amanat konstitusi yakni sebanyak 20 persen dari APBN. Ini merupakan jawaban pemerintah atas putusan Mahkamah Konstitusi atas UU APBN tahun 2008 tanggal 13 Agustus lalu.

Pemerintah bisa mengalokasikan dana itu dengan mengurangi alokasi dana di pos lain antara lain pengurangan subsidi minyak dan energi. Asumi harga minyak dalam APBN diturunkan sehingga subsidi bisa diturunkan dan dananya disediakan untuk pos pendidikan.

"Sehingga Alhamdulillah di tengah krisis harga minyak anggaran pendidikan 20 persen dapat dipenuhi meskipun defisit anggaran harus dinaikkan sebesar Rp 20 triliun menjadi 1,9 persen dari PDB," ujar Presiden SBY dalam pembacaan Nota Keuangan dan RAPBN 2009 di Gedung DPR/MPR, Senayan, Jakarta, Jumat (15/8/008).

Dana itu akan digunakan antara lain untuk rehabilitasi gedung sekolah, membangun puluhan ribu kelas dan ribuan sekolah sekolah baru.

Bidang pendidikan dalam APBN selalu mendapat porsi tertinggi dalam beberapa tahun terakhir. Anggaran pendidikan sudah meningkat 2 kali lipat dari Rp 78 triliun pada tahun 2005 menjadi Rp 154,2 triliun pada 2008.

Kemudian seiring semangat desentralisasi pada tahun 2005 pemerintah memberikan hibah dalam bentuk Bantuan Operasional Sekolah (BOS), memberikan Bantuan Langsung Tunai, bantuan bagi siswa berprestasi dan perbaikan kesejahteraan dan kualitas kompetensi guru.

Kesejahteraan yang diterima guru golongan terendah pada tahun 2004 masih Rp 842,6 ribu per bulan kemudian naik 2 kali lipat menjadi Rp 1,854 juta per bulan pada tahun 2008.

"Kita berharap melalui program BOS dan partisipasi Pemda program wajib belajar 9 tahun dapat dilakukan secara efektif dengan biaya rendah dan terjangkau oleh masyarakat," ujarnya.Sumber : detikfinance.com, Foto: dok detikcom (ddn/qom)

Pembiayaan Pendidikan dalam Islam

Orang miskin dilarang sekolah!” Demikian jeritan pilu masyarakat saat
ini menanggapi mahalnya biaya pendidikan, khususnya biaya pendidikan
tinggi. Betapa tidak, pembiayaan sejumlah PTN yang berformat BHMN
(Badan Hukum Milik Negara) tak lagi sepenuhnya ditanggung negara.
Perguruan tinggi BHMN harus mencari biaya sendiri. Pembiayaan
pendidikan lalu dibebankan kepada mahasiswa. Sebagai contoh, untuk
masuk fakultas kedokteran sebuah PTN melalui “jalur khusus”, ada
mahasiswa yang harus membayar Rp 250 juta bahkan Rp 1 miliar
(www.wikimu.com).

Mahalnya biaya pendidikan itu buah dari kebijakan Pemerintah yang
mengadopsi ideologi penjajah kafir khususnya AS, yakni neo-
liberalisme. Sebagai salah satu varian Kapitalisme—seperti Keynesian
yang mengutamakan intervensi Pemerintah—neo-liberalisme justru
sebaliknya. Neo-liberalisme merupakan bentuk baru liberalisme klasik
dengan tema-tema pasar bebas, peran negara yang terbatas, dan
individualisme (Adams, 2004).

Sayang sekali. Pemerintah yang semestinya bertindak bagaikan
penggembala, telah berubah fungsi menjadi serigala buas yang tega
menghisap darah rakyatnya sendiri. Di tengah kesulitan hidup yang
berat karena kemiskinan, pendidikan mahal akibat tunduk pada agenda
neo-liberalisme global semakin melengkapi kegagalan Pemerintah sekular
saat ini.

Pendidikan Tanggung Jawab Negara

Beda dengan neo-liberalisme, dalam Islam pembiayaan pendidikan untuk
seluruh tingkatan sepenuhnya merupakan tanggung jawab negara. Seluruh
pembiayaan pendidikan, baik menyangkut gaji para guru/dosen maupun
infrastruktur serta sarana dan prasarana pendidikan, sepenuhnya
menjadi kewajiban negara. Ringkasnya, dalam Islam pendidikan
disediakan secara gratis oleh negara (Usus at-Ta‘lîm al-Manhaji, hlm.
12).

Mengapa demikian? Sebab, negara berkewajiban menjamin tiga kebutuhan
pokok masyarakat: pendidikan, kesehatan, dan keamanan. Berbeda dengan
kebutuhan pokok individu (sandang, pangan, dan papan) yang dijamin
secara tak langsung oleh negara, pendidikan, kesehatan dan keamanan
dijamin secara langsung oleh negara. Maksudnya, tiga kebutuhan ini
diperoleh secara cuma-cuma sebagai hak rakyat atas negara (Abdurahman
al-Maliki, 1963).

Dalilnya adalah as-Sunnah dan Ijmak Sahabat. Nabi saw. bersabda:

الإِمَامُ رَاعٍ وَهُوَ مَسْؤُوْلٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ

Imam bagaikan penggembala dan dialah yang bertanggung jawab atas
gembalaannya itu. (HR Muslim).

Setelah Perang Badar, sebagian tawanan musush yang tidak sanggup
menebus pembebasannya diharuskan mengajarkan baca tulis kepada sepuluh
anak-anak Madinah sebagai ganti tebusannya (Al-Mubarakfuri, 2005;
Karim, 2001).

Ijmak Sahabat juga telah terwujud dalam hal wajibnya negara menjamin
pembiayaan pendidikan. Khalifah Umar dan Utsman memberikan gaji kepada
para guru, muazin, dan imam shalat jamaah. Khalifah Umar memberikan
gaji tersebut dari pendapatan negara (Baitul Mal) yang berasal dari
jizyah, kharaj (pajak tanah), dan usyur (pungutan atas harta non-
Muslim yang melintasi tapal batas negara) (Rahman, 1995; Azmi, 2002;
Muhammad, 2002).

Sejarah Islam pun telah mencatat kebijakan para khalifah yang
menyediakan pendidikan gratis bagi rakyatnya. Sejak abad IV H para
khalifah membangun berbagai perguruan tinggi dan berusaha
melengkapinya dengan berbagai sarana dan prasarananya seperti
perpustakaan. Setiap perguruan tinggi itu dilengkapi dengan
“iwan” (auditorium), asrama mahasiswa, juga perumahan dosen dan ulama.
Selain itu, perguruan tinggi tersebut juga dilengkapi taman rekreasi,
kamar mandi, dapur, dan ruang makan (Khalid, 1994).

Di antara perguruan tinggi terpenting adalah Madrasah Nizhamiyah dan
Madrasah al-Mustanshiriyah di Baghdad, Madrasah an-Nuriyah di
Damaskus, serta Madrasah An-Nashiriyah di Kairo. Madrasah
Mustanshiriyah didirikan oleh Khalifah al-Mustanshir abad VI H dengan
fasilitas yang lengkap. Selain memiliki auditorium dan perpustakaan,
lembaga ini juga dilengkapi pemandian dan rumah sakit yang dokternya
siap di tempat (Khalid, 1994).

Pada era Khilafah Utsmaniyah, Sultan [Khalifah] Muhammad al-Fatih (w.
1481 M) juga menyediakan pendidikan secara gratis. Di Konstantinopel
(Istanbul) Sultan membangun delapan sekolah. Di sekolah-sekolah ini
dibangun asrama siswa, lengkap dengan ruang tidur dan ruang makan.
Sultan memberikan beasiswa bulanan untuk para siswa. Dibangun pula
sebuah perpustakaan khusus yang dikelola oleh pustakawan yang cakap
dan berilmu (Shalabi, 2004).

Namun, perlu dicatat, meski pembiayaan pendidikan adalah tanggung
jawab negara, Islam tidak melarang inisiatif rakyatnya, khususnya
mereka yang kaya, untuk berperan serta dalam pendidikan. Melalui wakaf
yang disyariatkan, sejarah mencatat banyak orang kaya yang membangun
sekolah dan universitas. Hampir di setiap kota besar seperti Damaskus,
Baghdad, Kairo, Asfahan, dan lain-lain terdapat lembaga pendidikan dan
perpustakaan yang berasal dari wakaf (Qahaf, 2005).

Di antara wakaf ini ada yang bersifat khusus, yakni untuk kegiatan
tertentu atau orang tertentu; seperti wakaf untuk ilmuwan hadis, wakaf
khusus untuk dokter, wakaf khusus untuk riset obat-obatan, wakaf
khusus untuk guru anak-anak, wakaf khusus untuk pendalaman fikih dan
ilmu-ilmu al-Quran. Bahkan sejarah mencatat ada wakaf khusus untuk
Syaikh Al-Azhar atau fasilitas kendaraannya. Selain itu, wakaf juga
diberikan dalam bentuk asrama pelajar dan mahasiswa, alat-alat tulis,
buku pegangan, termasuk beasiswa dan biaya pendidikan (Qahaf, 2005).

Walhasil, dengan Islam rakyat akan memperoleh pendidikan formal yang
gratis dari negara. Adapun melalui inisiatif wakaf dari anggota
masyarakat yang kaya, rakyat akan memperoleh pendidikan non-formal
yang juga gratis atau murah bagi rakyat.

Pembiayaan Pendidikan Dalam Khilafah

Sistem pendidikan formal yang diselenggarakan Negara Khilafah
memperoleh sumber pembiayaan sepenuhnya dari Negara (Baitul Mal).
Dalam sejarah, pada masa Khalifah Umar bin al-Khaththab, sumber
pembiayaan untuk kemaslahatan umum (termasuk pendidikan) berasal dari
jizyah, kharaj, dan usyur (Muhammad, 2002).

Terdapat 2 (dua) sumber pendapatan Baitul Mal yang dapat digunakan
membiayai pendidikan, yaitu: (1) pos fai’ dan kharaj—yang merupakan
kepemilikan negara—seperti ghanîmah, khumuûs (seperlima harta rampasan
perang), jizyah, dan dharîbah (pajak); (2) pos kepemilikan umum
seperti tambang minyak dan gas, hutan, laut, dan hima (milik umum yang
penggunaannya telah dikhususkan). Adapun pendapatan dari pos zakat
tidak dapat digunakan untuk pembiayaan pendidikan, karena zakat
mempunyai peruntukannya sendiri, yaitu delapan golongan mustahik zakat
(QS 9 : 60). (Zallum, 1983; an-Nabhani, 1990).

Jika dua sumber pendapatan itu ternyata tidak mencukupi, dan
dikhawatirkan akan timbul efek negatif (dharar) jika terjadi penundaan
pembiayaannya, maka Negara wajib mencukupinya dengan segera dengan
cara berhutang (qardh). Utang ini kemudian dilunasi oleh Negara dengan
dana dari dharîbah (pajak) yang dipungut dari kaum Muslim (Al-Maliki,
1963).

Biaya pendidikan dari Baitul Mal itu secara garis besar dibelanjakan
untuk 2 (dua) kepentingan. Pertama: untuk membayar gaji segala pihak
yang terkait dengan pelayanan pendidikan seperti guru, dosen,
karyawan, dan lain-lain. Kedua: untuk membiayai segala macam sarana
dan prasana pendidikan, seperti bangunan sekolah, asrama,
perpustakaan, buku-buku pegangan, dan sebagainya. (An-Nabhani, 1990).

Potensi Sumber Pembiayaan Pendidikan Saat ini

Telah dibahas sebelumnya ketentuan normatif mengenai sumber pembiayaan
pendidikan gratis dalam Khilafah. Pertanyaannya, mampukah kita
menggratiskan pendidikan sekarang dengan potensi sumber-sumber
pembiayaan saat ini?

Dalam APBN 2007, anggaran untuk sektor pendidikan adalah sebesar Rp
90,10 triliun atau 11,8 persen dari total nilai anggaran Rp 763,6
triliun. (www.tempointeraktif.com, 8/1/2007). Angka Rp 90,10 triliun
itu belum termasuk pengeluaran untuk gaji guru yang menjadi bagian
dari Dana Alokasi Umum (DAU) dan Dana Alokasi Khusus (DAK) untuk
bidang pendidikan, serta anggaran kedinasan.

Misalkan kita ambil angka Rp 90,1 triliun sebagai patokan anggaran
pendidikan tahun 2007 yang harus dipenuhi. Dengan melihat potensi
kepemilikan umum (sumber daya alam) yang ada di Indonesia, dana
sebesar Rp 90,1 triliun akan dapat dipenuhi, asalkan penguasa mau
menjalankan Islam, bukan neo-liberalisme. Berikut perhitungannya yang
diolah dari berbagai sumber:

Potensi hasil hutan berupa kayu [data 2007] sebesar US$ 2.5 miliar
(sekitar Rp 25 triliun).

Potensi hasil hutan berupa ekspor tumbuhan dan satwa liar [data 1999]
sebesar US$ 1.5 miliar (sekitar Rp 15 triliun).

Potensi pendapatan emas di Papua (PT. Freeport) [data 2005] sebesar US
$ 4,2 miliar (sekitar Rp 40 triliun)

Potensi pendapatan migas Blok Cepu pertahun sebesar US$ 700 juta – US$
1,2 miliar (sekitar Rp 10 triliun)

Dari empat potensi di atas saja setidak-tidaknya sudah diperoleh total
Rp 90 triliun. Kalau masih kurang, jalankan penegakan hukum dengan
tegas, insya Allah akan diperoleh tambahan sekitar Rp 54 triliun.
Sepanjang tahun 2006, ICW (Indonesia Corruption Watch) mencatat angka
korupsi Indonesia sebesar Rp 14,4 triliun. Nilai kekayaan hutan

Indonesia yang hilang akibat illegal logging tahun 2006 sebesar Rp 40
triliun.

Jadi, mewujudkan pendidikan gratis di Indonesia sebenarnya sangatlah
dimungkinkan. Yang menjadi masalah sebenarnya bukan tidak adanya
potensi pembiayaan, melainkan ketidakbecusan Pemerintah dalam
mengelola negara. Pendidikan mahal bukan disebabkan tidak adanya
sumber pembiayaan, melainkan disebabkan kesalahan Pemerintah yang
bobrok dan korup.

Pemerintah seperti ini jelas tidak ada gunanya. Yang dibutuhkan rakyat
adalah pemerintah yang amanah, yang setia pada Islam dan umatnya;
bukan pemerintah yang tidak becus, yang hanya puas menjadi komprador
asing dengan menjalankan neoliberalisme yang kafir. [KH M. Shiddiq Al-
Jawi]

Perguruan Tinggi BHMN: Kwalitas Lokal, Pembiayaan ala Amerika? - Brawijaya Forum

Postingan: 3 Mei 2007 07:04


Peringatan hari pendidikan nasional tanggal 2 Mei kemarin, diwarnai demo-demo mahasiswa dan anak-anak SMU yang menantang komersialisasi dan kapitalisme pendidikan yang mulai marak di Indonesia. Nuansa pendidikan mahal dan cenderung komersil, memang mulai dirasakan masyarakat kita terutama sejak Perguruan Tinggi papan atas (ITB, UGM, UI dan IPB) berstatus semi-swasta. Dengan status yang disebut BHMN (Badan Hukum Milik Negara), perguruan-perguruan tinggi itu diperbolehkan swakelola atas dana-dana yang diperolehnya dari masyarakat dan Negara.

Pada awalnya idea yang dimaksudkan untuk lebih meningkatkan kinerja Perguruan Tinggi di Indonesia itu, diterima wajar-wajar saja oleh masyarakat. Tetapi ketika mereka mulai menyadari konsekwensi perubahan itu pada akhirnya bermuara pada mahalnyya biaya untuk masuk ke pendidikan tinggi, masyarakat pun mulai bereaksi. Kini untuk masuk perguruan tinggi itu, tak cukup bermodal otak encer dengan cadangan dana pendidikan yang pas-pasan saja. Dibutuhkan dana puluhan juta rupiah untuk bisa masuk ITB, UI dan UGM misalnya. Teman saya contohnya, harus menyediakan uang masuk sekitar Rp 45 juta untuk memasukkan anaknya di ITB yang sudah diterima dengan jalur resmi. Bahkan, ada pula yang harus menyediakan dana hingga Rp 150 juta untuk memasukkan anaknya ke fakultas kedokteran.

Bila dibandingkan sekolah di luar negeri, katakanlah ke Singapore atau Malaysia, memang biaya studi ke sekolah favorit ini tak begitu mahal. Tapi sangatlah tidak proporsional membandingkan dua hal dimaksud, mengingat daya beli dan kemiskinan rakyat kita yang masih parah. Bagimanapun, sebenarnya tugas negaralah yang harus menyediakan pendidkan murah dan berkwalitas. Tujuan mulia NKRI didirikan, bukankah salah satunya adalah untuk mencerdaskan kehidupan bangsa? Ketika biaya mahal itu terjadi di perguruan Tinggi Swasta, rakyat masih bisa memaklumi. Tapi saat hal itu terjadi pula pada sekolah yang disediakan Negara, mereka tentu saja jadi sulit untuk memahaminya.

Sebenarnya di dunia ini ada dua model atau sistem penyelenggaraan pengelolaan pendidikan untuk masyarakat. Model Amerika dan model Eropa. Model Amerika penyelenggaraan pendidikan sepenuhnya dikelola masyarakat dan swasta, sehingga Negara tak banyak mencampuri urusan pembiayaan pendidikan disana (meskipun masih ada juga sekolah milik negara dengan label "State University" yang umumnya lebih murah karena ada subsidi pemerintah disana). Sementara model Eropa agak lebih konservatif, dimana Negara sepenuhnya memikul beban pembiayaan penyelenggaraan pendidikan masyarakatnya. Itulah sebabnya di beberapa negara Eropa, seperti Jerman dan Prancis, sekolah sampai lulus doktor sekalipun, bisa didapatkan dengan gratis. Makanya banyak mahasiswa Indonesia yang nekad cari sekolahan di negara-negara tersebut, terutama di Jerman misalnya.

Indonesia pasca reformasi sekarang ini, tampaknya ada gejala kalau Pemerintah mendorong arah pembiayaan pendidikan kita ke model Amerika. Biaya penyelenggaraan pendidikan sepenuhnya mau diserahkan kepada masyarakat dan swasta tanpa melihat dulu apakah prasyarat untuk menuju kesana sudah dipenuhi secara wajar. Di Amerika, perguruan tinggi yang dikelola swasta penuh memang mahal, apalagi yang top tentunya. Tetapi perguruan tinggi itu tak sepenuhnya menggantungkan biaya penyelenggaraan pendidikannya dari uang pangkal dan ung SPP mahasiswa. Pemasukan pihak universitas banyak datang dari para donatur dan orang-orang kaya disana yang peduli pendidikan serta dari perusahaan-perusahaan Amerika yang berskala dunia. Mereka juga mencari dana dari unit "profit center" universitas, antara lain dari hasil penjualan kepemilikan atas hak intelektual kampus ke dunia industri dan ke Pemerintahan.

Lain halnya di Indonesia, perguruan tinggi yang sudah merubah statusnya menjadi BHMN itu, umumnya mencari dana dengan mengandalkan sepenuhnya dari pemasukan yang berasal dari kantong mahasiswanya dan keluarganya. Akibatnya uang pangkal dan SPP pun mencapai puluhan bahkan ratusan juta rupiah untuk bisa diterima disana. Di Indonesia saat ini belum ada orang-orang kaya (semacam Bakrie, Jusuf Kalla, atau Tommy Soeharto) yang mau menjadi donatur tetap untuk universitas disini. Juga hampir tidak ada perusahaan nasional yang mau menyisihkan sebagian labanya untuk kepentingan pendidikan di negeri ini (coba saja tanya Gudang Garam, Sampoerna, Indofood dll, berapa sumbangan mereka untuk pergruan tinggi kita setahunnya?).

Juga kondisi internal perguruan tinggi itu sendiri, belum banyak yang mampu mengelola kekayaan intelektualnya untuk dijual keluar (atau memang produk yang bisa dijual dan dihasilkan itu yang memang minim sekali jumlahnya?). Dalam beberapa kasus, bahkan yang terjadi staff PT kita "mengelola sendiri" hasil temuan mereka dengan membuat perusahaan kecil-kecilan, lalu dijual ke luar. Padahal risetnya sepenuhnya dilakukan di laboratorium kampus yang notabene adalah milik negara.

Inilah yang saya maksudkan bahwa kita belum mempersiapkan prasyarat kondisi lingkungan perguruan tinggi kita seperti di Amerika, tapi langsung asal jiplak model itu dari sana tanpa pikir panjang. Hal ini hampir sama dengan kejadian ketika Perguruan Tinggi kita menjiplak sistem pendidikan model stratum ala Amerika di tahun 1980-an, tapi karena prakondisinya tidak dipersiapkan, akibatnya baru dirasakan sekarang dimana produksi sarjana di dalam negeri bagaikan kacang goreng jumlahnya, tapi sulit dijual ke pasar.

Begitu pula bila komersialisasi penyelenggaraan pendidikan yang sedang dirintis saat ini tak dikendalikan secara hati-hati. Akibatnya bisa fatal juga. Bukan tidak mungkin dimasa depan pendidikan kita kembali seperti zaman penjajahan Belanda dulu, hanya anak amtenaar dan orang berduit saja yang bisa menyekolahkan anak-anaknya di Perguruan Tinggi.

Dua tahun yang lalu (2005) kita pernah menolak RUU BHMPN ini. Tapi nampaknya mereka tidak begitu sayang dengan mahasiswa yang notabene anak-anaknya sendiri. Buktinya, diingatkan seperti itu mereka tetap adem ayem dan jalan terus menerapkan BHMN di Brawijaya hingga hari ini.

Yang bisa disimpulkan adalah, mereka dengan sadar telah membuat bodoh anak-anaknya sendiri. Gimana gak bodoh kalo gak bisa sekolah? Mau sekolah biayanya mahal khan? Padahal kita tahu bersama bahwa salah satu kunci masa depan bangsa terletak di tingkat pendidikan masyarakatnya, terutama generasi muda yang akan meneruskan tongkat estafet kepemimpinan ini. Hal itu berarti, dengan sangat terprogram dan terkonsep secara sistematis, bangsa ini sangat bersemangat untuk menghancurkan masa depannya sendiri..











Pembiayaan Pendidikan

Oleh Darmaningtyas

GUGATAN masyarakat terhadap pemerintah menyangkut tanggung jawabnya yang
rendah dalam pembiayaan pendidikan warga telah lama dilontarkan. Namun,
sampai sekarang belum ada perbaikan yang signifikan.

Kehendak yang baik baru muncul dalam konstitusi yang merupakan hasil
amandemen UUD 1945. Dalam Pasal 31 Ayat (4) UUD 1945 hasil amandemen itu
disebutkan, Negara memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya
dua puluh persen dari anggaran pendapatan dan belanja negara serta dari
anggaran pendapatan dan belanja daerah untuk memenuhi kebutuhan
penyelenggaraan pendidikan nasional.

Sayang, kehendak baik itu baru muncul sekarang saat kondisi keuangan negara
sedang carut-marut sehingga kita tidak bisa memaksa pemerintah mewujudkan
secepatnya, terlepas dari pemerintah masih korup, beban pemerintah
menanggung warisan utang rezim Orde Baru (Golkar) amat besar. Pada tahun
2002, misalnya, beban utang yang harus dibayar Rp 132,4 trilyun dengan
rincian utang luar negeri Rp 43,9 trilyun, utang dalam negeri Rp 88,4
trilyun (Kompas, 27/4/2002). Dengan kata lain, munculnya kehendak baik itu
tidak dibarengi kemampuan pemerintah untuk membiayainya.

Meski demikian, kita tidak boleh berhenti berteriak agar pemerintah tidak
terlena. Sebab, selain ada faktor obyektif (beban utang), juga ada faktor
subyektif yang membuat kita jengkel dan harus kritis terhadap pemerintah.
Faktor subyektif itu adalah tidak adanya kepekaan legislatif maupun
eksekutif atas penderitaan masyarakat dan ketidakadilan antarsesama warga
yang diciptakan penguasa. Terutama antara konglomerat pe ngemplang utang
dengan warga yang tidak punya akses perbankan sama sekali.


Tidak peka

Sikap pemerintah (legislatif dan eksekutif) yang kurang peka terhadap
penderitaan masyarakat atau tidak memiliki sense of crisis, terlihat jelas
dari perilaku mereka yang sama sekali tidak mencerminkan rasa empati
terhadap beban berat yang ditanggung warga. Gaya hidup sebagian besar aparat
pemerintah masih terlihat bermewah-mewah, berlumuran uang, dan hanya memburu
rente untuk diri sendiri maupun kelompoknya. Meskipun sebagian besar
masyarakat mengalami kesulitan untuk memperoleh sesuap nasi untuk hari ini,
tetapi jumlah mobil mewah di kota-kota besar terus bertambah dan di antara
pemilik mobil mewah itu adalah pejabat negara. Laporan KPKPN menunjukkan,
kekayaan para penyelenggara negara (legislatif, eksekutif, dan yudikatif)
meningkat tajam meski belum ada lima tahun berkuasa.

Rendahnya kemauan pemerintah untuk membiayai pendidikan juga terlihat
melalui kebijakan yang tidak adil, yaitu terlalu berpihak pada kepentingan
segelintir orang atau konglomerat. Di satu pihak pemerintah mengeluh tidak
memiliki anggaran cukup untuk pendidikan, tetapi di pihak lain pemerintah
bersedia nomboki bank-bank bangkrut mencapai ratusan trilyun rupiah. Dana
yang dialokasikan untuk melakukan restrukturisasi perbankan sejak awal
krisis (1997) sampai sekarang konon mencapai sekitar Rp 600 trilyun.

Tahun 2002 ini, Komite Kebijakan Sektor Keuangan (KKSK) menyetujui
penambahan biaya merger lima bank dari rencana Rp 3,9 trilyun menjadi Rp 4,6
trilyun (Kompas, 30/8/2002) atau 41,8 persen dari anggaran pendidikan yang
hanya Rp 11 trilyun. Ironis, untuk pendidikan pemerintah sulit memberi
tambahan, tetapi untuk nomboki bank-bank yang bangkrut mudah sekali.

Orang awam pun amat heran, mengapa pemerintah mati-matian nomboki bank-bank
bangkrut dan mengorbankan pendidikan puluhan juta anak? Salah satu
argumentasi yang sering dikemukakan adalah bila perbankan tidak
direstrukturisasi, masyarakat tidak akan percaya pada dunia perbankan.

Padahal, biarkan saja masyarakat tidak percaya pada perbankan kalau
perbankan kita nyatanya buruk kinerjanya. Buat apa masyarakat dipaksa
percaya dunia perbankan kalau mentalitas pengelolanya buruk? Lebih baik
sedikit bank tetapi sehat daripada 148 bank tetapi hanya membebani
masyarakat.

Pada masa krisis seperti sekarang, daripada pemerintah menghamburkan dana
untuk nomboki bank yang kenyataannya tidak menolong perekonomian negara,
lebih baik dana itu diinvestasikan untuk membiayai pendidikan dan kesehatan
warga. Memang investasi pendidikan tidak akan memberi hasil cepat, tetapi
paling tidak bangsa ini memiliki harapan bahwa 10-20 tahun ke depan generasi
yang akan tampil adalah generasi yang terdidik secara baik. Daripada dana
untuk nomboki bank-bank bangkrut, tetapi tidak memberi harapan apa-apa bagi
kita. Jika kita percaya adagium, bandit tetap bandit, maka meski mereka
sekarang ditomboki, ke depannya tetap akan mereka kemplang, masyarakat terus
dirugikan.

Jadi, secara obyektif memang ada persoalan kemampuan pemerintah yang
terbatas untuk membiayai pendidikan sebagai akibat warisan utang. Tetapi
secara subyektif juga ada ketidak-mauan pemerintah untuk sungguh-sungguh
memperhatikan pendidikan melalui alokasi anggaran pendidikan yang tinggi
atau kebijakan yang memungkinkan pendidikan menjalani reformasi secara
benar.


Masyarakat egois

Kemauan yang rendah untuk membiayai pendidikan juga ditunjukkan masyarakat,
terutama saat penerimaan murid baru. Ada dua fenomena mencolok. Pertama,
banyak orang kaya turut berebut masuk sekolah negeri dengan pertimbangan
biayanya lebih ringan dibanding bersekolah di swasta.

Kedua, bagi orang kaya yang mendaftar ke sekolah-sekolah swasta, mereka
selalu memperlihatkan perilaku yang sama. Saat negosiasi biaya pendidikan,
mereka ke sekolah dengan sesederhana mungkin, mengesankan sebagai orang
miskin. Dalam mengisi formulir, terutama menyangkut pekerjaan dan pendapatan
banyak yang dipalsu dengan harapan dapat keringanan biaya masuk dan uang
SPP. Namun, setelah diterima, mereka memperlihatkan sikap aslinya: pamer
kekayaan dengan berganti-ganti mobil, perhiasan, pakaian bermerek, dan
merayakan ulang tahun anaknya di hotel berbintang. Perilaku masyarakat yang
demikian, mencerminkan perilaku asosial, tidak memiliki kepekaan sosial bagi
sesama yang kurang beruntung, egois, hanya memikirkan diri sendiri.

Orang kaya yang memiliki kepekaan dan solidaritas sosial tinggi akan memberi
kesempatan mereka yang tidak mampu untuk antre lebih dulu masuk
sekolah-sekolah negeri yang biayanya ringan karena ditanggung pemerintah.
Dan mereka akan masuk ke sekolah-sekolah swasta yang biayanya ditanggung
sendiri. Dan mereka yang sejak awal memilih sekolah-sekolah swasta bermutu
pun tidak akan berpura-pura menjadi orang miskin untuk mendapat keringanan
biaya masuk maupun SPP. Sebaliknya mereka bersedia membayar biaya sekolah
sesuai kemampuannya. Sebab dengan membayar sesuai kemampuannya itu
sesungguhnya turut menolong bagi yang tidak mampu.

Apa yang dapat dilakukan bila menghadapi kemauan pemerintah dan masyarakat
yang rendah untuk membiayai pendidikan? Tidak lain terus bersuara agar baik
pemerintah maupun masyarakat yang kaya memiliki kemauan tinggi untuk
membiayai pendidikan dasar. Sembari mengingatkan kepada para penyelenggara
pendidikan, agar bila kelak pemerintah mengalokasikan dana yang tinggi untuk
pendidikan, tidak dikorup. Sebab meskipun anggaran pendidikan tinggi, tetapi
kalau korupsinya juga tinggi, tidak akan memberi makna apa-apa bagi
perbaikan mutu pendidikan di negeri ini.

Dimungkinkan Sekolah Gratis untuk Swasta

By Republika Newsroom
Kamis, 05 Maret 2009 pukul 20:36:00

YOGYAKARTA - Pendidikan itu hak warga negara. Pemenuhan hak ini tidak membedakan sekolah negeri atau swasta. Berdasar logika yang sama, kedua jenis sekolah itu harus gratis pula.Hal itu dikemukakan Anggota kelompok kerja (pokja) pendidikan gratis DIY Nurul Huda dalam diskusi bertema "Pendidikan Dasar Gratis yang dilakukan Lembaga Ombudsman Daerah (LOD) DIY,Kamis (5/3).

Penyelenggaraan pendidikan gratis bukan monopoli sekolah negeri, sekolah berstatus swasta pun harus melakukan kebijakan serupa.Pelaksanaan sekolah gratis ini sangat mungkin dibiayai dari anggaran daerah. kata dia.

Analisis terhadap APBD 2006/2007 kab/kota se-DIY, menunjukkan pembiayaan sekolah gratis perlu biaya kurang dari 10 persen dari totalanggaran. Apabila diperinci, pendidikan gratis di Kulonprogo hanya membutuhkan 6,30 persen, Bantul 9,13 persen, Gunungkidul 8,76 persen,Sleman 9,27 persen dan Kota Yogya membutuhkan 9,53 persen dari total anggaran.

Menurut Huda, berdasar penelitian itu, pendidikan gratis sekolah swasta dan negeri, bukan keniscayaan. ''Jadi pendidikan gratis sangat mungkin. Hal ini tergantung komitmen pemerintah,” jelas dia

Sementara itu Kepala Dinas Pendidikan kota Yogyakarta Drs Syamsuri, MM sependapat Huda. Namun pelaksanaan di lapangan dipastikan banyak kendala. Menurut dia, tidak semua sekolah swasta bersedia menjalankan pendidikan gratis.''Perlu waktu lama agar sekolah swasta mau melakukan pendidikan gratis. Sebab biaya ini berhubungan dengan kualitas. Tapi bukan tidak mungkin,''kata dia

Selama ini Dinas Pendiidkan Kota Yogyakarta mengijinkan sekolah swasta menarik biaya dari peserta didik. Besaran pembayaran ditentukan pengelola sekolah swasta.''Idealnya sekolah swasta bisa gratis. Tetapi sekolah swasta biasa menarik pembayaran dengan dalih pengembangan. Namun siswa miskin di swasta
harus gratisdan pemerintah bisa memberikan bantuan.Saat ini Pemkot Yogyakarta juga memberikan bantuan operasional sekolah (BOS) swasta, dari APBN maupun APBD, namun jumlahnya masih relatif sedikit ,''tutur dia..

Sekarang ini terdapat 383 sekolah swasta di Yogyakarta yang terdiri dari: 205 TK, 79 SD, 42 SMP, 37 SMA dan 20 SMK. Sementara sekolah yang berstatus negeri sebanyak 147 sekolah terdiri dari: 2 TK, 111 SD, 16 SMP, 11 SMA dan 7 SMK .Selanjutnya Ketua DPRD Kota Yogyakarta Arif Noor Hartanto mengatakan anggaran sederhana pembiayaan sekolah gratis sangat memungkinkan.''Sangat mungkin memenuhi 9,53 persen, tetapi kebijakan anggaran memiliki prioritas lain,'' kata dia. nri/kpo

Depdiknas Optimistis 2009 tidak Ada Lagi Sekolah Rusak

JAKARTA -- Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas) optimistis proses rehabilitasi dan renovasi sebanyak 135.194 ruang kelas dan sekolah rusak di tingkat sekolah dasar, Madrasah Ibtidaiah (MI) dan SD Luar Biasa (SDLB) di sejumlah provinsi di tanah air dapat dituntaskan pada tahun 2009 dengan perkiraan biaya sebesar Rp9,07 triliun. "Seiring dengan terpenuhinya alokasi anggaran 20 persen untuk sektor pendidikan, Presiden meminta agar memberikan prioritas salah satunya penuntasan wajib belajar (wajar) sembilan tahun. Untuk menuntaskan wajar sembilan tahun tersebut, maka upaya dilakukan antara lain melalui perbaikan sarana dan prasarana pendidikan," kata Direktur Pembinaan Tk dan SD Ditjen Manajemen Pendidikan Dasar dan Menengah (Mandikdasmen) Depdiknas, Mudjito Ak di Jakarta, Senin.

Data tahun 2003 meunjukkan terdapat 531.186 ruang kelas SD/MI atau sebesar 49,50 persen dari 1.073.103 ruang kelas SD/MI yang mengalami kerusakan sedang dan berat. "Perbaikan ruang kelas rusak baik kategori sedang dan berat untuk tingkat SD/MI telah dilakukan sejak tahun 2003 dan jumlahnya cukup besar yakni 531.186 ruang kelas (49,5 persen) di seluruh Indonesia," katanya.

Upaya yang dilakukan pemerintah untuk memperbaiki ruang kelas yang rusak adalah melalui program dana alokasi khusus (DAK) bidang pendidikan dan non DAK antara lain melalui dana bencana alam, APBN-P, dekonsentrasi, APBD I dan II. DAK bidang pendidikan dimaksud untuk menunjang pelaksanaan wajib belajar 9 tahun dan diarahkan untuk membiayai rehabilitasi ruang kelas SD/MI dan SDLB serta sekolah-sekolah setara SD yang berbasis keagamaan, meliputi juga sarana meubilernya, katanya.

Selanjutnya, selama lima tahun proses rehabilitasi dan renovasi dilaksanakan setiap tahun hingga tahun 2008 dengan rincian renovasi melalui dana alokasi khusus (DAK) sebanyak 295.548 ruang kelas (27,51 persen) dan dana non DAK sebanyak 100.444 ruang kelas (9,3 persen) sehingga sisa ruang kelas rusak pada tahun 2009 sebanyak 135.194 ruang kelas (12,6 persen). Lebih lanjut Mudjito mengatakan, sisa ruang kelas rusak pada tahun 2009 sebanyak 135.194 ruang kelas tersebar di semua propinsi di tanah air, yakni dengan tingkat kerusakan ringan antara 0-10 persen sebanyak 1.331 ruang kelas terdapat di 19 propinsi, antara lain Nanggroe Aceh Darussalam (NAD), Jambi, Maluku, NTB, Papua, Bangka Belitung, Sulawesi Utara, Kalimantan Tengah dan sebagainya.

Ruang kelas rusak sedang antara 10,2 hingga 20 persen sebanyak 2.282 ruang kelas terdapat di tiga propinsi yakni, Daereh Istimewa Yogyakarta (DIY), Sumatera Barat dan Nusa Tenggara Timur (NTT). Rusak antara 20,1 persen hingga 30 persen sebanyak 4.451 ruang kelas terdapat di tiga propinsi, yakni Kalimantan Barat, Kalimantan Selatan dan Sulawesi Selatan sedangkan kerusakan lebih dari 30 persen sebanyak 127.130 ruang kelas terdapat di 10 provinsi, yakni DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Sumatera Utara, Riau, Sumatera Selatan, Lampung, Kalimantan Timur dan Banten.

Lebih lanjut Mudjito mengatakan, dana yang dibutuhkan untuk renovasi satu ruang kelas rata-rata sebesar Rp50 juta namun seiring dengan kemungkinan terjadinya eskalasi harga, maka perhitungan anggaran untuk rehabilitasi ruang kelas rusak sebanyak 135.194 unit pada tahun 2009 mengalami peningkatan dari Rp9,1 triliun menjadi Rp12,4 triliun.
"Depdiknas optimis dengan tuntasnya rehabilitasi ruang kelas rusak pada tahun 2009, maka pada tahun berikutnya diarahkan pada peningkatan mutu pendidikan sesuai dengan Standar Nasional Pendidikan (SNP) seperti standar pembiayaan, standar kelulusan siswa dan sebagainya," tambahnya. ant/kp

Gresik Resmikan Sarana Pendidikan Senilai Rp 17,6 Miliar

Rabu, 4 Juni 2008 | 16:31 WIB

GRESIK, RABU- Bupati Gresik Robbach Ma'sum, Rabu (4/6), meresmikan 396 sarana pendidikan yang tersebar di 69 sekolah negeri dan 330 lembaga pendidikan swasta. Sarana pendidikan termasuk gedung sekolah, laboratorium, dan taman pendidikan Al Quran didanai Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Kabupaten Gresik senilai Rp 17,6 miliar. Penandatanganan prasasti dipusatkan di Aula Sunan Giri SMA Negeri 1 Gresik.

Robbach berharap, seluruh sarana yang dibangun bisa dimanfaatkan seoptimal mungkin dan sumber daya pendidik lebih ditingkatkan. Para kepala sekolah harus selalu memperbaiki manajemen pendidikan di sekolah masing-masing. "Kalau perlu metode dalam mempersiapkan materi pendidikan setiap guru selalu diperbaiki, jangan sampai tetap seperti zaman dulu," kata Robbach.

Sekretaris Daerah Kabupaten Gresik Husnul Khuluq menambahkan, kualitas pendidikan di Gresik saat ini lebih baik dibanding kota lain di Jawa Timur. Pada tahun 2007 biaya pendidikan yang dikeluarkan dari APBD sebesar Rp 77,216 miliar atau 22,5 persen dari APBD. "Jumlah tersebut tidak termasuk gaji guru sehingga Gresik menganggarkan pendidikan lebih dari 20 persen sebagaimana amanat undang-undang," kata Khuluq.

Menurut dia, biaya yang besar serta pembangunan sarana dan prasarana yang telah dianggarkan oleh APBD harus dimanfaatkan seoptimal mungkin. "Yang terpenting keterjangkauan pendidikan untuk golongan masyarakat tidak mampu. Jangan sampai ada anak orang tidak mampu tidak sekolah atau tak mampu membayar sekolah di Gresik," katanya.

Minim, Perpustakaan di Tingkat Pendidikan Dasar

Staf Perpustakaan Nasional merapikan catatan katalog koleksi data yang masih dilakukan dengan sistem katalogisasi manual di Perpustakaan Nasional Republik Indonesia, Salemba, Jakarta, Senin (6/10). Saat ini Perpustakaan Nasional sedang menyiapkan sistem digitalisasi pada materi maupun sistem database koleksi sehingga akan lebih mudah diakses dan dimanfaatkan masyarakat.
Selasa, 13 Januari 2009 | 22:52 WIB

JAKARTA, SELASA - Fasilitas perpustakaan sebagai salah satu sarana dan prasarana di sekolah yang penting untuk meningkatkan mutu pendidikan masih rendah. Kondisi perpustakaan yang memprihatinkan, baik soal ruangan perpustakaan maupun koleksi buku-buku yang tersedia, justru terjadi di tingkat pendidikan dasar.

Dari data Departemen Pendidikan Nasional, pada 2008 tercatat baru 32 persen SD yang memiliki perpustakaan, sedangkan di tingkat SMP sebanyak 63,3 persen. Pada tahun ini, pemerintah menargetkan penambahan ruang perpustakaan di sekolah-sekolah pada jenjang pendidikan dasar sekitar 10 persen.

Yanti Sriyulianti, Koordinator Education Forum, di Jakarta, Selasa (13/1), mengatakan pemenuhan sarana dan prasarana pendidikan yang sesuai standar nasional merupakan tanggung jawab pemerintah. Masyarakat bisa menuntut pemerintah pusat dan daerah jika terjadi kesenjangan mutu pendidikan akibat sarana dan prasarana yang timpang di antara perkotaan dan pedesaan atau di antara sekolah-sekolah yang ada.

Perpustakaan yang merupakan salah satu tempat untuk siswa dan guru mencari sumber belajar belum dianggap penting. Keberadaan perpustakaan hanya sekadar memenuhi syarat tanpa memperhatikan bagaimana seharusnya fasilitas perpustakaan disediakan dan bagaimana menjadikan perpustakaan sebagai tempat yang menyenangkan bagi siswa dan guru untuk menumbuhkan minat baca.

Abbas Ghozali, Ketua Tim Ahli Standar Biaya Pendidikan Badan Standar Nasional Pendidikan, mengatakan pendidikan dasar di Indonesia yang diamanatkan konstitusi untuk menjadi prioritas pemerintah masih berlangsung ala kadarnya. Pemerintah masih berorientasi pada menegejar angka statistik soal jumlah anak usia wajib belajar yang bersekolah, sedangkan mutu pendidikan dasar masih minim.

Padahal, soal sarana dan prasarana pendidikan di setiap sekolah untuk meningkatkan mutu pembelajaran itu sudah diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2007 tentang standar nasional sarana dan prasarana. Peraturan ini memberi arah soal keberadaan perpustakaan di setiap sekolah.

Sarana dan Prasarana Tunjang Kualitas Pendidikan

Jakarta – Peningkatan kualitas pendidikan di Indonesia selain tergantung kepada kualitas guru juga harus ditunjang dengan sarana dan prasarana pendidikan yang memadai.
Tapi sayangnya, hingga sekarang ini, sarana dan prasarana pendidikan yang dimiliki sebagian besar sekolah di Indonesia masih kurang memadai seperti fasiltas laboratorium dan sebagainya. Sarana dan prasarana ini padahal sangat vital dalam kegiatan proses belajar dan mengajar.
“Sebut saja peralatan laboratorium yang di sebagian daerah masih sangat minim dimiliki sekolah, apalagi kalau SMA itu milik swasta sungguh sangat jarang yang memiliki sarana dan prasarana seperti laboratorium yang memadai. Peralatan laboratorium sudah menjadi suatu keharusan bagi siswa SMA untuk memperdalam ilmunya,” ujar Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Sarana Pendidikan Indonesia (APSPI) Iskandar Zulkarnain pada Deklarasi APSPI, di Jakarta, Rabu (22/8).
Dia juga menambahkan sebagian besar alat peraga di sekolah-sekolah masih kurang terkontrol baik dari segi mutu, harga dan sikap pribadi para pengusaha sarana pendidikan. “APSPI mau membuktikan bahwa pengusaha bisa diatur dengan segala masalahnya, sebab kami merasakan bahwa pendidikan merupakan inti dari kehidupan manusia dan pendidikan pula merupakan inti dari sebuah pembangunan negara,” lanjutnya.
Iskandar mengatakan saat ini hampir 95 persen alat peraga pendidikan diproduksi di dalam negeri. Mengenai harga, dia mengatakan pihaknya tidak ingin terjadi perang harga diantara para anggotanya.
“Asosiasi ini sangat concern, ingin meningkatkan mutu pendidikan di Indonesia. Asosiasi ini juga bukan merupakan tempat kita bertender atau monopoli. Kita hanya ingin menyamakan visi, mutu dan harga,” katanya. Oleh sebab itu, salah satu tujuan dari APSPI ini adalah melindungi kepentingan anggota dan mencegah timbulnya persaingan usaha yang tidak sehat dalam dunia usaha sarana pendidikan.
Sementara itu, Direktur HAKI Ansori Silungan mengatakan alat peraga pendidikan merupakan salah satu yang dilindungi oleh hak cipta. Alat peraga merupakan salah satu unit kekayaan intelektual. Menurutnya, alat peraga dengan kreasi baru dapat memperjelas tujuan dari ilmu. Namun alat peraga tersebut juga harus yang kreatif.
Dia mengatakan, hingga saat ini ada 1000 alat peraga yang sudah diberikan hak cipta. “Sifat hak cipta ini dimohonkan untuk mendapatkan mereknya dan pendaftaran dilakukan hanya untuk mencatat saja. Dengan hak cipta tersebut diharapkan akan muncul kreasi-kreasi baru untuk alat peraga di bidang pendidikan,” ujarnya. (stevani elisabeth)

Jabodetabekjur Bersatu Membangun Sarana dan Prasarana Pendidikan dan Kesehatan

Oleh Elde Domahy Lendong, S.Fil

UPAYA untuk menyelaraskan pembangunan antara DKI Jakarta sebagai ibukota Negara Republik Indonesia dengan beberapa daerah penyangga di sekitarnya merupakan sesuatu yang wajar dan sangat mendesak dilakukan karena daerah-daerah yang berada berdekatan dan berbatasan langsung dengan DKI Jakarta akan menjadi penopang bagi Jakarta yang perkembangan pembangunannya semakin hari semakin pesat. Seiring dengan itu, persoalan multidimensi di Jakarta sebagai dampak dari pembangunan semakin mengkhawatirkan sehingga dibutuhkan kerjasama yang saling menguntungkan dengan daerah-daerah lain di sekitarnya.

Jika dilihat dari tingkat kepadatan penduduk, beban DKI Jakarta semakin berat karena setiat tahun ribuan orang datang dari berbagai daerah di Indonesia untuk mencari kerja dan menetap di daerah Jakarta. Belum lagi mengenai persoalan lingkungan, persoalan sampah, banjir, pengangguran, dan berbagai persoalan hukum dan keamanan lainnya.

Selain itu pusat-pusat perdagangan dan jasa masih tersentralisasi di Jakarta sehingga sebagian besar warga yang tinggal di daerah sekitar Jakarta setiap harinya bekerja di Jakarta, yang pada akhirnya menyebabkan terjadinya kemacetan lalu-lintas di mana-mana. Memang tak bisa dipungkiri, sebagian besar warga yang bekerja di Jakarta berdomisili di daerah-daerah penyangga seperti Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi dan Cianjur. Jadi tidak heran, jumlah penduduk di Jakarta pada malam hari yang hanya sebanyak 9,8 juta jiwa, bertambah menjadi 12 juta pada siang harinya.

Selain itu, perkembangan pembangunan antara DKI Jakarta dengan daerah-daerah sekitarnya terdapat perbedaan sangat jauh. Pembangunan sarana dan prasarana di Jakarta berkembang pesat, sementara di daerah sekitarnya berjalan stagnan. Hal inilah yang menjadi pemicu arus urbanisasi masyarakat ke Jakarta semakin meningkat sehingga pada akhirnya menimbulkan persoalan sosial yang begitu besar yang mau tidak mau harus ditangani oleh DKI Jakarta.

Untuk meminimalisasi dan mengatasi berbagai persoalan yang ada, maka tiga provinsi yakni Provinsi DKI Jakarta, Provinsi Banten dan Provinsi Jawa Barat mencanangkan kerjasama pembangunan yang saling menguntungkan. Dalam melaksanakan kerjasama pembangunan ini, tidak hanya pemerintah provinsi yang dilibatkan tetapi juga pemerintah kabupaten/kota yang berbatasan langsung dengan DKI Jakarta antara lain Kabupaten Bogor, Kota Bogor, Kota Depok, Kabupaten Bekasi, Kota Bekasi dan Kabupaten Cianjur, Provinsi Jawa Barat. Selain itu, Kabupaten Tangerang dan Kota Tangerang, Provinsi Banten.

Tanda Tangan MoU

Karena itu, dalam rangka merealisasikan dan mengimplementasikan program kerjasama ini, tiga gubernur dan delapan bupati/wali kota yakni Gubernur DKI Jakarta Sutiyoso, Gubernur Jawa Barat Danny Setiawan yang diwakili oleh Wakil Gubernur Jawa Barat Nu Man Hakim, Pelaksana Tugas (Plt) Gubernur Banten Hj Ratu Atut Chosiyah, Bupati Bogor Agus Utara Effendi, Wali Kota Bogor, Diani Budiarto, Bupati Tangerang H Ismet Iskandar, Wali Kota Tangerang H Wahidin Halim, Bupati Bekasi H M Saleh Manaf, Wali Kota Bekasi Akhmad Zurfaih, Pejabat Wali Kota Depok H Warna Sutarman dan Bupati Cianjur Wasidi Swastomo, di Hotel Imperial Aryaduta, Tangerang, Rabu (28/12) menandatangani Memorandum of Understanding (MoU) atau nota kesepahaman mengenai program kerjasama pembangunan tersebut.

Penandatanganan MoU itu merupakan tindak lanjut dari kesepakatan sebelumnya dari forum yang ada yakni 12 Agutus 2005 lalu, yang telah menyepakati program kerjasama prioritas di bidang pendidikan dasar dan pelayanan kesehatan dasar di wilayah Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi dan Cianjur (Jabodetabekjur). Kerjasama pembangunan ini lebih didasarkan pada realitas sosial yang ada, guna terciptanya keselarasan, keserasian dan kesimbangan dalam pembangunan di antara daerah-daerah tersebut.

Dalam nota kesepakatan bersama itu, ditegaskan bahwa kerjasama pembangunan itu bertujuan untuk meningkatkan pembangunan sarana dan prasarana pendidikan dasar dan kesehatan dasar di wilayah Jabodetabekjur. Penandatanganan nota kesepakatan bersama ini tentu menjadi awal yang baik untuk pembangunan di sektor yang lainnya. Memang, nota kesepakatan itu hanya mengatur soal program pembangunan pada tahun anggaran 2006 nanti. Namun, hal itu tidak berarti bahwa kerjasama pembangunan itu hanya berhenti di situ saja. Kerjasama pembangunan di wilayah Jabodetabekjur tentu akan berkelanjutan dan akan diperluas ke bidang-bidang lainnya.

Gubernur DKI Jakarta Sutiyoso, dalam sambutannya pada acara penandatanganan MoU kerjasama pembangunan di wilayah Jabodetabekjur, Rabu (28/12) malam mengungkapkan, program kerjasama pembangunan antara DKI Jakarta dan daerah-daerah sekitarnya didasarkan pada sebuah tuntutan pembangunan dan perkembangan yang ada. Kerjasama pembangunan itu sangat wajar dan wajib dilakukan demi terciptanya keseimbangan dan keselarasan dalam pembangunan.

Ada banyak persoalan pembangunan yang sebenarnya harus diatasi dan ditangani secara bersama. Memang selama ini sudah dilakukan tetapi hanya bersifat spontan dan tidak didasarkan pada suatu kesepakatan yang formal dan resmi. Persoalan banjir misalnya, hulunya terdapat di daerah-daerah di sekitar, namun dampaknya atau hilirnya justru terjadi di wilayah DKI Jakarta. Untuk mengatasi masalah banjir tentu harus ada kerjasama pembangunan, baik itu di tingkat hulu banjir itu maupun di tingkat hilirnya,” ungkap Sutiyoso.

Lebih lanjut, Sutiyoso memaparkan, berkaitan dengan penyakit seperti flu burung, antraks, atau polio dan penyakit demam berdarah dengue (DBD), penanganannya sebenarnya harus dilakukan secara bersama. Sebab, jika salah satu warga Bekasi terkena penyangkit flu burung maka dalam waktu yang tidak lama penyakit yang sama akan menyebar ke daerah lainnya termasuk DKI Jakarta.

“Kerjasama pembangunan ini tentu tidak hanya sebatas di bidang pendidikan dasar dan kesehatan dasar saja, tetapi juga di banyak bidang lainnya yang membutuhkan penanganan bersama. Sebab, persoalan yang terjadi di DKI Jakarta masih ada keterkaitannya dengan daerah sekitarnya. Prinsip kerjasama ini tentu saling menguntungkan sehingga terciptanya kesimbangan dan keselarasan pembangunan demi kesejahteraan masyarakat,” ujar Sutiyoso.

Ia mengatakan, pemerintah DKI Jakarta telah menyanggupi dan mengalokasikan anggaran pada tahun anggaran 2006 nanti dana sebesar Rp 24 miliar untuk empat kota dan empat kabupaten di sekitar Jakarta, yakni Kota Bogor, Kota Depok, Kota Tangerang, dan Kota Bekasi, serta Kabupaten Bogor, Kabupaten Bekasi, Kabupaten Tangerang dan Kabupaten Cianjur guna membangun sarana dan prasarana pendidikan dasar dan kesehatan dasar.

“Untuk pengawasan penggunaan dana tersebut sudah diatur dalam nota kesepakatan bersama yakni pemerintah daerah masing-masing dan dilaporkan ke Sekretariat Badan Kerjasama Pembangunan Jabotabek,” jelasnya.

Sutiyoso mengungkapkan, persoalan kemacetan yang sering terjadi di Jakarta juga ada kaitannya dengan daerah sekitar. Ia mengatakan, pada tahun 2004 jumlah kendaraan yang masuk ke Jakarta sebanyak 600 ribu per hari. Sedangkan pada tahun 2005 ini, jumlah kenadaraan yang masuk ke Jakarta mengalami peningkatan menjadi 750 ribu per hari.

“Ini persoalan bersama dan perlu adanya kerjasama dalam penanganannya. Untuk mengurangi jumlah kendaraan pribadi maka diperlukan pembangunan sarana dan prasarana angkutan umum yang lebih memadai dan representatif. Maka, kami dari pemerintah DKI Jakarta dalam tahun anggaran 2006 nanti akan membangun jalur kereta api monorel, dan juga kereta api bawah tanah sehingga semakin banyak warga yang memilih menggunakan angkutan umum daripada kendaraan pribadi. Untuk mambangun jalur kereta api ini tentu bekerjasama dengan daerah sekitar karena pembangunan jalur kereta api itu akan dihubungan dengan daerah sekitar Jakarta sehingga warga yang berdomisili di wilayah Bogor, Depok, Bekasi, Tangerang, dan Cianjur bisa langsung menggunakan jasa angkutan yang ada menuju Jakarta,” ungkapnya.

Namun Sutiyoso mengaku kecewa dengan telah terjadinya peristiwa Bojong. Pembangunan pabrik pengolahan sampah di Bojong, Bogor akhirnya terhenti karena kurangnya sosialisasi kepada masyarakat. Peristiwa itu telah menyebabkan rusaknya citra Indonesia di mata investor asing karena pembangunan pabrik pengelohan sampah di Bojong itu telah mengeluarkan dana dan saham yang begitu besar.

“Pembangunan pabrik pengelohan sampah di Bojong menggunakan teknologi tinggi dan ramah lingkungan. Keberadaan pabrik pengelolahan sampah itu juga akan menguntungkan masyarakat sekitar. Karena itu, untuk pabrik pengelohan sampah ini, kami akan bangun di wilayah Jakarta saja sebab hal yang sama kami lihat di Jepang, pabrik pengolahan sampah dibangun di tengah kota dan tidak menyebabkan terjadinya pencemaran lingkungan karena sudah menggunakan teknologi tinggi,” tegas Sutiyoso.

Sutiyoso juga berencana akan melakukan kerjasama di bidang agrobisnis sehingga hasil pertanian di wilayah Jawa Barat, Banten atau di Pulau Jawa lainnya bisa diolah untuk kepentingan ekspor.

“Selama ini kita membeli buah impor di mal atau di pasar. Padahal, di daerah kita sendiri memiliki buah yang berkualitas baik, namun karena tidak diolah dan dikemas dengan teknologi yang bagus sehingga tidak bisa diekspor. Sudah saatnya kita mengekspor buah ke luar negeri,” ujarnya.

Sementara itu, Plt Gubernur Banten Atut Chosiyah mengungkapkan, kerjasama pembangunan di wilayah Jabodetabekjur harus diperluas ke sektor-sektor lainnya termasuk soal keamanan. Ia berharap kerjasama pembangunan itu akan mempercepat pembangunan di wilayah Jabodetabekjur.

“Program kerjasama ini tentu sangat positif dan patut didukung. Karena itu kami meminta agar program kerjasama ini diperluas ke bidang-bidang lainnya. Kami mengakui, jika pembangunan sarana dan prasarana pendidikan dasar dan kesehatan dasar hanya mengandalkan pendapatan daerah Banten tentu akan berjalan lamban. Karena itu kami mengucapkan terima kasih atas bantun dari Pemerintah DKI Jakarta untuk membangunan sarana dan parasana pendidikan dan kesehatan dasar pada tahun anggaran 2006 nanti,” jelasnya.

Hal yang sama diungkapkan Wakil Gubernur Jawa Barat Nu Man Hakim, bahwa Pendapat Asli Daerah (PAD) Provinsi Jawa Barat hanya mencapai Rp 4 triliun. Namun Provinsi DKI Jakarta sudah mencapai Rp 73 triliun lebih. Ia mengungkapkan kerjasama pembangunan dengan DKI Jakarta tentu sangat membantu pembangunan di wilayah Jawa Barat.

“Kami berharap kerjasama ini akan berkelanjutan dan diperluas ke bidang-bidang lainnya,” ujarnya.

Sertifikasi Guru dan Permasalahannya


oleh : Akhmad Sudrajat

Guna meningkatkan mutu pembelajaran dan pendidikan di Indonesia, pemerintah telah meluncurkan berbagai kebijakan, salah satunya yang saat ini sedang hangat dibicarakan adalah kebijakan yang berkaitan dengan sertifikasi guru. Meski dengan kuota yang terbatas, di beberapa daerah,– melalui Dinas Pendidikan setempat- saat ini sedang menawarkan kepada guru-guru yang dianggap telah memenuhi syarat untuk diajukan sebagai calon peserta sertifikasi.

Sambutannya memang luar biasa, para guru sangat enthusias untuk mengikuti kegiatan seleksi ini, bahkan para guru yang diberi tugas tambahan sebagai kepala sekolah pun ramai-ramai ikut mendaftarkan diri sebagai calon peserta, terlepas apakah yang bersangkutan masih aktif atau tidak aktif menjalankan profesi keguruannya. Barangkali, motivasi yang sangat kuat untuk ikut serta dalam ajang ini adalah disamping keinginan memperoleh legitimasi sebagai guru profesional atau guru yang kompeten, tentunya daya tarik dari disediakannya tunjangan profesi dan fasilitas lainnya yang lumayan menggiurkan.

Dalam Permendiknas Nomor 18 tahun 2007 tentang Sertifikasi bagi Guru dalam Jabatan disebutkan bahwa sertifikasi bagi guru dalam jabatan dilaksanakan melalui uji kompetensi dalam bentuk penilaian portofolio alias penilaian kumpulan dokumen yang mencerminkan kompetensi guru, dengan mencakup 10 (sepuluh) komponen yaitu : (1) kualifikasi akademik, (2) pendidikan dan pelatihan, (3) pengalaman mengajar, (4) perencanaan dan pelaksanaan pembelajaran, (5) penilaian dari atasan dan pengawas, (6) prestasi akademik, (7) karya pengembangan profesi, (8) keikutsertaan dalam forum ilmiah, (9) pengalaman organisasi di bidang pendidikan dan sosial, dan (10) penghargaan yang relevan dengan bidang pendidikan.

Jika kesepuluh komponen tersebut telah dapat terpenuhi secara obyektif dengan mencapai skor minimal 850 atau 57% dari perkiraan skor maksimum (1500), maka yang bersangkutan bisa dipastikan untuk berhak menyandang predikat sebagai guru profesional, beserta sejumlah hak dan fasilitas yang melekat dengan jabatannya.Sayangnya, untuk memenuhi batas minimal 57 % saja ternyata tidak semudah yang dibayangkan, sejumlah permasalahan masih menghadang di depan.

Permasalahan tidak hanya dirasakan oleh para guru yang belum memiliki kualifikasi D4/S1 saja, yang jelas-jelas tidak bisa diikutsertakan, tetapi bagi para guru yang sudah berkualifikasi D4/S1 pun tetap akan menjumpai sejumlah persoalan, terutama kesulitan guna memenuhi empat komponen lainnya, yaitu komponen: (1) pendidikan dan pelatihan, (2) keikutsertaan dalam forum ilmiah, (3) prestasi akademik, dan (4) karya pengembangan profesi.

Saat ini, keempat komponen tersebut belum sepenuhnya dapat diakses dan dikuasai oleh setiap guru, khususnya oleh guru-guru yang berada jauh dari pusat kota. Frekuensi kegiatan pelatihan dan pendidikan, forum ilmiah, dan momen-momen lomba akademik relatif masih terbatas. Begitu juga budaya menulis, budaya meneliti dan berinovasi belum sepenuhnya berkembang di kalangan guru. Semua ini tentu akan menyebabkan kesulitan tersendiri bagi para guru untuk meraih poin dari komponen-komponen tersebut.Oleh karena itu, jika ke depannya kegiatan sertifikasi guru masih menggunakan pola yang sama, yaitu dalam bentuk penilaian portofolio dengan mencakup 10 (sepuluh komponen) seperti di atas, maka perlu dipikirkan upaya-upaya agar setiap guru dapat memperoleh kesempatan yang lebih luas untuk meraih poin dari komponen-komponen tersebut, diantaranya melalui beberapa upaya berikut ini:

  1. Meningkatkan kuantitas dan kualitas kegiatan pendidikan dan pelatihan, serta forum ilmiah di setiap daerah dan para guru perlu terus-menerus dimotivasi dan difasilitasi untuk dapat berpartisipasi di dalamnya. Memang idealnya, kegiatan pendidikan dan pelatihan atau mengikuti forum ilmiah sudah harus merupakan kebutuhan yang melekat pada diri individu guru itu sendiri, sehingga guru pun sudah sewajarnya ada kerelaan berkorban, baik berupa materi, tenaga dan fikiran guna dan mengikuti kegiatan pendidikan dan pelatihan maupun forum ilmiah. Tetapi harus diingat pula bahwa kegiatan pendidikan, pelatihan dan forum ilmiah tidak hanya untuk kepentingan individu guru yang bersangkutan semata, tetapi organisasi pun (baca: sekolah atau dinas pendidikan) didalamnya memiliki kepentingan. Oleh karena itu sudah sewajarnya jika sekolah atau dinas pendidikan berusaha seoptimal mungkin untuk memfasilitasi kegiatan pendidikan dan pelatihan atau forum ilmiah bagi para guru.
  2. Meningkatkan frekuensi moment lomba-lomba, baik untuk kalangan guru maupun siswa (guru akan diperhitungan dalam perannya sebagai pembimbing) di daerah-daerah, secara berjenjang mulai dari tingkat sekolah, kecamatan sampai dengan tingkat kabupaten dan bahkan bila memungkinkan bisa diikutsertakan pada tingkat yang lebih tinggi. Lomba bagi guru tidak hanya diartikan dalam bentuk pemilihan guru berprestasi yang sudah biasa dilaksanakan setiap tahunnya, tetapi juga bentuk-bentuk perlombaan lainnya yang mencerminkan kemampuan akademik, pedagogik dan sosio-personal guru. Kegiatan lomba bagi guru dan siswa pada tingkat sekolah sebenarnya jauh lebih penting, karena melalui ajang lomba pada tingkat sekolah inilah dapat dihasilkan guru-guru dan siswa terpilih, yang selanjutnya dapat diikutsertakan berkompetisi pada ajang lomba tingkat berikutnya. Agar kegiatan lomba pada tingkat sekolah memperoleh respons positif, khususnya dari para guru, sudah barang tentu sekolah harus mampu memberikan apresiasi yang seimbang dan menarik.
  3. Untuk menumbuhkan budaya menulis, kiranya perlu dipikirkan agar di setiap sekolah diterbitkan bulletin, majalah sekolah atau media lainnya (publikasi melalui internet atau majalah dinding, misalnya), yang beberapa materinya berasal dari para guru secara bergiliran. Dalam hal ini, untuk sementara bisa saja mengabaikan dulu apakah berbobot atau tidaknya karya tulisan mereka, yang diutamakan di sini adalah kemauan mereka untuk memulai menulis. Apabila memang ditemukan karya guru yang dipandang bagus dan berbobot, tidak ada salahnya untuk mencoba dikirimkan ke majalah atau koran-koran tertentu yang memungkinkan bisa dipertimbangkan untuk kepentingan penilaian sertifikasi.
  4. Untuk menanamkan budaya meneliti di kalangan guru, sekolah-sekolah dapat memfasilitasi dan memberikan motivasi kepada guru untuk melaksanakan kegiatan Penelitian Tindakan Kelas, bisa saja dalam bentuk lomba Penelitian Tindakan Kelas atau bahkan bila perlu dengan cara mewajibkan para guru untuk melaksanakan Penelitian Tindakan Kelas, minimal dalam satu tahun satu kali. Di samping untuk kepentingan penilaian sertifikasi, kegiatan Penelitian Tindakan Kelas terutama dapat dimanfaatkan untuk kepentingan perbaikan mutu proses pembelajaran guru yang bersangkutan, sehingga guru tidak terjebak dan berkutat dalam proses pembelajaran yang sama sekali tidak efektif. Tentunya, dalam hal ini setiap hasil karya dari setiap guru perlu diapresiasi secara seimbang pula, baik dalam bentuk materi maupun non materi.

Penyelenggaraan kegiatan pendidikan dan pelatihan, forum ilmiah dan aneka lomba akademik bagi guru, sudah pasti harus menjadi tanggung jawab pemerintah, khususnya pemerintah daerah melalui sekolah atau Dinas Pendidikan setempat. Akan tetapi, organisasi profesi, perguruan tinggi dan masyarakat setempat pun seyogyanya dapat turut ambil bagian untuk menyelenggarakan dan memfasilitasi kegiatan-kegiatan tersebut, sebagai wujud nyata dari tanggung jawab dan kepeduliannya terhadap pendidikan.

Dengan semakin terbukanya peluang-peluang untuk mengikuti berbagai kegiatan di atas, maka kesempatan guru untuk memperoleh poin penilaian dalam rangka mengikuti program sertifikasi pun semakin terbuka lebar. Bersamaan itu pula, niscaya kualitas guru dapat menjadi lebih baik dalam mengantarkan pendidikan dan sumber daya manusia Indonesia menuju ke arah yang lebih berkualitas.

Masih seputar permasalahan sertifikasi guru, khusus untuk para konselor/guru pembimbing tampaknya harus lebih bersabar lagi, karena hingga saat ini sepertinya pemerintah belum sepenuhnya menunjukkan keberpihakannya pada profesi ini. erbagai ketidakjelasan dalam kebijakan tentang konseling di sekolah, termasuk dalam hal sertifikasi konselor/guru pembimbing masih tetap dirasakan membingungkan, misalnya dalam menilai perencanaan dan pelaksanaan konseling, saat ini terpaksa masih menggunakan instrumen penilaian perencanaan dan pelaksanaan pembelajaran, yang sebenarnya isi dan indikatornya kurang sesuai dengan karakteristik tugas dan pekerjaan konseling.

Padahal, kita mencatat ada beberapa nama pakar konseling yang secara langsung atau tidak langsung terlibat dalam perumusan kebijakan sertifikasi guru ini, namun tampaknya suara mereka masih parau, sehingga tak mampu untuk mengangkat nasib profesinya sendiri. Selain itu, para konselor/guru pembimbing pun sebetulnya sudah memiliki organisasi tersendiri yang disebut Asosiasi Bimbingan dan Konseling Indonesia (ABKIN), tetapi tampaknya kekuatan organisasi ini pun masih belum memiliki taring yang tajam untuk memperjuangkan nasib anggota profesi dan eksisitensi profesinya sendiri dalam kebijakan pendidikan nasional kita. Meskipun dalam organisasi profesi ini banyak pakar konseling yang terlibat sebagai pengurus maupun anggota organisasi, tetapi rupanya kepakaran mereka tidaklah cukup untuk meyakinkan pemerintah dalam membuat kebijakan pendidikan yang benar-benar memiliki keberpihakan pada profesi konseling, yang pada akhirnya profesi konseling tetap saja dalam posisi yang termarjinalkan. Memang sungguh sangat tragis dan menyakitkan, dan itulah salah satu lagi bukti dari “keajaiban” kebijakan pendidikan kita !

Profesi Guru Digandrungi Lagi

Kamis, 8 Mei 2008 | 19:52 WIB

BANDUNG, KAMIS - Profesi guru atau tenaga pendidik kini mulai digandrungi lagi. Hal ini salah satunya terlihat dari tren peningkatan peminat calon mahasiswa di lembaga pendidik dan tenaga kependidikan, salah satunya Universitas Pendidikan Indonesia. Tren itu terutama mulai meningkat l ima tahun terakhir ini.

Berdasarkan data Humas Universitas Pendidikan Indonesia, peminat jalur PMDK (Penelusuran Minat dan Kemampuan) di UPI menunjukkan tren peningkatan dari tahun ke tahun. Tahun 2008 ini misalnya, total ada sebanyak 9.085 pendaftar dari 962 sekolah di seluruh Indonesia. Padahal, yang diterima hanya 1.065 orang.

Sebagai perbandingan, pada tahun sebelumnya, pendaftar PMDK hanyalah 6.800 orang. Pada tahun 2006, hanya 5.000 an. Lalu, pada 2005, bahkan hanya 1.900-an, kata Rektor UPI Prof. Sunaryo Kartadinata, Kamis (8/5). Menurutnya, tren peningkatan yang terlihat dari j alur PMDK ini menunjukkan profesi guru kini kembali mendapat tempat di masyarakat.

Tren meningkatnya peminat yang juga terjadi di jalur lain, baik Seleksi Nasional dan Ujian Masuk UPI (jalur swadaya), meningkatkan pula raw input (kualitas) dari calon mahasiswa. Daya saingnya kian tinggi. Prodi-prodi tertentu sudah sangat ketat, misalnya Matematika yang jumlah pendaftar mencapai 700 orang padahal daya tampung hanya 20-an, ucapnya. Sehingga, calon-calon guru yang dihasilkan diharapkan makin berkualitas.

Ia menduga, meningkatnya minat siswa menjadi guru terutama disebabkan mulai tingginya perhatian terhadap pendidikan, khususnya dari pemerintah. Profesi guru makin mendapat p engakuan di masyarakat secara sosial-psikologis melalui kehadiran Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen. Undang-undang ini secara tegas mengatur profesionalisme guru dan kesejahterannya.

Rektor Universitas Pasundan Prof. Didi Turmudzi b erpendapat senada, minat calon mahasiswa pada jurusan FKIP (Kependidikan) makin meningkat, terutama di kurun waktu 2000-an ini. Padahal, di tahun 1990-an, jurusan FKIP Unpas sempat lesu peminat. Tren peningkatan ini, ucapnya, dipengaruhi pula kondisi sosial-politik di Indonesia dan juga peningkatan kebutuhan tenaga guru.

Sejak Senin (5/5) Mei lalu, UPI membuka pendaftaran Ujian masuk UPI. Menurut Sunaryo, dalam beberapa hari ini, sudah sekitar seribu orang mendaftar. Tahun lalu, total pendaftar UM-UPI men capai sekitar 9.000 orang, termasuk Pendidikan Guru SD dan TK. Padahal, jalur khusus ini berkonsekuensi pada biaya. Dana Pengembangan Lembaga atau DPL misalnya, dikenakan antara Rp 3 juta hingga Rp 15 juta tergantung prodi. Lalu, ada lagi dana BPMA (Biaya Peningkatan Mutu Akademik) sebesar Rp 2,5 juta. Tetapi, biaya SPP (Sumbangan Pengembangan Pendidikan) hanya Rp 900 ribu per semester.

Karena terpaksa

Pupu Fauziah (19), salah seorang pendaftar, mengatakan, profesi guru memberi jaminan kerja yang santai, tidak terlalu berat. Penghasilan guru yang minim tidak terlalu mengkhawatirkannya. "Kan, kalau bisa diangkat jadi CPNS bisa lebihh baik, " tutur siswi asal Soreang yang mendaftar di Jurusan Bimbingan Konseling UPI ini.

Lain lagi dengan Indah Syarefa (18). Ia mengakui, pilihan mendaftar di jurusan pendidikan lebih karena terpaksa. Dianjurkan sama orangtua. Katanya, ke depan lebih cerah. Sebenarnya, mau kuliah di Akper (akademi keperawatan), tetapi tingginya kurang 2 centimeter, tutur mahasiswi program diploma pada salah satu lembaga pendidikan di Bandung ini.

Kinerja Guru

Bahan ini cocok untuk Semua Sektor Pendidikan
Nama & E-mail (Penulis): Isjoni
Saya Dekan di FKIP Universitas Riau

Guru adalah kondisi yang diposisikan sebagai garda terdepan dan posisi sentral di dalam pelaksanaan proses pembelajaran. Berkaitan dengan itu, maka guru akan menjadi bahan pembicaraan banyak orang, dan tentunya tidak lain berkaitan dengan kinerja dan totalitas dedikasi dan loyalitas pengabdiannya.

Sorotan tersebut lebih bermuara kepada ketidakmampuan guru didalam pelaksanaan proses pembelajaran, sehingga bermuara kepada menurunnya mutu pendidikan. Kalaupun sorotan itu lebih mengarah kepada sisi-sisi kelemahan pada guru, hal itu tidak sepenuhnya dibebankan kepada guru, dan mungkin ada system yang berlaku, baik sengaja ataupun tidak akan berpengaruh terhadap permasalahan tadi.

Banyak hal yang perlu menjadi bahan pertimbangan kita, bagaimana kinerja guru akan berdampak kepada pendidikan bermutu. Kita melihat sisi lemah dari system pendidikan nasional kita, dengan gonta ganti kurikulum pendidikan, maka secara langsung atau tidak akan berdampak kepada guru itu sendiri. Sehingga perubahan kurikulum dapat menjadi beban psikologis bagi guru, dan mungkin juga akan dapat membuat guru frustasi akibat perubahan tersebut. Hal ini sangat dirasakan oleh guru yang memiliki kemampuan minimal, dan tidak demikian halnya guru professional.

Selain itu, kinerja guru juga sangat ditentukan oleh output atau keluaran dari Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan (LPTK), sebagai institusi penghasil tenaga guru, LPTK juga memiliki tanggungjawab dalam menciptakan guru berkualitas, dan tentunya suatu ketika berdampak kepada pembentukan SDM berkualitas pula. Oleh sebab itu LPTK juga memiliki andil besar di dalam mempersiapkan guru seperti yang disebutkan diatas, berkualitas, berwawasan serta mampu membentuk SDM mandiri, cerdas, bertanggungjawab dan berkepribadian.

Harapan ke depan, terbentuk sinergi baru dalam lingkungan persekolahan, dan perlu menjadi perhatian adalah terjalinnnya kinerja yang efektif dan efisien disetiap struktur yang ada dipersekolahan. Kinerja terbentuk bilamana masing-masing struktur memiliki tanggungjawab dan memahami akan tugas dan kewajiban masing-masing.

Era reformasi dan desentralisasi pendidikan menyebabkan orang bebas melakukan kritik, titik lemah pendidikan akan menjadi bahan dan sasaran empuk bagi para kritikus, adakalanya kritik yang diberikan dapat menjadi sitawar sidingin di dalam memperbaiki kinerja guru. Akan tetapi tidak tertutup kemungkinan pula akan dapat membuat merah telinga guru sebagai akibat dari kritik yang diberikan, hal ini dapat memberikan dampak terhadap kinerja guru yang bersangkutan.

Apapun kritik yang diberikan, apakah bernilai positif atau negative kiranya akan menjadi masukan yang sangat berarti bagi kenerja guru. Guru yang baik tidak akan pernah putus asa, dan menjadi kritikan sebagai pemicu baginya di dalam melakukan perbaikan dan pembenahan diri di masa yang akan datang. Kritik terhadap kinerja guru perlu dilakukan, tanpa itu bagaimana guru mengetahui kinerja yang sudah dilakukannya selama ini, dengan demikian akan menjadi bahan renungan bagi guru untuk perbaikan lebih lanjut.

Indikator suatu bangsa sangat ditentukan oleh tingkat sumber daya manusianya, dan indicator sumber daya manusia ditentukan oleh tingkat pendidikan masyarakatnya. Semakin tinggi sumber daya manusianya, maka semakin baik tingkat pendidikannya, dan demikian pula sebaliknya. Oleh sebab itu indicator tersebut sangat ditentukan oleh kinerja guru.

Bila kita amati di lapangan, bahwa guru sudah menunjukan kinerja maksimal di dalam menjalan tugas dan fungsinya sebagai pendidik, pengajar dan pelatih. Akan tetapi barangkali masih ada sebagian guru yang belum menunjukkan kinerja baik, tentunya secara akan berpengaruh terhadap kinerja guru secara makro.

Ukuran kinerja guru terlihat dari rasa tanggungjawabnya menjalankan amanah, profesi yang diembannya, rasa tanggungjawab moral dipundaknya. Semua itu akan terlihat kepada kepatuhan dan loyalitasnya di dalam menjalankan tugas keguruannya di dalam kelas dan tugas kependidikannya di luar kelas. Sikap ini akan dibarengi pula dengan rasa tanggungjawabnya mempersiapkan segala perlengkapan pengajaran sebelum melaksanakan proses pembelajaran. Selain itu, guru juga sudah mempertimbangkan akan metodologi yang akan digunakan, termasuk alat media pendidikan yang akan dipakai, serta alat penilaian apa yang digunakan di dalam pelaksanaan evaluasi.

Kinerja guru dari hari kehari, minggu ke minggu dan tahun ke tahun terus ditingkatkan. Guru punya komitmen untuk terus dan terus belajar, tanpa itu maka guru akan kerdil dalam ilmu pengetahuan, akan tetap tertinggal akan akselerasi zaman yang semakin tidak menentu. Apalagi pada kondisi kini kita dihadapkan pada era global, semua serba cepat, serba dinamis, dan serba kompetitif.

Kinerja guru akan menjadi optimal, bilamana diintegrasikan dengan komponen persekolahan, apakah itu kepala sekolah, guru, karyawan maupun anak didik. Kinerja guru akan bermakna bila dibarengi dengan nawaitu yang bersih dan ikhlas, serta selalu menyadari akan kekurangan yang ada pada dirinya, dan berupaya untuk dapat meningkatkan atas kekurangan tersebut sebagai upaya untuk meningkatkan kearah yang lebih baik. Kinerja yang dilakukan hari ini akan lebih baik dari kinerja hari kemarin, dan tentunya kinerja masa depan lebih baik dari kinerja hari ini. Semoga.

Guru Tidak Akan Disamakan Dengan Buruh

Rabu, 18 Februari 2009 | 02:55 WIB

SEMARANG,SELASA-Menteri Pendidikan Bambang Sudibyo memastikan ketentuan perjanjian kerja seperti yang tertuang dalam Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan (UU BHP) tidak akan membuat profesi guru disamakan dengan buruh. Untuk itu, undang-undang ketenagakerjaan tidak dibutuhkan untuk mengaturnya.

"Perjanjian kerja dibutuhkan supaya pemerintah bisa membayar tunjangan fungsional dan tunjangan profesi kepada guru," ujar Menteri Pendidikan Nasional Bambang Sudibyo dalam sosialisasi kebijakan pendidikan gratis untuk pendidikan dasar dan UU BHP, di Kota Semarang, Jawa Tengah, Selasa (17/2).

Dengan menggunakan perjanjian kerja, menurut Mendiknas, guru yang merupakan pegawai tetap akan terikat kepada lembaga pendidikan dan memiliki kepastian dalam perolehan tunjangan. "Undang-Undang yang akan mengaturnya adalah UU guru dan dosen bukan UU ketenagakerjaan," katanya.

Dalam Pasal 55 UU Nomor 9 Tahun 2009 tentang BHP, istilah guru diganti dengan pendidik. Setiap pendidik dan tenaga kependidikan wajib membuat perjanjian kerja dengan pemimpin organ BHP.

Mendiknas menuturkan, terdapat perbedaan signifikan antara perjanjian kerja yang tertuang dalam UU Nomor 9 Tahun 2009 tentang BHP dengan UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan tersebut.

Dalam UU BHP, perjanjian kerja ditujukan untuk memberi kepastian status pendidik sebagai profesi dan tenaga kependidikan. "Sedangkan dalam UU Ketenagakerjaan, perjanjian kerja hanya memberi kepastian hubungan industrial antara majikan pencari laba dan buruh," ucapnya.

Mendiknas mengatakan, adanya perjanjian kerja justru akan memacu profesionalisme guru karena menuntut adanya kualifikasi tertentu dan sertifikasi agar bisa dikontrak oleh BHP yang bersangkutan.

"Guru yang dikontrak harus merupakan pegawai tetap. Kalau tidak pegawai tetap, guru yang bersangkutan bisa pindah kapan saja," ucapnya.

Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi Fasli Jalal mengatakan, guru yang akan dimasukkan dalam perjanjian kerja oleh BHP adalah pekerja purnawaktu bukan paruh waktu. " Jadi, hanya guru yang sudah terdaftar di BHP tersebut yang bisa dimasukkan dalam kontrak," ucapnya.

Mulai diterima

Terkait dengan rekapitulasi hasil sosialisasi yang telah dilakukan, Mendiknas mengungkapkan, sudah banyak kalangan yang akhirnya mulai menerima adanya UU BHP karena basis pemahaman yang memadai. " Yang masih menolak hanya dari kalangan mahasiswa," ucapnya.

Mendiknas menambahkan, dari 116 perwakilan badan eksekutif mahasiswa yang telah berbicara secara langsung dengannya mengenai UU BHP , hanya satu yang mengapresiasi, 63 perwakilan tidak berkomentar, lima perwakilan kritis terhadap UU tersebut, 42 menolak dengan alasan komersialisasi perguruan tinggi, dan lima menolak karena apriori.

Manajemen Kinerja Guru

Oleh : Akhmad Sudrajat

Dalam perspektif manajemen, agar kinerja guru dapat selalu ditingkatkan dan mencapai standar tertentu, maka dibutuhkan suatu manajemen kinerja (performance management). Dengan mengacu pada pemikiran Robert Bacal (2001) dalam bukunya Performance Management di bawah ini akan dibicarakan tentang manajemen kinerja guru.

Robert Bacal mengemukakan bahwa manajemen kinerja, sebagai :
“… sebuah proses komunikasi yang berkesinambungan dan dilakukan dalam kemitraan antara seorang karyawan dan penyelia langsungnya. Proses ini meliputi kegiatan membangun harapan yang jelas serta pemahaman mengenai pekerjaan yang akan dilakukan. Ini merupakan sebuah sistem. Artinya, ia memiliki sejumlah bagian yang semuanya harus diikut sertakan, kalau sistem manajemen kinerja ini hendak memberikan nilai tambah bagi organisasi, manajer dan karyawan”.

Dari ungkapan di atas, maka manajemen kinerja guru terutama berkaitan erat dengan tugas kepala sekolah untuk selalu melakukan komunikasi yang berkesinambungan, melalui jalinan kemitraan dengan seluruh guru di sekolahnya. Dalam mengembangkan manajemen kinerja guru, didalamnya harus dapat membangun harapan yang jelas serta pemahaman tentang :
Fungsi kerja esensial yang diharapkan dari para guru.

  1. Seberapa besar kontribusi pekerjaan guru bagi pencapaian tujuan pendidikan di sekolah.melakukan pekerjaan dengan baik”
  2. Bagaimana guru dan kepala sekolah bekerja sama untuk mempertahankan, memperbaiki, maupun mengembangkan kinerja guru yang sudah ada sekarang.
  3. Bagaimana prestasi kerja akan diukur.
  4. Mengenali berbagai hambatan kinerja dan berupaya menyingkirkannya.

Selanjutnya, Robert Bacal mengemukakan pula bahwa dalam manajemen kinerja diantaranya meliputi perencanaan kinerja, komunikasi kinerja yang berkesinambungan dan evaluasi kinerja.
Perencanaan kinerja merupakan suatu proses di mana guru dan kepala sekolah bekerja sama merencanakan apa yang harus dikerjakan guru pada tahun mendatang, menentukan bagaimana kinerja harus diukur, mengenali dan merencanakan cara mengatasi kendala, serta mencapai pemahaman bersama tentang pekerjaan itu.

Komunikasi yang berkesinambungan merupakan proses di mana kepala sekolah dan guru bekerja sama untuk saling berbagi informasi mengenai perkembangan kerja, hambatan dan permasalahan yang mungkin timbul, solusi yang dapat digunakan untuk mengatasi berbagai masalah, dan bagaimana kepala sekolah dapat membantu guru. Arti pentingnya terletak pada kemampuannya mengidentifikasi dan menanggulangi kesulitan atau persoalan sebelum itu menjadi besar.

Evaluasi kinerja adalah salah satu bagian dari manajemen kinerja, yang merupakan proses di mana kinerja perseorangan dinilai dan dievaluasi. Ini dipakai untuk menjawab pertanyaan, “ Seberapa baikkah kinerja seorang guru pada suatu periode tertentu ?”. Metode apapun yang dipergunakan untuk menilai kinerja, penting sekali bagi kita untuk menghindari dua perangkap. Pertama, tidak mengasumsikan masalah kinerja terjadi secara terpisah satu sama lain, atau “selalu salahnya guru”. Kedua, tiada satu pun taksiran yang dapat memberikan gambaran keseluruhan tentang apa yang terjadi dan mengapa. Penilaian kinerja hanyalah sebuah titik awal bagi diskusi serta diagnosis lebih lanjut.

Sementara itu, Karen Seeker dan Joe B. Wilson (2000) memberikan gambaran tentang proses manajemen kinerja dengan apa yang disebut dengan siklus manajemen kinerja, yang terdiri dari tiga fase yakni perencanaan, pembinaan, dan evaluasi.
Perencanaan merupakan fase pendefinisian dan pembahasan peran, tanggung jawab, dan ekpektasi yang terukur. Perencanaan tadi membawa pada fase pembinaan,– di mana guru dibimbing dan dikembangkan – mendorong atau mengarahkan upaya mereka melalui dukungan, umpan balik, dan penghargaan. Kemudian dalam fase evaluasi, kinerja guru dikaji dan dibandingkan dengan ekspektasi yang telah ditetapkan dalam rencana kinerja. Rencana terus dikembangkan, siklus terus berulang, dan guru, kepala sekolah, dan staf administrasi , serta organisasi terus belajar dan tumbuh.

Setiap fase didasarkan pada masukan dari fase sebelumnya dan menghasilkan keluaran, yang pada gilirannya, menjadi masukan fase berikutnya lagi. Semua dari ketiga fase Siklus Manajemen Kinerja sama pentingnya bagi mutu proses dan ketiganya harus diperlakukan secara berurut. Perencanaan harus dilakukan pertama kali, kemudian diikuti Pembinaan, dan akhirnya Evaluasi.
Dengan tidak bermaksud mengesampingkan arti penting perencanaan kinerja dan pembinaan atau komunikasi kinerja. Di bawah ini akan dipaparkan tentang evaluasi kinerja guru. Bahwa agar kinerja guru dapat ditingkatkan dan memberikan sumbangan yang siginifikan terhadap kinerja sekolah secara keseluruhan maka perlu dilakukan evaluasi terhadap kinerja guru. Dalam hal ini, Ronald T.C. Boyd (2002) mengemukakan bahwa evaluasi kinerja guru didesain untuk melayani dua tujuan, yaitu : (1) untuk mengukur kompetensi guru dan (2) mendukung pengembangan profesional. Sistem evaluasi kinerja guru hendaknya memberikan manfaat sebagai umpan balik untuk memenuhi berbagai kebutuhan di kelas (classroom needs), dan dapat memberikan peluang bagi pengembangan teknik-teknik baru dalam pengajaran, serta mendapatkan konseling dari kepala sekolah, pengawas pendidkan atau guru lainnya untuk membuat berbagai perubahan di dalam kelas.

Untuk mencapai tujuan tersebut, seorang evaluator (baca: kepala sekolah atau pengawas sekolah) terlebih dahulu harus menyusun prosedur spesifik dan menetapkan standar evaluasi. Penetapan standar hendaknya dikaitkan dengan : (1) keterampilan-keterampilan dalam mengajar; (2) bersifat seobyektif mungkin; (3) komunikasi secara jelas dengan guru sebelum penilaian dilaksanakan dan ditinjau ulang setelah selesai dievaluasi, dan (4) dikaitkan dengan pengembangan profesional guru .

Para evaluator hendaknya mempertimbangkan aspek keragaman keterampilan pengajaran yang dimiliki guru. dan menggunakan berbagai sumber informasi tentang kinerja guru, sehingga dapat memberikan penilaian secara lebih akurat. Beberapa prosedur evaluasi kinerja guru yang dapat digunakan oleh evaluator, diantaranya :
1.Mengobservasi kegiatan kelas (observe classroom activities). Ini merupakan bentuk umum untuk mengumpulkan data dalam menilai kinerja guru. Tujuan observasi kelas adalah untuk memperoleh gambaran secara representatif tentang kinerja guru di dalam kelas. Kendati demikian, untuk memperoleh tujuan ini, evaluator dalam menentukan hasil evaluasi tidak cukup dengan waktu yang relatif sedikit atau hanya satu kelas. Oleh karena itu observasi dapat dilaksanakan secara formal dan direncanakan atau secara informal dan tanpa pemberitahuan terlebih dahulu sehingga dapat diperoleh informasi yang bernilai (valuable)
2.Meninjau kembali rencana pengajaran dan catatan – catatan dalam kelas. Rencana pengajaran dapat merefleksikan sejauh mana guru dapat memahami tujuan-tujuan pengajaran. Peninjauan catatan-cataan dalam kelas, seperti hasil test dan tugas-tugas merupakan indikator sejauhmana guru dapat mengkaitkan antara perencanaan pengajaran , proses pengajaran dan testing (evaluasi).
3.Memperluas jumlah orang-orang yang terlibat dalam evaluasi. Jika tujuan evaluasi untuk meningkatkan pertumbuhan kinerja guru maka kegiatan evaluasi sebaiknya dapat melibatkan berbagai pihak sebagai evaluator, seperti : siswa, rekan sejawat, dan tenaga administrasi. Bahkan self evaluation akan memberikan perspektif tentang kinerjanya. Namun jika untuk kepentingan pengujian kompetensi, pada umumnya yang bertindak sebagai evaluator adalah kepala sekolah dan pengawas.
Setiap hasil evaluasi seyogyanya dilaporkan. Konferensi pasca-observasi dapat memberikan umpan balik kepada guru tentang kekuatan dan kelemahannya. Dalam hal ini, beberapa hal yang harus diperhatikan oleh evaluator : (1) penyampaian umpan balik dilakukan secara positif dan bijak; (2) penyampaian gagasan dan mendorong untuk terjadinya perubahan pada guru; (3) menjaga derajat formalitas sesuai dengan keperluan untuk mencapai tujuan-tujuan evaluasi; (4) menjaga keseimbangan antara pujian dan kritik; (5) memberikan umpan balik yang bermanfaat secara secukupnya dan tidak berlebihan.